Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 24
Setelah memastikan penampilanku sore ini, bergegas keluar sembari menyambar kunci mobil milikku. Ah, tidak! Lebih tepatnya milik kami berdua, dan rasanya Shanum-lah yang paling berhak mengakuinya karena ini pemberian dari mertuaku.
Namun, untuk apa dipikirkan lagi? Dia sudah memilih pergi meninggalkan rumah ini. Jika nanti aku jadi menikah dengan Shila, akan aku hadiahkan rumah ini untuknya.
Kukendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang selalu dipadati kendaraan. Terlebih bila sore seperti ini, ada banyak pejalan kaki yang menyisir jalanan. Tak lupa kubelikan martabak makanan kesukaan mamahnya Shila. Dia selalu senang jika aku membawakannya makanan ini.
Di sinilah aku berada, di depan pintu rumah sederhana milik Shila. Kasihan sekali mantanku ini, kehormatannya direnggut dan diabaikan begitu saja.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalaam!"
Cepat sekali jawaban aku terima, tak lama pintu terbuka dan Shila berhambur memelukku. Ia nampak sedih dan murung mungkin karena masalah yang sedang menimpaku.
"Masuk, yuk. Mamah udah nungguin," ajaknya seraya menarik tanganku masuk ke dalam.
Di ruang tengah, di sebuah sofa, seorang wanita dengan wajah pucat terbaring menghadap televisi. Kusalami wanita itu, seraya menyerahkan bingkisan yang kubawa. Shila datang membawakan secangkir kopi untukku.
"Kamu masih inget seleraku, Shil," ujarku memuji.
Ia tersipu, melirik sang mamah yang juga tersenyum. Lalu, senyum itu raib berganti dengan raut sedih seperti saat ia menyambutku.
"Kenapa kamu kelihatan sedih kayak gitu?" tanyaku sembari mengernyit bingung.
Shila membuang udara, berpaling dariku. Mamahnya pun hanya diam tak berucap barang sepatah katapun.
"Semua ini salahku. Harusnya aku nggak pernah minta bantuan kamu, Raka. Kalo kamu nggak bantu aku, kamu nggak akan bercerai sama Shanum. Ini semua salah aku," tutur Shila disusul isak tangis yang terdengar pilu dan lirih.
Aku diam, bingung harus apa. Aku hanya membantu Shila menyelesaikan masalahnya, tapi Shanum yang memang tidak mau mengerti. Bahkan, Benny sendiri malah menyalahkan Shila dan secara terang-terangan menghina gadis itu. Sungguh kasihan betul nasibnya.
"Ja-jadi, ka-kamu mau cerai sama Shanum? Ya Allah, ini juga pasti karena permintaan Tante waktu itu, ya. Maaf, ya, Ka. Gara-gara itu rumah tangga kamu yang jadi korban, tapi kalo bukan kamu sama siapa lagi Tante minta tolong. Semua teman-teman Shila malah ngejauh," timpal mamahnya Shila dengan nada terkejut.
Suaranya yang bergetar dan terbata, membuatku tak tega harus melempar kesalahan pada mereka. Aku menunduk, memejamkan mata sambil menghela napas. Meyakinkan diriku bahwa semua yang terjadi adalah takdir yang harus aku jalani.
"Nggak apa-apa, Tante. Oya, ngomong-ngomong apa Tante pernah ketemu sama Benny dan ngomong sama dia soal Shila?" tanyaku kemudian.
Sekilas kutangkap raut terkejut di wajah pucatnya. Ia memutuskan kontak mata denganku, dan melirik Shila sebelum menatap jauh ke jendela.
"Tante udah pernah ngomong sama Benny dan minta dia supaya tanggung jawab, tapi Benny malah nyalahin Shila dan nuduh Shila yang macam-macam. Katanya, Shila nggak cuma tidur sama dia. Padahal, jelas-jelas dia yang udah merusak Shila," ujar mamahnya Shila yang masih mengarahkan pandangan keluar jendela.
Kenapa ada laki-laki semacam Benny? Mau enaknya giliran sudah terlanjur, lepas tangan begitu saja. Kulirik Shila yang semakin histeris menangis.
"Padahal aku nggak pernah tidur sama siapa-siapa. Cuma Benny yang maksa aku waktu itu. Itu aja, tapi dia malah nuduh aku yang macam-macam."
