Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Jadi Istri CEO
Bab 12
Malam telah menyelimuti kota dengan ketenangan yang palsu, dan di balik jendela apartemen mewah milik Zayden, Elara berdiri diam, menatap jauh ke arah lampu-lampu kota yang bersinar seperti bintang yang meremang. Cahayanya berkelip, namun tak mampu menenangkan kegelisahan di dalam dirinya.
"Huft... Apa bener ya, aku bentar lagi nikah? Apa cuma mimpi? Dan, dengan orang kaya lagi."
Elara melamun, merasakan hati gampangnya. "Dan yang anehnya takdir ini, aku jadi orang kedua dalam cinta orang lain."
Mulai malam ini, Elara resmi pindah ke apartemen Zayden. Semua persiapan pernikahan yang mengubah hidupnya kini bergerak begitu cepat. Segala keperluan mulai dari homeschooling, perjalanan rutin ke salon, hingga fitting gaun pengantin, semuanya dilakukan di bawah pengawasan ketat sekretaris kepercayaan Zayden.
Namun, Zayden sendiri? Dia hanya sesosok bayang yang semakin jauh di mata Elara, padahal begitu dekat di hati.
"Tapi setahuku, orang-orang kalau mau nikah itu seru. Banyak keluarga yang kumpul. Tapi aku ..."
###
Dua hari berlalu, Leni main ke apartement Elara. Sebab sudah dilakukannya homeschooling untuk Elara, jadi mereka tidak pernah bertemu lagi.
"Wah ... El, kamu beruntung banget dapat jodoh orang kaya seperti ini."
Seorang asisten Zayden yang ditugaskan menemani Elara, melirik. Dia tersenyum, mungkin entar Leni terlihat norak atau polos.
"Ih, nggak usah heboh gitu ah. Aku aja masih gak tahu, apa ini bener atau enggak "
"Ih... Kok gitu sih. Kamu harus syukuri El..."
"Iya, aku bersyukur sih bersyukur. Tapi hati ini beda," ucap Elara sambil menunjuk ke dadanya.
Leni hening, kemudian menatap Elara lekat. "Kamu ... merasa bersalah karena jadi kedua?"
"Enggak. Aku nggak boleh merasa bersalah."
Tiba-tiba Elara meyakinkan dirinya sendiri. Dia sudah terbuka, hanya ingin uang Zayden, dia tidak peduli jika Zayden perhatian padanya atau tidak.
Leni paham dengan keadaan bimbang sahabatnya. Dia tidak mendesak untuk terus bicara.
###
H-1 Pernikahan
Beberapa kali ponsel Elara bergetar, nama Zayden tertera di layar. Elara menatap ponsel itu dengan tatapan bimbang, lalu menekan tombol ‘abaikan’. Dia tak ingin menjawab panggilan itu. Bukan karena benci, tapi karena takut. Takut akan apa yang mereka bicarakan. Terlebih Elara takut mendengar suara Zayden. Daripada semakin rindu berat, lebih baik tidak berkomunikasi sama sekali.
Eh, ngomong-ngomong tentang rindu. Apakah Elara sudah mulai jatuh cinta pada CEO Zayden? Sepertinya begitu.
"Akh ...! Tuhan ... apa aku harus mundur? Aku memang cari uang di tempat yang gak halal. Tapi jadi orang kedua itu, kaya jahat banget nggak sih?!"
Elara terus perang dengan batinnya.
###
Di malam-malam sunyi seperti ini, apartemen yang megah dan dingin itu tak memberikan kenyamanan yang Elara harapkan. Jendela besar yang menghadap ke pemandangan indah hanya membuatnya merasa terkurung. Pikirannya terus melayang pada sosok Zayden—pria yang mengisi hari-harinya, namun tetap terasa jauh.
Elara meraih sebuah gaun yang tergantung di kamar, salah satu dari sekian banyak gaun mewah yang sudah dipilih untuk pernikahan itu. Sentuhannya lembut, dingin, namun tak ada kehangatan yang terpancar dari simbol kemewahan itu. Di saat yang sama, pintu apartemen terbuka pelan, langkah kaki terdengar semakin mendekat.
"Di mana Elara?" tanya Zayden pada sekretarisnya.
"Di kamar Tuan."
