"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Parfum Tlembuk
Setelah malam-malam panjang dan kelelahan yang dirasakan, Lily, Dinda, dan Tika mulai merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidup mereka. Mereka sering berbagi cerita dan tawa, tetapi di balik keceriaan itu, masing-masing menyimpan pertanyaan besar: ke mana arah hidup mereka? Mereka telah melalui banyak pengalaman, bertemu berbagai macam orang, namun tetap merasa hampa.
Di pagi yang cerah, ketiganya memutuskan untuk berbincang di sebuah warung kopi kecil di sudut kota. Mereka duduk di sana dengan secangkir kopi hangat dan matahari yang perlahan menyinari mereka.
Dinda memulai, "Kalian pernah nggak, merasa kayak… kita ini cuma muter-muter di tempat yang sama?"
Lily, yang biasanya paling ceria, terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku juga ngerasa begitu, Din. Kadang aku mikir, apa ya yang kita cari dari semua ini? Apa cukup buat kita?"
Tika, yang biasanya pendiam, ikut angkat bicara. "Mungkin kita semua punya tujuan masing-masing, tapi kadang aku ngerasa… aku nggak tahu apa tujuan hidupku."
Percakapan mereka berlanjut dengan jujur dan terbuka. Ternyata, di balik canda dan tawa, mereka masing-masing menyimpan impian yang belum tercapai. Dinda ingin membuka usaha kecil, mungkin toko bunga atau butik sederhana. Lily selalu tertarik pada seni dan ingin belajar melukis. Tika, yang selalu suka membaca, bercita-cita menjadi penulis.
Dengan antusias, mereka mulai berbicara tentang langkah-langkah kecil untuk memulai. Mungkin mereka bisa mengambil kursus, menyisihkan sedikit uang, dan mulai merencanakan masa depan mereka secara lebih serius. Mereka sadar bahwa perubahan memang tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi langkah kecil adalah awal dari perjalanan panjang.
Hari itu, ketiganya pulang dengan semangat baru, dengan perasaan bahwa mereka tidak lagi terjebak dalam rutinitas yang sama. Babak baru dalam hidup mereka baru saja dimulai, dan mereka siap untuk menghadapi setiap tantangan yang ada di depan mereka dengan penuh harapan.
Di tengah percakapan mereka, Lily mengeluarkan sebotol parfum dari tasnya. Aroma khas parfum itu langsung memenuhi udara di sekitar mereka, menggoda dan manis. Lily tersenyum sambil menyemprotkan sedikit di pergelangan tangannya, lalu menggosokkannya di leher.
"Ini nih, parfum 'andalan' kita. Kadang cuma dengan bau ini, orang-orang udah bisa tahu siapa yang lewat," canda Lily sambil tertawa kecil.
Dinda dan Tika terkikik mendengar istilah "parfum tlembuk" yang sudah lama mereka pakai sebagai bahan bercanda. Parfum itu memang menjadi semacam simbol bagi mereka, namun di sisi lain, masing-masing menyadari bahwa mereka ingin dikenal bukan hanya dari aroma yang melekat.
Tika menambahkan, "Ya, tapi… kapan ya kita bisa ganti 'parfum' itu dengan sesuatu yang beda? Sesuatu yang lebih menggambarkan kita sekarang, bukan yang dulu."
Dinda mengangguk, "Aku juga kepikiran hal yang sama. Mungkin suatu hari nanti, kita punya identitas lain yang lebih kita banggakan."
Lily tersenyum, menatap botol parfum di tangannya sebelum memasukkannya kembali ke dalam tas. "Ya, semoga. Mungkin saat kita udah berhasil dengan impian masing-masing, kita bakal punya 'parfum' yang lain, yang lebih membawa kesan baru."
Obrolan mereka berlanjut, penuh harapan dan impian. Mereka berbicara tentang langkah-langkah kecil yang bisa mereka ambil dan bagaimana kelak mereka bisa meninggalkan jejak yang berbeda, jauh dari masa lalu yang mereka kenal. Babak baru ini adalah awal perjalanan mereka untuk menemukan dan memperkuat diri mereka yang sejati.
