NovelToon NovelToon
Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kaya Raya / Fantasi Wanita
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Prolog:

Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1 Bagian 26 Surat Tanpa Nama

Namun, ketika dia sampai di depan pintu apartemennya, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya. Sebuah amplop cokelat kecil terselip di bawah pintu, tanpa tanda pengirim atau stempel pos.

Nadia memungut amplop itu dengan alis berkerut. Beratnya ringan, seperti hanya berisi selembar kertas. Dia memeriksa sekeliling lorong, tapi tidak ada siapa pun di sana. Hening, hanya suara langkah penghuni lain yang terdengar samar-samar dari lantai atas.

“Siapa yang meninggalkan ini?” gumamnya.

Dia masuk ke apartemen, meletakkan tasnya di sofa, dan langsung membuka amplop tersebut. Isinya hanya satu lembar kertas putih dengan tulisan tangan yang rapi tapi dingin:

 "Jangan terlalu percaya. Orang seperti Reza tidak sebaik yang kamu pikirkan. Jika kamu tetap mendekatinya, kamu akan menyesal. Ini peringatan terakhir."

Jantung Nadia berdegup lebih kencang. Dia membaca ulang surat itu, memastikan bahwa matanya tidak salah melihat. Tidak ada tanda siapa pengirimnya, tidak ada petunjuk apa pun.

“Ini... apa-apaan?” bisiknya, merasa gelisah.

Dia melipat kertas itu dan meletakkannya di atas meja. Pikiran Nadia berputar-putar. Siapa yang bisa mengirimkan surat seperti ini? Apa maksudnya? Dan yang paling penting, apakah ini ancaman?

Dia mencoba mengingat apakah ada seseorang yang tidak menyukai hubungannya dengan Reza. Namun, sepanjang yang dia tahu, hubungan mereka tidak pernah menjadi perhatian besar bagi orang lain.

Nadia berjalan mondar-mandir di ruang tamunya. Bagian dari dirinya ingin mengabaikan surat itu, menganggapnya sebagai lelucon buruk. Namun, ada bagian lain yang membuatnya merasa waspada.

“Kalau ini serius, aku harus apa?” pikirnya.

Dia meraih ponselnya, berpikir untuk menghubungi Reza. Tapi kemudian dia ragu. Bagaimana jika surat ini benar? Bagaimana jika ada sesuatu yang tidak dia ketahui tentang Reza?

“Aku nggak boleh terburu-buru,” gumamnya.

Dia memutuskan untuk mengambil pendekatan lebih hati-hati. Surat itu mungkin ditulis oleh seseorang yang iri, atau mungkin seseorang yang benar-benar tahu sesuatu yang Nadia tidak tahu.

Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Surat itu terus menghantui pikirannya, membuat segala rencana yang dia susun sebelumnya terasa goyah.

“Kalau Dian bilang aku harus mencoba, bagaimana kalau ini adalah tanda kalau aku nggak seharusnya melanjutkan?” pikir Nadia dalam hati.

Dia menatap langit-langit kamar, mencoba mencari jawaban. Namun, semakin dia berpikir, semakin dia merasa bingung. Surat tanpa nama itu telah membuka babak baru dalam dilema yang sudah cukup membebaninya.

“Aku harus cari tahu siapa yang mengirim ini,” tekadnya, sebelum akhirnya terlelap dengan pikiran yang masih penuh keraguan.

Keesokan paginya, Nadia bangun dengan tekad untuk mencari tahu. Surat tanpa nama itu terlalu mengganggu pikirannya untuk diabaikan begitu saja. Setelah sarapan singkat, dia mengenakan jaket tipis dan keluar dari apartemen. Langkahnya langsung menuju pos keamanan yang terletak di lantai dasar gedung.

Di dalam pos, seorang petugas keamanan paruh baya sedang duduk sambil meminum kopi. Pria itu, Pak Herman, dikenal ramah oleh para penghuni.

“Selamat pagi, Pak Herman,” sapa Nadia sambil tersenyum tipis.

