Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang panjang
San segera mengambil handuk dan pakaian bersih dari lemari, lalu menghampiri Nanda yang berdiri menggigil di dekat pintu. "Pakai ini dulu, kamu bisa mandi biar nggak kedinginan," ucapnya lembut sambil menyerahkan pakaian itu.
Nanda menerima pakaian tersebut dengan tangan gemetar. "Terima kasih, San," katanya lirih, masih sedikit canggung dengan perhatian tulus itu.
"Jangan sungkan sama aku, Nan. Kamu selalu punya tempat di sini," jawab San dengan senyum hangat yang membuat hati Nanda sedikit lebih tenang.
Beberapa saat kemudian, Nanda muncul dari kamar mandi dengan pakaian yang lebih nyaman. San telah menyiapkan secangkir cokelat hangat di meja. "Duduklah, biar tubuhmu lebih hangat," katanya sambil menarik kursi untuknya.
Nanda duduk dan memegang cangkir itu erat-erat, merasakan kehangatan yang menjalar hingga ke hatinya. Di tengah hujan yang terus mengguyur, ia menemukan rasa aman yang selama ini dirindukannya.
San tertegun melihat Nanda yang mengenakan kemeja biru miliknya, yang tampak seperti dress karena tubuh mungil Nanda. Pakaian itu membingkai sosoknya dengan sederhana namun memikat. Hembusan aroma sabun yang segar membuat San sulit mengalihkan pandangan.
“Kamu kelihatan… cantik,” ucap San tanpa sadar, suaranya terdengar tulus namun penuh kekaguman.
Nanda tersenyum malu, menunduk sambil merapikan ujung kemeja yang sedikit terlalu besar. “Ini yang paling nyaman di lemari kamu,” jawabnya pelan.
San mendekat perlahan, meraih tangan Nanda dengan lembut. “Kamu bisa pakai apa pun di sini, Nan… atau bahkan tetap di sini selamanya,” ucapnya dengan tatapan dalam yang tak dapat disembunyikan.
Hujan di luar masih deras, namun di dalam ruangan itu, hati mereka mulai menemukan tempat berteduh yang sejati.
San tertegun ketika merasakan genggaman lembut di tangannya. Ia menoleh dan melihat Nanda menatapnya dengan sorot mata yang tulus namun ragu-ragu.
“Jangan pergi,” bisik Nanda lirih, seolah takut jika San benar-benar meninggalkannya.
San menghela napas dalam, mencoba meredakan gejolak di dadanya. “Nan, aku hanya ingin memastikan kamu nyaman… Aku takut—”
“Aku sudah cukup takut selama ini,” potong Nanda sambil menggenggam tangannya lebih erat. “Kamu satu-satunya tempat yang membuatku merasa aman.”
Mata San berkilat dengan emosi yang sulit dijelaskan. Tanpa berpikir panjang, ia menarik Nanda ke dalam pelukannya. “Aku nggak akan ke mana-mana, selama kamu mau aku di sini.”
Hujan masih turun di luar, tetapi di dalam pelukan San, Nanda merasa hangat untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Di tempat itu, dia tahu bahwa hatinya telah menemukan rumah.
San terkejut sesaat saat merasakan sentuhan lembut bibir Nanda di bibirnya. Detak jantungnya berdegup semakin cepat, namun ia segera membalas ciuman itu dengan penuh kelembutan, seolah takut memecahkan momen yang rapuh namun begitu indah itu.
Jari-jemari Nanda melingkar di tengkuk San, menariknya lebih dekat. San memeluk pinggang Nanda dengan erat, menyatukan jarak yang tadinya memisahkan mereka. Ciuman itu bukan sekadar luapan emosi, tapi sebuah janji yang tak terucap untuk saling menjaga dan melindungi.
Ketika mereka akhirnya berpisah, napas mereka terengah namun penuh kehangatan. San menyentuh wajah Nanda dengan lembut, matanya menatap dalam seolah mencari kepastian.
“Aku nggak mau kehilangan kamu,” bisik San tulus.
“Kamu nggak akan pernah kehilanganku,” jawab Nanda dengan suara gemetar, matanya berkilau oleh air mata kebahagiaan. “Aku milikmu, sepenuhnya.”
Dalam keheningan malam yang diselimuti suara hujan, dua hati yang sempat terpisah akhirnya menemukan rumah satu sama lain.
San menggendong Nanda dengan hati-hati, seolah ia adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Nanda melingkarkan lengannya di leher San, merasa tenang dalam pelukannya yang hangat dan penuh perlindungan.
San menggendong Nanda dengan hati-hati, seolah ia adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Nanda melingkarkan lengannya di leher San, merasa tenang dalam pelukannya yang hangat dan penuh perlindungan.