Malam itu, di bawah cahaya bulan purnama, Lily, Dinda, dan Tika duduk berdesakan di atas trotoar sambil menyandarkan punggung mereka ke dinding gedung tua. Suasana di sekitar mereka dipenuhi suara mobil yang berlalu lalang, dan aroma makanan kaki lima yang menggoda. Tika menghela napas panjang, mencoba meresapi momen itu.
"Eh, setelah kita pikir-pikir, jadi mau merubah jalan hidup? Kenapa ya? Kita udah nyaman di sini," kata Lily, menyandarkan kepala di bahu Tika.
Dinda yang sedang mengunyah keripik, mengangguk setuju. "Betul! Selama kita bahagia dan bisa menghasilkan uang, buat apa repot-repot cari yang lain? Kita punya komunitas, teman, dan ya… kehidupan yang bikin kita merasa hidup."
Lily mengeluarkan botol parfum lagi, kali ini menyemprotkan lebih banyak ke tubuhnya. "Ini aroma kita, 'parfum tlembuk'! Kita tetap jadi diri sendiri dan bangga dengan pilihan kita," ujarnya sambil tertawa.
"Kadang aku berpikir, orang-orang di luar sana, yang menganggap kita rendah, sebenarnya mereka yang tidak mengerti," Dinda menambahkan, "Mereka tidak tahu seberapa kuat kita bertahan. Kita bisa bertahan di dunia ini, sambil tetap bersenang-senang."
Tika, yang biasanya pendiam, kini ikut memberikan pendapat. "Kita tetap bisa jadi siapa pun kita mau, meskipun jadi tlembuk. Kita tetap punya impian. Dan tidak ada yang bisa menghalangi kita untuk meraihnya."
Lily menyeringai, "Iya, kita bisa tetap jadi tlembuk dan tetap punya impian. Kita bisa merayakan setiap momen dan menikmati hidup tanpa perlu merasa tertekan oleh orang lain."
Ketiganya tertawa, dan suasana hati mereka semakin ceria. Mereka merasakan kenyamanan dalam persahabatan yang telah terjalin kuat di antara mereka. Dengan semua kesenangan dan kesedihan yang mereka hadapi bersama, ikatan itu hanya semakin menguatkan keputusan mereka untuk tetap menjadi diri mereka yang sebenarnya.
"Aku tidak mau kehilangan momen-momen seperti ini," ucap Dinda sambil melihat ke sekeliling. "Jadi, mari kita nikmati hidup, tetap di jalan yang kita pilih."
"Ayo, malam ini kita cari pelanggan dan buat malam ini menjadi malam yang tidak terlupakan!" seru Lily semangat.
Mereka bertiga pun berdiri dan bersiap-siap untuk menjalani malam yang panjang, mengenakan senyum dan semangat baru. Sebagai seorang tlembuk, mereka telah melewati banyak hal bersama, dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan sendirian dalam perjalanan ini.
Dengan langkah pasti, mereka berjalan menuju pusat keramaian, siap menghadapi apapun yang datang. Bukan sekadar mencari uang, tetapi juga untuk merayakan kehidupan yang mereka pilih, sebagai diri mereka yang sebenarnya.
Dalam perjalanan menuju pusat keramaian, aroma srabi yang menggiurkan menyapa hidung mereka. Tak bisa ditolak, perut mereka keroncongan dan butuh asupan setelah seharian bekerja keras. Lily, Dinda, dan Tika berhenti di gerobak srabi yang terkenal di kawasan itu. Gerobak yang sederhana, dengan lampu kuning yang berkelap-kelip, membuat suasana semakin hangat dan menggugah selera.
“Mau pesan apa?” tanya Tika dengan mata berbinar, memperhatikan menu yang terpasang di gerobak. “Aku suka srabi isi cokelat! Enak banget!”