Pak Herman menoleh dan langsung membalas dengan hangat. “Pagi juga, Mbak Nadia. Ada yang bisa saya bantu?”

Nadia ragu sejenak sebelum akhirnya bicara. “Iya, Pak. Sebenarnya saya mau tanya sesuatu.”

Pak Herman meletakkan cangkir kopinya. “Tanya apa, Mbak? Silakan.”

“Begini, Pak. Kemarin sore saya menemukan sebuah amplop di depan pintu apartemen saya. Tapi, amplop itu nggak ada nama pengirimnya, dan saya nggak tahu siapa yang menaruhnya di sana.”

Pak Herman mengernyitkan dahi, tampak penasaran. “Amplop tanpa nama? Maksud Mbak Nadia, ada seseorang yang sengaja menaruhnya di depan pintu, begitu?”

“Iya. Makanya saya mau tanya, apa Bapak atau petugas lain melihat ada orang asing masuk ke lantai apartemen saya?”

Pak Herman mengusap dagunya, mencoba mengingat-ingat. “Hmm... kemarin ya? Kalau nggak salah, saya berjaga sampai pukul lima sore. Setelah itu giliran Pak Rudi yang jaga. Tapi setahu saya, nggak ada orang asing yang masuk tanpa izin.”

“Tapi, apa mungkin ada penghuni lain yang naik ke lantai saya?”

“Mungkin saja, Mbak. Tapi kalau penghuni, biasanya saya nggak terlalu perhatikan, selama mereka punya akses ke lift.”

Nadia menghela napas panjang. “Jadi, nggak ada yang mencurigakan, Pak?”

Pak Herman menggeleng. “Sejauh ini, nggak ada. Tapi kalau Mbak mau, saya bisa periksa rekaman CCTV di lorong lantai Mbak. Biasanya kan ada kamera di situ.”

Nadia merasa lega mendengar usulan itu. “Wah, itu boleh banget, Pak. Saya benar-benar penasaran siapa yang menaruh surat itu.”

Pak Herman mengangguk. “Oke, tunggu sebentar. Saya ambil rekamannya dulu.”

Beberapa menit kemudian, Pak Herman kembali dengan laptop di tangannya. Dia membuka rekaman CCTV dan mulai memutar video dari waktu sore kemarin, tepat saat Nadia belum pulang.

Rekaman menunjukkan lorong apartemen Nadia yang sepi. Beberapa tetangga terlihat keluar-masuk unit mereka, tapi tak ada yang mencurigakan. Hingga pada pukul enam sore, seorang pria tak dikenal muncul. Dia mengenakan jaket hitam dan topi, menutupi sebagian besar wajahnya. Pria itu berhenti di depan pintu apartemen Nadia, tampak meletakkan sesuatu di sana, lalu pergi begitu saja.

“Nah, itu dia!” seru Pak Herman sambil menunjuk layar.

Nadia membungkuk lebih dekat untuk melihat. “Siapa dia, Pak? Saya nggak kenal orang itu.”

“Sepertinya dia bukan penghuni sini,” jawab Pak Herman. “Karena saya nggak pernah lihat dia sebelumnya. Tapi anehnya, dia bisa sampai ke lantai Mbak.”

“Berarti dia punya akses ke lift?” tanya Nadia.

“Entah itu, atau dia masuk bersamaan dengan penghuni lain,” jawab Pak Herman sambil mengusap dagunya.

“Pak, bisa nggak dicek lagi dari rekaman CCTV di pintu masuk gedung? Mungkin kita bisa lihat kapan dia datang,” pinta Nadia.

Pak Herman mengangguk. “Bisa. Tapi itu perlu waktu. Saya harus mencocokkan waktunya dulu.”

“Kalau begitu, tolong ya, Pak. Saya benar-benar ingin tahu siapa dia.”

Pak Herman menepuk bahunya dengan ramah. “Tenang saja, Mbak. Nanti kalau saya sudah dapat informasi lebih, saya langsung kabari Mbak.”

“Terima kasih banyak, Pak Herman,” ucap Nadia dengan tulus.