San dengan lembut membaringkan Nanda di atas ranjang berukuran king size yang tertata rapi. Cahaya lampu yang temaram menciptakan suasana yang tenang dan intim. San duduk di tepi ranjang, masih memandang Nanda dengan penuh kasih dan rasa syukur.
"Kamu harus istirahat," ucap San dengan suara lembut sambil merapikan anak rambut yang menutupi wajah Nanda.
Nanda menggenggam tangan San erat, menahannya agar tidak pergi. "Tetap di sini... aku nggak mau sendirian," pintanya pelan, hampir seperti bisikan.
San mengangguk tanpa ragu, lalu bergeser berbaring di samping Nanda. Ia menarik selimut dan memeluk Nanda dengan erat, membiarkan kehangatan tubuhnya menjadi perlindungan dari semua ketakutan yang pernah menghantui mereka.
Malam itu, tanpa kata-kata lebih lanjut, hanya ada keheningan penuh rasa cinta dan janji yang tak terucap untuk selalu bersama.
San menatap wajah Nanda yang terlelap di pelukannya, senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tahu, dalam situasi seperti ini, banyak lelaki mungkin akan membiarkan diri mereka terbawa oleh godaan sesaat. Namun, bagi San, cinta yang ia rasakan untuk Nanda jauh lebih dalam dari sekadar nafsu.
Ia menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Nanda dengan lembut, berusaha tidak membangunkannya. San ingin segalanya berjalan dengan benar, dengan restu dan kepercayaan penuh dari hati mereka berdua. Baginya, cinta bukan tentang memiliki secepat mungkin, melainkan tentang menjaga dan melindungi apa yang paling berharga.
“Suatu hari nanti, aku akan memintamu menjadi milikku, dengan cara yang benar,” bisiknya pelan, hampir seperti janji yang ia ukir di dalam hatinya sendiri.
San mengecup kening Nanda dengan lembut, lalu memeluknya lebih erat. Ia ingin memastikan bahwa malam ini, dan selamanya, Nanda akan merasa dicintai dengan sepenuh hati, tanpa tekanan, tanpa paksaan hanya cinta yang tulus dan murni.
San mengenakan kaus abu-abu sederhana dan celana olahraga hitam setelah mandi. Tubuh atletisnya tampak segar sehabis berolahraga pagi. Saat melangkah ke kamar, ia melihat Nanda masih terlelap dengan wajah damai, terbungkus selimut hangat. San tersenyum lembut, menikmati momen itu sejenak sebelum beranjak ke dapur.
Dengan cekatan, ia mulai menyiapkan sarapan. Aroma kopi yang diseduh memenuhi ruangan, disertai suara lembut roti panggang yang matang di atas pemanggang. San juga membuat omelet dengan potongan sayur segar, menu sederhana namun penuh perhatian.
Setelah semuanya siap, ia menata sarapan di meja makan, lengkap dengan vas kecil berisi bunga segar yang dipetiknya dari taman. Sebelum berangkat bekerja, ia kembali ke kamar untuk membangunkan Nanda dengan lembut.
“Nanda... Sarapan sudah siap,” bisiknya sambil membelai lembut pipinya.
Nanda menggeliat perlahan, membuka mata dengan senyum mengantuk. “Kamu masak?”
San mengangguk sambil tersenyum. “Aku ingin memastikan kamu sarapan sebelum aku pergi.”
Mata Nanda berkaca-kaca oleh perhatian kecil itu, merasakan kehangatan yang selama ini dirindukannya. “Terima kasih, San.”
San mengecup keningnya sebelum melangkah keluar. "Aku pergi dulu, jangan lupa makan, ya."
Nanda duduk di meja makan, menatap sarapan yang tertata rapi dengan hati yang penuh rasa syukur. Aroma kopi yang hangat dan omelet lembut di piring membuatnya tersenyum lebar. Ia menyentuh vas bunga kecil di tengah meja, memperhatikan setiap detail perhatian yang San berikan.
“Begini rasanya di ratukan,” gumam hatinya sambil menyendokkan makanan ke mulut. Ia merasa seperti perempuan paling beruntung di dunia, dimanjakan oleh lelaki yang tulus mencintainya tanpa pamrih.
Ingatannya melayang ke masa lalu, di mana perhatian seperti ini terasa jauh dari jangkauannya. Kini, kehadiran San menghapus semua luka dan menggantinya dengan kebahagiaan sederhana yang membuat hatinya hangat.
Nanda memandangi cangkir kopinya, membayangkan San yang tengah sibuk bekerja. Senyum kecil terukir di wajahnya, disertai bisikan lembut, "Terima kasih, San... karena membuatku merasa berarti."