“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 : Jauh Dari Jodoh
“Pak Angga,” sapa Arimbi sembari tersenyum canggung. Pak Angga langsung balas senyum juga ke Arimbi.
“Mas Aidan bilang, Pak Angga enggak boleh tidur terus karena tidur terus bisa bikin Pak Angga makin pusing. Kalau begitu, saya kupaskan buah, terus potong kecil-kecil supaya Pak Angga sibuk mengunyah, ya!” lanjut Arimbi. Untuk kali ini, ia refleks ceria hanya karena ia sedang menjaga orang sakit. Sisi lain dari dirinya yang selama ini memang jarang ia tampakkan.
Buah melon dan pir madu menjadi pilihan Arimbi. Sesuai rencana, ia memotong semua itu dalam ukuran kecil. Ia melakukannya di klinik dapur dan meminjam pisau maupun piring dari sana secara khususnya.
“Mbak Arimbi kenal sama yang punya klinik atau yang kerja di klinik?” tanya pak Angga ketika wanita muda yang ditugaskan untuk menjaganya, tiba.
Arimbi buru-buru menggeleng. “Enggak, Pak. Tapi tadi sekalian kenalan. Kan memang butuh, daripada enggak bisa motong atau malah aku pergi lama buat beli pisau sama piring, ya mending pinjam ke klinik sekalian!”
Mendengar balasan jujur Arimbi, pak Angga langsung mesem. “Mbak Arimbi ini, pacar barunya Mas Aidan?” Ia sungguh ingin tahu karena tak biasanya sang putra mengenalkan teman apalagi wanita jika memang tidak memiliki hubungan spesial. Namun yang ada, yang ditanya langsung tersedak dan berakhir terbatuk-batuk.
“Saya bertanya begitu karena enggak biasanya mas Aidan ngenalin sembarang orang, Mbak,” ucap pak Angga tak mau salah paham.
Kikuk, Arimbi jujur mengenai mas Aidan yang pernah sangat berjasa kepadanya. Yang mana setelah kejadian itu juga, mereka seperti memiliki benang merah yang selalu membuat mereka tiba-tiba terlibat dalam hal yang sama, khususnya pertemuan tak terduga.
“Mas Aidan memang orang yang sangat baik. Saking baiknya, enggak sembarang wanita kuat menjadi pasangannya,” ucap pak Angga menjadi menunduk prihatin.
“Hah, masa iya, orang baik, bikin wanita yang jadi pasangannya enggak kuat? Ini kalimatnya rancu, apa telingaku yang oleng?” batin Arimbi bingung dan memang sulit mencerna maksud pak Angga.
“Terakhir pun katanya begitu. Katanya diputusin lagi gara-gara mas Aidan fokus tolongin orang. Padahal kan mas Aidan memang pengacara yang harus selalu peduli, membela yang lemah. Kalau terus-terusan diputusin begini, orang tua mana yang nggak khawatir, yah, Mbak? Ibaratnya, lihat mas Aidan sebaik itu, tapi kok jauh dari jodoh. Saya sebagai ayahnya beneran nangis batin, Mbak. Ayah takut, gara-gara kesalahan Ayah di masa lalu, mas Aidan sampai harus menanggung karmanya!” ucap pak Angga sampai berlinang air mata.
Detik itu juga Arimbi menyadari, alasan pak Angga sakit karena pria itu terlalu mengkhawatirkan nasib mas Aidan yang serba diputusin pacar. Pak Angga terlalu takut, kesalahannya di masa lalu membuat sang putra jauh dari jodoh.
“Ayah yang sabar, yang namanya jodoh, rezeki, bahkan maut kan sudah ada yang atur. Malahan kalau dipaksakan, yang ada bisa saling menyakiti. Tuhan pasti sudah siapin jodoh terbaik buat mas Aidan kok, Yah. Mas Aidan kan orang yang baik banget dan memang beneran baik banget. Pasti Tuhan sengaja menyiapkan jodoh paling spesial buat mas Aidan!” yakin Arimbi sampai memanggil pak Angga ayah karena pria itu juga yang memanggilkan dirinya ayah.
Sekitar pukul sebelas, mas Aidan akhirnya kembali tapi pak Angga sedang tidur.
“Gimana?” sergah mas Aidan berbisik-bisik pada Arimbi yang duduk di kursi sebelah pak Angga dirawat.