Zayden datang ke kamar dengan ketenangan yang khas, namun ada kegelisahan tersirat di wajahnya. Rupanya kamar itu dikunci, seolah Elara tahu, kalau Zayden akan datang.
Elara tak beranjak dari tempatnya, masih berada di kamar sedang menatap ke luar jendela, hingga akhirnya suara berat Zayden memecah kesunyian.
“Elara, kenapa kamu tidak pernah mengangkat teleponku?”
Elara tak berbalik, namun detak jantungnya meningkat. Ada sesuatu dalam suara Zayden yang membuat hatinya berdebar lebih kencang. Namun Elara berusaha menguatkan dirinya, berpura-pura sibuk dengan gaun yang sedang dipegangnya.
“Aku sibuk dengan persiapan, Tuan,” jawabnya, kini posisi Elara ada di balik pintu. “Lagipula, apakah Tuan tidak tahu Pamali? Kalau calon pengantin bertemu sebelum hari pernikahan.”
Zayden mendekat, hampir menempel pada daun pintu. “Pamali? Itu cuma takhayul orang tua. Kita hidup di zaman modern, Elara. Tidak ada pantangan seperti itu.”
Elara menghela napas panjang. Ia tahu, alasan itu tidak akan berhasil menghadapi Zayden, tapi ia tetap menggunakannya. Mungkin bukan karena pamali, tapi karena ada perasaan yang terlalu kompleks untuk dia ungkapkan.
“Tuan, tapi aku percaya dengan pamali.”
"Argh... Omong kosong. Dan aku ingatkan, jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi. Kau lupa?"
Elara berdiam sejenak, dia bingung harus memanggil Zayden dengan sebutan apa. Gak mungkin dengan sebutan sayang, kayanya risi banget dengan sebutan itu.
"I-iya Maaf, Z-zayden."
Zayden yang ada di balik pintu, tertawa kecil, bahkan nyaris tanpa suara. Lucu sekali rasanya, bocah kecil, anak SMA memanggil dirinya dengan nama saja. Namun, itu lebih baik daripada harus dipanggil Tuan oleh pasangannya sendiri.
“Apa kamu merasa tertekan?” tanya Zayden, suaranya pelan namun terdengar lebih lembut dari biasanya. Dia mencoba meredam emosinya, meskipun Elara tahu, di balik semua itu, ada gejolak yang besar.
“Biasa aja," jawab Elara dengan cepat.
"Baiklah, aku hanya memastikan semua berjalan dengan lancar. Aku pulang."
Elara tak menjawab. Setelah Zayden tak terdengar lagi suaranya, ia merasa ruangan itu terasa lebih dingin dari sebelumnya, meskipun udara malam tak menusuk. Sesuatu yang lebih hangat, lebih intim, yang sempat tercipta di antara mereka beberapa hari lalu, kini seolah memudar.
###
Di rumah Bu Nira, suasana persiapan pernikahan terasa begitu berbeda. Rumah kecil yang biasanya sepi kini ramai oleh persiapan yang dikoordinasi dengan orang-orang suruhan Zayden. Tidak ada masakan atau bingkisan yang biasa dikerjakan oleh tetangga atau saudara seperti lazimnya acara syukuran di lingkungan mereka. Segalanya tertangani oleh tenaga profesional.
Bu Nira duduk di ruang tamu, dikelilingi beberapa tetangga yang melihat dengan takjub betapa mewahnya persiapan pernikahan ini. Hidangan yang tersaji, bingkisan yang sudah dikemas dengan rapi—semua terasa terlalu mahal untuk standar lingkungan mereka.
Malam ini adalah acara syukuran di rumah Bu Nira. Seperti budaya di banyak daerah, sebelum hari pernikahan, pihak mempelai mengadakan syukuran dulu, dengan pengajian dan mengundang beberapa tetangga dan kerabat.
Adik ipar Bu Nira, yang ikut duduk di sudut ruangan, mulai bergunjing. “Wah, mewah sekali acaranya. Jangan-jangan, Elara dapat pejabat atau koruptor. Mana ada orang biasa bisa seberkelas ini?”
Yang lain menyahut dengan tawa kecil. “Benar, jangan-jangan dia simpanan kakek-kakek kaya. Elara kan anak yang pendiam dulu, siapa sangka dia bisa nikah semewah ini.”
Bersambung...