Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 04 — Make A Deal
"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" tanya Ashana tak ingin berbasa-basi setelah pelayan itu pergi.
Faza tersenyum miring, "Coba tebak."
"Cih! Katakan saja yang sebenarnya, kita berdua bukan anak kecil yang harus main tebak-tebakkan," ketus Ashana memalingkan wajahnya.
"Begitukah caramu bersikap kepada calon investormu?" sindir Faza. Sorot matanya menatap tajam wajah Ashana yang malam ini terlihat sangat cantik.
Faza tersenyum tipis saat membayangkan bahwa Ashana berdandan begitu cantik untuk menemuinya. Namun, sedetik kemudian, air mukanya kembali berubah.
Faza menarik napas, dan berusaha menepis perasaan apapun yang hadir di hatinya. Tujuh tahun lalu, ia sangat mencintai perempuan itu. Bahkan ia sudah merancang sebuah lamaran romantis.
Sayangnya, dengan keangkuhan yang perempuan itu miliki, Ashana Lazuardi merusak rencana yang Faza rancang. Merusak cinta, mimpi dan harapan indahnya tentang masa depan.
Kini, Faza yakin sekali bahwa yang tersisa di hatinya hanyalah rasa benci. Ia sudah bertekad untuk membalas pengkhianatan yang perempuan itu lakukan kepadanya.
"Kudengar, Ayahmu —"
"Kau senang kan?" potong Ashana cepat, matanya berkilat marah. Sama halnya dengan Faza, Ashana juga memiliki kebencian yang sama terhadap laki-laki di hadapannya itu. Ashana tidak akan melupakan hinaan yang Faza layangkan untuk ayahnya.
"Sayang sekali dugaanmu terhadapku salah besar, Ashana. Tadinya aku ingin mengucapkan bela sungkawa, tapi mendengar ini, sepertinya aku harus menarik kembali kata-kataku."
"Kau!" geram Ashana. "Aku tidak tahu apa yang ingin kau rencanakan, yang jelas aku peringatkan kau untuk tidak—"
"Kau tidak berada dalam posisi bisa bernegosiasi denganku, Ashana. Ingat, perusahaan ayahmu bergantung pada uangku. Jangan lupa itu," ujar Faza sambil menatap angkuh Ashana.
Rahang Ashana mengetat, ingin sekali ia memukul wajah itu. Namun sayang, ia tak bisa melakukannya di tengah-tengah ruangan dan dalam keadaan ramai seperti ini. Ia cukup waras untuk tidak membiarkan dirinya menjadi bahan tontonan gratis orang lain.
"Maafkan aku kalau begitu wahai Tuan Faza Yang Terhormat," kata Ashana dengan sinis.
Faza berdecak kecil, "Apakah perlu sesinis itu padaku, Ashana? Meski tujuh tahun membuat hubungan di antara kita merenggang, tapi bukankah kita bisa tetap bersikap sopan satu sama lain?"
Tubuh Ashana meremang saat mendapat tatapan menuduh dari pria angkuh di hadapannya itu. Ia sepenuhnya tak mengerti mengapa Faza harus menohoknya seperti itu.
Seharusnya, Ashana-lah yang seharusnya membenci dan memberinya semua tatapan menuduh itu.
Ashana memutar bola matanya jengah. "Bisa kau katakan saja apa kesepakatannya, Tuan Faza?"
Demi apapun, Ashana tak ingin menghabiskan waktu sedetik pun bersama seorang Faza Nawasena jika saja ia tak mengingat apa tujuan awalnya datang ke mari.
"Jangan terlalu angkuh, Ashana, kita masih punya banyak waktu malam ini," jawab Faza dengan entengnya.
Ashana tak memiliki pilihan lain selain menunggu pria itu. Lima belas menit yang menyiksanya kemudian, seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka dan meletakkannya di atas meja.
Berbeda dengan Faza yang tampak menikmati hidangannya malam itu, Ashana justru tak menyentuh makanannya. Ia terlanjur tak berselera untuk makan, ia lebih ingin cepat-cepat menyelesaikan pertemuan ini dan pulang ke rumahnya.
"Kenapa kau tidak makan? Apakah makanan di restoran ini tidak cukup enak?" tanya Faza saat melihat Ashana hanya diam tanpa menyentuh makanannya sedikit pun.
Perempuan itu meletakkan kedua tangannya di meja, menatap Faza yang sepertinya sudah menyelesaikan makan malamnya. "Bisakah kita membicarakan kesepakatan itu sekarang?"