“Aku mau yang isi pisang,” kata Lily sambil menyentuh perutnya, “Laper banget, deh!”
Dinda, yang lebih suka makanan gurih, berkata, “Kalau aku pesannya yang isi oncom. Tahu yang pedas itu enak banget!”
Setelah menentukan pilihan, mereka pun memesan. Gerobak itu dikelola oleh seorang ibu tua yang ramah, dengan senyum lebar di wajahnya. Ia segera mengolah pesanan mereka dengan cekatan, mengaduk adonan dan menuangkannya ke atas wajan. Suara gemericik minyak dan aroma srabi yang menggoda membuat ketiga gadis itu tak sabar menunggu.
Sambil menunggu, mereka berbincang-bincang dan tertawa. “Kita harus bikin tradisi baru,” usul Lily. “Setiap kali selesai kerja, kita mampir ke sini untuk makan srabi. Ini adalah kebahagiaan kecil kita.”
“Setuju!” Dinda menyetujui. “Hal-hal kecil seperti ini membuat hidup kita lebih berwarna.”
Tika mengangguk sambil menghela napas. “Kita memang perlu merayakan setiap momen, tidak peduli seberapa kecil.”
Ketika srabi pesanan mereka selesai, aroma manis dan gurihnya semakin membuat perut mereka keroncongan. Ibu penjual srabi menyajikan makanan itu dengan senyuman, membuat ketiganya merasa semakin dekat dengan komunitas mereka.
“Terima kasih, Bu! Ini pasti enak!” kata Lily sambil mengambil srabi isi cokelatnya.
Mereka duduk di tepi trotoar, menikmati srabi dengan penuh rasa syukur. Setiap gigitan memberikan kenikmatan yang tak terlukiskan. Tika mengunyah srabi oncomnya dan menyatakan, “Ini benar-benar enak! Kita harus sering-sering ke sini!”
Setelah menghabiskan makanan, mereka merasa lebih energik. Momen sederhana itu mengingatkan mereka bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal kecil dalam hidup, seperti berbagi makanan dengan teman-teman terdekat.
“Malam ini kita bisa mencari pelanggan dengan semangat baru,” ucap Dinda, merasa lebih bersemangat setelah menikmati srabi.
“Betul! Kita sudah siap untuk menghadapi malam ini!” seru Lily, menggoyang-goyangkan rambutnya yang berkilau terkena cahaya lampu jalan.
Dengan perut yang kenyang dan hati yang penuh keceriaan, mereka melanjutkan perjalanan ke pusat keramaian, siap untuk menghadapi dunia dan menemukan pelanggan baru. Dalam hidup mereka sebagai tlembuk, setiap malam adalah petualangan baru, dan mereka bertekad untuk menikmatinya sepenuhnya.
Setelah makan srabi, Lily, Dinda, dan Tika merasa perlu menghibur diri. Suasana hati mereka sedikit terganggu karena tidak banyak pelanggan yang datang malam itu. Dalam perjalanan pulang, mereka bertiga berjalan sambil mengobrol, dan tiba-tiba Dinda mengusulkan ide yang mengejutkan.
“Bete nih, mabuk yuk!” kata Dinda dengan semangat. Raut wajahnya seolah menyiratkan bahwa dia sangat butuh pelarian dari rasa lelah dan suntuk yang membelenggu.
“Mabuk? Hmmm... bisa jadi ide yang seru,” balas Lily sambil tersenyum. “Setidaknya kita bisa melupakan semua masalah sejenak.”
Tika terlihat ragu. “Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai mabuknya berlebihan. Kita tetap harus bisa pulang dengan aman.”
“Tenang saja, kita tidak perlu mabuk sampai pingsan,” Dinda meyakinkan. “Kita hanya ingin bersenang-senang, kan?”
Akhirnya, mereka setuju untuk mampir ke bar kecil yang tidak jauh dari tempat mereka. Bar tersebut terkenal dengan suasananya yang ramah dan harga minuman yang terjangkau. Ketiganya masuk ke dalam bar dan disambut oleh musik yang mengalun lembut, ditambah cahaya redup yang membuat suasana semakin intim.