Mas Aidan melepas tas gendongnya, kemudian mengeluarkan satu kantong dari sana dan memberikannya kepada Arimbi. “Sate lontong, buat makan siang. Bentar lagi kan waktunya makan siang.”
“Mas Aidan repot-repot,” lirih Arimbi sengaja menegur.
“Sudah terima saja, kamu saja kalau kasih enggak kira-kira,” balas mas Aidan masih berbisik-bisik.
“Saya terima yah, Mas. Terima kasih banyak,” balas Arimbi yang memang menerimanya.
“Sama-sama, Mbak. Saya juga terima kasih banyak karena sudah dibantu!” balas mas Aidan.
“Saya juga mau sekalian ngobrol, Mas. Soalnya tadi dokter ada pesan beberapa hal. Sekalian hasil lab ayah Mas juga sudah keluar dan tadi langsung dijelaskan,” ucap Arimbi.
Mendengar itu, Aidan langsung membawa Arimbi keluar. Mereka duduk di salah satu bangku dekat taman dan lokasinya ada di depan kamar inap pak Angga.
“Mas, dibaca hasil labnya. Nah saya mau jelasin, kata dokter ayah Mas kena tifus efek terlalu stres juga. Banyak pikiran sih kayaknya enggak, tapi tadi ayah Mas curhat tentang Mas. Katanya, Mas selalunya diputusin pasangan Mas. Jadi ayah Mas khawatir, jangan-jangan alasan itu terjadi karena Mas harus menanggung karma ayah Mas yang dulunya katanya bukan orang baik. Intinya begitu. Yang namanya orang tua memang wajar sih. Gula darah ibu saya juga langsung naik drastis. Kemarin saja, kena luka dikit langsung ... ya semoga sih sembuh cukup diobati. Kalau enggak ya ... terpaksa amputasi biar enggak nular ke mana-mana,” ucap Arimbi sengaja bertutur lirih walau mereka hanya berdua dan di sana pun tidak begitu banyak orang. Hanya ada petugas klinik dan itu pun ada di dalam ruangan sebelah ruang rawat pak Angga.
“Berarti tadi, ayah saya, cerita banyak, yah, Mbak?” tanya mas Aidan serius, selain dirinya yang merasa bersedih karena ternyata, alasan sang ayah stres gara-gara dirinya yang sering diputuskan pasangan dan sampai sekarang belum juga menikah, padahal Azzura sang adik saja sudah hamil empat bulan.
Walau prihatin, Arum mengangguk-angguk. “Biasanya kalau semacam gini memang lebih nyaman diobrolin dengan teman atau sahabat yang bersangkutan sih. Mas juga harus sabar. Ikhtiar. Enggak mungkin Mas enggak punya jodoh karena Tuhan saja menciptakan umatnya untuk berpasang-pasangan.”
Tiba-tiba saja, mas Aidan menjadi kepikiran mengenai dirinya yang berniat baru akan menikah jika Didi sudah menikah. “Kalau aku sampai beneran begitu, yang ada enggak hanya ayah yang sakit, tapi juga semuanya. Nanti coba aku obrolin sama mamah papah, harusnya aku bagaimana?” pikir mas Aidan.
“Mas, saya boleh tanya satu lagi? Ini enggak ada sangkutannya sama Mas maupun ayah Mas,” ucap Arimbi yang sudah langsung membuat mas Aidan serius sekaligus fokus menatapnya.
“Mbak mau tanya apa?” tanya mas Aidan yang yakin, pertanyaan yang Arimbi maksud, sangat penting.
Arimbi segera mengeluarkan ponsel dadi dalam tas selempangnya. Ia membuka galeri dan menjadikan foto Aisyah yang tersebar, sebagai tujuannya hingga foto menyeramkan itu memenuhi layar ponselnya.
“Ini siapa, Mbak? Dia macam-macam ke Mbak?” sergah Mas Aidan.
Arimbi langsung mengangguk-angguk. “Itu istrinya si Iham, Mas! Yang biasanya pakai pakaian syari dan sampai pakai cadar!”
“Innalilahi!” mas Aidan benar-benar syok dan ia langsung menatap tak percaya Arimbi. Namun, ia tidak sedikit pun menemukan kebohongan dari tatapan maupun ekspresi Arimbi.