Astaga, ingin rasanya aku cabik-cabik laki-laki itu. Awas saja jika nanti bertemu di manapun, aku akan memberinya pelajaran. Tanpa sadar tanganku mengepal dengan sendirinya, geram mendengar cerita dari ibu dan anak ini. Sebagai laki-laki aku malu dengan sikap Benny yang pengecut.
"Ngomong-ngomong apa bener kalian cerai?" Suara tanya mamahnya Shila menyentak lamunanku. Aku berpaling padanya, dan menghela napas.
"Belum, Tante. Baru mau sidang lusa nanti," jawabku lesu.
Aku tak ingin bercerai sebenarnya, karena hidup bersama Shanum tidak ada tuntutan sama sekali soal nafkah. Dia tidak pernah meminta uang, merengek minta beli ini dan itu. Akan tetapi, tetap saja aku merasa bosan. Merindukan sikap manja seorang istri yang meminta ini dan itu padaku.
"Mudah-mudahan masih bisa dibicarakan baik-baik. Kalo sampai kalian jadi cerai, Tante akan sangat merasa bersalah," ujar mamahnya Shila terdengar prihatin.
Baik sekali wanita ini, dia tetap mendoakan rumah tanggaku supaya baik-baik saja. Aku tersenyum dan mengaminkan doanya.
"Aku minta maaf sekali lagi kalo semua ini terjadi karena aku. Aku nggak ada maksud buat bikin rumah tangga kalian hancur kayak gini. Aku udah minta maaf sama Shanum dan jelasin semuanya, tapi tetap aja dia nggak bisa terima," ucap Shila yang lagi-lagi meminta maaf dan menyalahkan dirinya.
Untuk ke sekian kali aku hembuskan napas dengan kasar. Menatapnya yang muram membuatku ikut merasakan kesediaan hatinya.
"Udahlah, Shila. Kamu nggak usah minta maaf terus sama aku. Lagian ini bukan salah kamu, tapi aku mau tanya sama kamu. Tolong kamu jawab jujur, ya." Aku teringat pada rekaman yang diperdengarkan Shanum malam itu. Tentang Shila yang memintanya untuk berpisah dariku.
"A-apa itu?" Shila terlihat tegang, gugup dan gelisah. Ada apa dengannya?
"Begini, apa bener kamu minta Shanum supaya pisah dari aku? Bukan apa-apa, aku cuma mau mastiin aja," tanyaku sembari menatap lekat wajah Shila yang sejak tadi menegang, perlahan memucat.
Ia melirik sang ibu, kemudian air matanya kembali menetes. Shila menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Buat apa aku minta kayak gitu sama dia? Aku aja sedih denger kalian mau pisah. Tega banget, ini pasti ada yang mitnah aku. Aku nggak pernah ngomong kayak gitu sama dia." Shila menggeleng sambil terus menangis.
Benar dugaanku, itu semua hanya rekayasa Shanum agar memiliki alasan untuk berpisah denganku. Benar-benar licik, tega memfitnah orang lain hanya untuk kepentingannya sendiri.
"Ya udah, nggak usah dipikirin. Aku percaya sama kamu," ujarku menenangkan.
Satu jam lamanya aku duduk di rumah Shila, kemudian berpamitan pergi menjelang senja. Di perjalanan pulang aku menyempatkan diri untuk mampir ke toko, tapi sudah tutup dan kedua karyawanku juga sudah pulang. Biarlah, aku akan menelpon Irwan nanti agar segera mengirimkan uang hasil penjualan kepadaku.
****
Hari yang tak kutunggu pun tiba, hari persidangan. Di mana aku akan dipermalukan dan tanggung jawabku sebagai seorang suami dipertanyakan. Inilah yang diinginkan Shanum, jika dia seperti ini terus yang hanya bisanya merendahkan suami, aku yakin sampai kapanpun tidak ada laki-laki yang ingin menikahinya.
Aku datang lebih awal bersama Mamah, sedangkan Papah entah ke mana perginya. Duduk menunggu kedatangan istriku dengan penampilan terbaik menurutku. Kata Mamah, untuk menarik perhatian Shanum.
Beberapa saat menunggu, satu buah mobil berhenti di parkiran. Aku tahu itu Shanum dan keluarganya. Namun, satu sosok yang keluar, membuat mataku enggan berkedip.
Benarkah itu Shanum, istriku?