Mereka memilih tempat di sudut yang sedikit lebih terpencil, jauh dari pandangan orang lain. Setelah duduk, seorang pelayan datang dan menawarkan daftar minuman. Dinda segera memesan bir, Lily memilih cocktail, dan Tika hanya meminta air mineral untuk menetralkan. Meskipun ingin bersenang-senang, Tika tetap ingin menjaga kewarasan.
“Biar aku yang minum, kalian bisa ikut menikmati,” ucap Lily sambil menggoda Tika. “Setelah ini, kita bisa lebih berani menghadapi pelanggan.”
Tak lama kemudian, minuman mereka datang. Dinda membuka birnya dan mengangkat gelas. “Ayo, kita bersulang! Untuk kebersamaan kita dan momen-momen menyenangkan ini!”
Lily dan Tika mengangkat gelas mereka dan bersulang. “Untuk kita!” seru Lily.
Mereka meneguk minuman, dan suasana mulai terasa lebih hangat. Setelah beberapa gelas, tawa dan candaan mulai mengisi ruangan kecil itu. Dinda menjadi lebih ceria dan bersemangat, menggoda teman-temannya untuk bergoyang mengikuti irama musik.
“Yuk, kita berdansa! Kita harus memanfaatkan setiap momen!” seru Dinda.
Akhirnya, tanpa ragu, mereka bergerak ke lantai dansa. Suara musik yang mengalun membuat mereka melupakan semua beban yang ada. Mereka menari dengan penuh semangat, melupakan sejenak dunia di luar. Saling melirik dan tertawa, membuat malam semakin berkesan.
Setelah beberapa waktu, mereka kembali ke meja. Dinda sudah setengah mabuk, tetapi wajahnya bersinar ceria. “Ini adalah malam terbaik yang pernah kita miliki!” ucapnya dengan senyuman lebar.
Lily dan Tika tertawa melihat Dinda yang sedikit oleng. “Kamu harus lebih hati-hati, Dinda. Jangan sampai jatuh dari kursi!” ejek Tika.
“Aku tidak akan jatuh! Ini hanya cara kita bersenang-senang,” Dinda menjawab, masih berusaha menjaga keseimbangan.
Seiring berjalannya waktu, mereka memutuskan untuk memesan beberapa makanan ringan. Mereka memesan keripik dan beberapa makanan kecil lainnya untuk mengisi perut. Dalam suasana hangat itu, mereka berbagi cerita, tawa, dan bahkan sedikit curhat tentang pengalaman mereka sebagai tlembuk.
“Kadang-kadang aku merasa jenuh dengan semua ini,” ungkap Lily sambil memandangi gelasnya. “Tapi, di sisi lain, aku merasa bangga dengan siapa diri kita sekarang.”
“Benar,” kata Tika. “Kita mungkin tlembuk, tapi kita punya kekuatan dan keberanian untuk menjalani hidup ini.”
Dinda menambahkan, “Dan kita selalu punya satu sama lain. Kita adalah keluarga di sini, dan itu yang terpenting.”
Malam itu berlanjut dengan tawa dan ceria. Namun, seiring efek alkohol mulai memudar, mereka mulai merasakan kelelahan. “Kayaknya sudah saatnya kita pulang,” ucap Tika, menyadari jam sudah cukup larut.
“Ya, mungkin kita harus menjaga diri agar tidak berlebihan,” Lily setuju.
Dinda masih terlihat ingin melanjutkan, “Tapi aku masih ingin berkaraoke! Ayo, satu lagu lagi!”
Akhirnya, mereka sepakat untuk menutup malam itu dengan satu lagu karaoke sebelum pulang. Mereka menuju panggung kecil di sudut bar. Dengan keberanian yang tersisa, mereka menyanyikan lagu yang mereka sukai, tertawa dan bercanda saat mereka berusaha mengikuti nada. Suara mereka mungkin tidak seindah penyanyi profesional, tetapi bagi mereka, itu adalah momen yang tak ternilai.