Sambil berjalan kembali ke apartemennya, hati Nadia dipenuhi berbagai pikiran. Siapa pria itu? Apa tujuannya mengirim surat tanpa nama tersebut? Dan bagaimana dia bisa tahu tentang dirinya dan Reza?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Nadia semakin waspada, tapi juga memicu tekadnya untuk menggali lebih dalam. Surat itu mungkin peringatan, atau mungkin ancaman. Tapi apa pun itu, dia tahu ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan.

Setelah kembali ke apartemennya, Nadia melemparkan jaket ke sofa dan langsung duduk dengan ekspresi penuh kebingungan. Di tangannya, amplop surat tanpa nama itu masih tergenggam. Tatapannya kosong, tapi pikirannya terus memutar rekaman CCTV yang baru saja dia lihat bersama Pak Herman.

Pria dengan jaket hitam dan topi itu terus menghantui benaknya. Wajahnya yang tidak jelas terlihat membuat Nadia semakin frustrasi. Siapa dia? Apa tujuannya? Dan bagaimana dia bisa tahu tentang dirinya dan Reza?

Dia mengambil surat itu dari amplop dan membacanya lagi. Kata-kata yang tertulis terasa seperti duri, menusuk-nusuk pikirannya.

"Jangan terlalu percaya. Orang seperti Reza tidak sebaik yang kamu pikirkan. Jika kamu tetap mendekatinya, kamu akan menyesal. Ini peringatan terakhir."

“Orang seperti Reza?” gumam Nadia pelan. “Apa maksudnya? Apa ini berarti dia tahu sesuatu tentang Reza yang aku nggak tahu?”

Dia menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. Kekhawatiran mulai merayap masuk.

Pikirannya berputar mencari kemungkinan-kemungkinan. Apakah pria itu seseorang dari masa lalu Reza? Atau mungkin seseorang yang merasa iri pada hubungannya?

Nadia mencoba mengingat kembali semua percakapannya dengan Reza. Selama ini, Reza selalu terlihat jujur dan terbuka. Tapi, tidak ada yang benar-benar tahu rahasia terdalam seseorang, bukan?

“Tapi kenapa orang itu nggak langsung bicara ke aku? Kenapa harus pakai surat tanpa nama?” tanyanya sendiri, frustrasi.

Dia mencoba memikirkan satu kemungkinan lain yang lebih masuk akal: apa ini hanya lelucon buruk? Namun, melihat keseriusan dalam tulisan itu, dia merasa sulit percaya ini hanya gurauan.

Nadia berdiri dan berjalan ke jendela, memandang ke luar dengan tatapan kosong. Dari lantai apartemennya, dia bisa melihat hiruk-pikuk kota yang tidak pernah tidur. Namun, di dalam dirinya, ada rasa sunyi yang menusuk.

Dia merasa seperti sedang diawasi, meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya.

“Aku harus bilang ke Reza,” pikirnya. Tapi kemudian, keraguan muncul.

Bagaimana jika ini malah membuat segalanya menjadi lebih rumit? Bagaimana jika Reza sendiri tidak tahu apa-apa? Atau, sebaliknya, bagaimana jika surat itu benar?

Nadia menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak bisa mengambil keputusan terburu-buru. Dia harus memastikan siapa pria itu dan apa tujuannya sebelum melibatkan orang lain, bahkan Reza.

Setelah beberapa saat merenung, Nadia menarik napas dalam-dalam dan kembali duduk di sofa. Dia memutuskan untuk menunggu kabar dari Pak Herman tentang rekaman CCTV di pintu masuk gedung. Itu mungkin satu-satunya petunjuk yang bisa membantunya mengungkap misteri ini.

Namun, di balik rasa penasaran dan kekhawatirannya, ada sesuatu yang lain: perasaan bahwa hidupnya akan berubah. Surat tanpa nama itu seperti sinyal bahwa ada rahasia yang lebih besar sedang menunggunya di depan.

“Aku harus siap,” bisiknya pada diri sendiri. “Apa pun yang terjadi, aku harus tahu kebenarannya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!