"Well, sepertinya kau amat tidak menyukai pertemuan ini. Jika kau tidak menyukainya, kau tahu bahwa kau bisa pergi kapanpun, Ashana."
Kesabaran Ashana hampir habis saat menghadapi Faza, dulu ia tak seperti ini. Faza adalah laki-laki manis dan romantis yang pernah dikenalnya.
Sedangkan pria yang berada di hadapannya sekarang ini, Ashana benar-benar tak dapat mengerti cara pikirnya.
"Setidaknya makanlah sedikit baru kita bicara."
Anehnya, Ashana justru mengikuti keinginan pria itu, memberinya perasaan bangga karena meski tujuh tahun telah berlalu, Ashana tetaplah gadis penurut yang dikenalnya dengan baik.
"Jadi, kau mungkin sudah mengetahui apa niatku dari sekretarisku itu," kata Faza memulai percakapan serius mereka.
Ashana menggeleng, "Jika kau bermaksud bersikap misterius dengan tidak mengatakan apapun tentang dirimu, selamat, kau berhasil melakukannya."
Faza tertawa geli, ia tak menyangka bahwa rencana kejutannya akan membuat Ashana jengkel seperti itu. "Untuk apa memberitahumu jika kau sudah mengenalku dengan baik, Ashana."
Ashana mengalihkan pandangannya ke samping, merasa muak dengan tatapan sombong dan bangga yang Faza layangkan padanya.
"Aku yakin sekretarisku sudah memberitahumu bahwa aku memiliki persyaratan khusus." Faza mencondongkan tubuhnya beberapa senti ke depan, berusaha menarik perhatian Ashana.
"Ya, jika aku tidak tahu, aku tidak akan berada di sini malam ini, katakan saja." Entah mengapa, Ashana merasa Faza hanya ingin mengulur-ulur waktu.
"Aku punya penawaran yang bagus untukmu, tentu saja aku berharap kau menyetujuinya. Jika tidak, kau tahu apa yang akan terjadi pada perusahaan ayahmu itu."
Ashana mulai curiga dengan penawaran yang dikatakan Faza, tapi ia belum berani menolak atau menerimanya. Perusahaan ayahnya sudah di ujung tanduk, ia tak mau salah mengambil langkah.
"Apa itu?" tanya Ashana tak sabar.
Faza memperbaiki posisi duduknya agar terlihat lebih santai, lalu berkata dengan penuh kemenangan. "Kau. Di. Ranjangku."
Ashana terkejut bukan main. "Apa maksudmu? Aku bukan pelacur!" seru Ashana dengan marah. Sudah cukup! Kesabarannya sudah habis, ia tak akan membiarkan Faza mempermalukan dirinya lagi.
Rahangnya mengetat, wajahnya berubah merah padam, jelas sekali bahwa ia merasa terhina. Jika saja Ashana tahu Faza hanya ingin mempermalukan dirinya, ia bersumpah tak akan datang sekali pun pria itu memohon padanya.
"Siapa yang bilang aku ingin menjadikanmu pelacur?" kata Faza kemudian, membuat Ashana urung untuk beranjak. "Menikahlah denganku, Ashana dan akan aku jamin semuanya."
Terdengar manis, tapi Ashana tak akan tertipu untuk kedua kalinya. "Aku tidak sudi menikah denganmu, permisi!" jawabnya seraya meraih tasnya dan hendak pergi.
"Aku suka kesombongan ini, kau akan lihat bagaimana aku akan mematahkan kesombongan itu, Ashana. Ingat, kau tidak memiliki pilihan lain selain aku," ucap Faza dengan angkuh.
Ia tak lagi memedulikan Faza yang sepertinya sangat bahagia sudah berhasil mempermainkan diri dan perasaannya.
"Kau tahu di mana harus menemuiku, kan? Ehm maksudku jika seandainya kau berubah pikiran," kata Faza lagi sebelum Ashana melangkahkan kakinya ke luar restoran.
Ashana menatap jijik pada Faza yang seolah-olah menggodanya dan mengira bahwa ia akan jatuh ke dalam pelukannya, sekali lagi.
Dengan perasaan malu dan marah, perempuan itu berjalan dengan tergesa meninggalkan restoran. Meninggalkan Faza yang masih terus menatap kepergiannya.
"Kau akan kembali padaku, Ashana."
luknut. ketemu indiana jones sekali langsung teler . huuhhhhh