Setelah menyelesaikan lagu, mereka mendapatkan tepuk tangan meriah dari beberapa pengunjung lainnya di bar. Tika tersenyum lebar, “Nah, itu baru namanya pertunjukan!”
Setelah itu, mereka pulang dengan perasaan bahagia. Meskipun malam itu tidak semua berjalan mulus, mereka berhasil menemukan cara untuk bersenang-senang dan mendukung satu sama lain. Dalam perjalanan pulang, mereka berbincang-bincang tentang rencana ke depan, bagaimana mereka bisa meningkatkan pekerjaan dan menikmati hidup mereka sebagai yang terbaik.
Malam itu menjadi salah satu kenangan terindah dalam perjalanan mereka, di mana mereka saling menguatkan dan merayakan kebersamaan mereka sebagai sahabat. Saat mereka tiba di rumah masing-masing, mereka tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan selalu memiliki satu sama lain dan tidak akan pernah merasa sendirian dalam menjalani kehidupan ini sebagai tlembuk.
“Besok kita harus ulang lagi!” seru Dinda sebelum berpisah.
“Setuju!” jawab Lily dan Tika serempak, tersenyum penuh semangat.
Malam itu menjadi penutup yang manis dan mengingatkan mereka bahwa meskipun hidup sebagai tlembuk mungkin tidak selalu mudah, mereka tetap bisa menemukan kebahagiaan dalam persahabatan dan momen-momen sederhana yang penuh makna.
Setelah melewati malam yang seru dan penuh tawa, suasana hati mereka tetap hangat. Namun, tiba-tiba, saat mereka sedang bercanda, Dinda merasakan sesuatu yang mengganggu. Dia meringis dan berkata, “Eh, guys, aku kebelet ngising nih!”
Lily dan Tika tertawa mendengar keluhan Dinda. “Wah, jangan sampai kamu ngompol di sini, ya!” canda Lily, menggoda sahabatnya.
“Aku serius! Aku harus cepat-cepat ke toilet!” Dinda menjawab, berusaha menahan gelak tawanya. “Bisa-bisa aku jadi pelawak beneran kalau sampai di sini!”
Tanpa membuang waktu, Dinda berlari menuju toilet. Sementara itu, Lily dan Tika masih tertawa, teringat betapa lucunya situasi tersebut.
“Kadang-kadang kita lupa untuk memperhatikan hal-hal kecil seperti ini,” Tika berkata. “Kita terlalu asyik dengan kesenangan hingga melupakan kebutuhan dasar.”
Lily mengangguk. “Iya, kadang kita terjebak dalam kesenangan malam yang membuat kita lupa waktu dan diri sendiri.”
Tak lama kemudian, Dinda kembali, wajahnya tampak lega. “Akhirnya! Rasanya seperti mengangkat beban berat!” ujarnya sambil tertawa. “Kalian tidak tahu, aku hampir tidak bisa menahan!”
Keduanya ikut tertawa, merasakan kelegaan yang sama. “Untung kamu sempat kembali, bisa kita lanjutkan menikmati malam ini,” Tika bilang.
“Betul, kita harus menghabiskan sisa malam ini dengan baik,” Lily menambahkan. “Jangan sampai terlewatkan.”
Setelah beberapa saat, mereka kembali ke meja dan memesan beberapa minuman lagi untuk merayakan kebersamaan mereka. Dinda mengambil kesempatan untuk memesan cocktail yang lebih kuat, sambil mengajak teman-temannya untuk ikut mencobanya.
“Ini dia, untuk memperingati malam yang seru ini! Kita harus bikin kenangan lebih banyak,” kata Dinda, sambil mengangkat gelas.
Lily dan Tika mengangkat gelas mereka dan bersulang. “Untuk kita, untuk persahabatan, dan untuk setiap momen yang berharga!”
Mereka meneguk minuman mereka dengan semangat, merasakan rasa manis dan segar dari cocktail. Sebagian dari mereka berbagi cerita lucu tentang pengalaman kencan mereka yang aneh dan unik, sementara yang lain menambahkan sedikit kisah menarik dari pekerjaan mereka sebagai tlembuk.
Saat suasana semakin akrab, tiba-tiba Dinda menyadari ada sesuatu yang aneh. “Eh, kalian perhatikan nggak? Bar ini kayaknya makin ramai,” Dinda mengamati.
“Ya, sepertinya banyak cowok baru yang datang. Kita harus bersiap-siap!” jawab Lily sambil mengedipkan mata.
Mereka bertiga pun mulai mengamati pengunjung lain, siap-siap jika ada kesempatan untuk menarik perhatian. Sambil bercanda, mereka merencanakan strategi untuk menarik pelanggan baru.
“Mungkin kita bisa tampil di depan untuk menghibur mereka,” Tika menyarankan.
“Bisa juga! Kita bisa nyanyi bareng atau mungkin ada yang mau ikut berdansa,” Lily menambahkan.
Dengan semangat baru, mereka beranjak dari meja dan menuju ke area yang lebih ramai. Musik semakin keras dan suasana semakin hidup. Mereka mengajak beberapa pengunjung lain untuk ikut menari dan menyanyi, memanfaatkan suasana yang menggembirakan.
Di tengah keramaian, Dinda tiba-tiba teringat kembali pada rasa kebeletnya. “Eh, guys, jangan lupa, aku kebelet lagi!” dia berteriak sambil tertawa.
“Loh, kamu ini, Dinda!” Lily mengejek. “Kamu harus bawa tisu setiap saat, biar nggak ketinggalan.”
“Jangan bikin aku ngakak, ya! Nanti bisa kejadian lagi,” Dinda menjawab sambil berlari ke toilet sekali lagi.
Tika dan Lily melanjutkan untuk berinteraksi dengan pengunjung lain, menikmati suasana yang penuh tawa dan keceriaan. Mereka merasa seperti bintang malam itu, dikelilingi oleh teman baru dan kenangan indah.
Keduanya menari mengikuti irama lagu yang mengalun, merasakan kebebasan dan keceriaan yang tak ternilai. Ketika Dinda kembali dari toilet, dia kembali bergabung dengan mereka, tak kalah ceria.
“Eh, kalian masih nungguin aku ya?” Dinda berteriak, masih dengan semangat.
“Pastinya! Kita nggak bisa seru-seruan tanpa kamu,” Tika menjawab.
Malam itu terus berlanjut dengan tawa, tari-tarian, dan banyak cerita yang saling dibagikan. Tanpa mereka sadari, waktu berlalu begitu cepat, dan saat mereka melihat jam, sudah larut malam.
“Kayaknya kita harus pulang sekarang. Besok kita ada kerja lagi, kan?” kata Tika, melihat jam di ponselnya.
“Iya, bener. Meskipun seru, kita juga harus ingat tanggung jawab,” Lily setuju.
“Ya sudah, mari kita pulang. Tapi besok kita harus bikin rencana untuk party lagi!” Dinda mengusulkan.
Dengan semangat itu, mereka keluar dari bar dan berjalan pulang. Dalam perjalanan pulang, mereka membahas rencana untuk malam berikutnya, memastikan mereka akan tetap bersenang-senang dan merayakan kebersamaan mereka sebagai sahabat.
“Buat kita, kebelet ngising pun bisa jadi momen seru,” Lily menggoda.
Dinda dan Tika tertawa, sepakat bahwa momen-momen kecil seperti itu yang membuat hidup mereka lebih berwarna dan menyenangkan.
Malam itu menjadi penutup yang manis dan mengingatkan mereka bahwa meskipun hidup sebagai tlembuk mungkin tidak selalu mudah, mereka tetap bisa menemukan kebahagiaan dalam persahabatan dan momen-momen sederhana yang penuh makna.