Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Kopi nya, Pak" Arumi meletakkan cangkir di depan Davin.
"Heemm..." Davin hanya berdehem.
Arumi mendengus kesal, bukan bilang terimakasih tetapi hanya 'heemm' lelaki tak patut diteladani. Batin Rumi, tetapi tidak mau berkomentar lebih baik keluar karena kerjaan di kubikel sudah menunggu.
"Sepertinya minum kopi enak juga" Rumi ke pantri menyeduh kopi susu untuk dirinya sendiri, kemudian dia bawa ke kubikel melanjutkan mengetik sambil menunggu kopi tersebut hangat.
Sruupp... sruup...
"Segar..." pria yang bersama Davin siapa lagi jika bukan asintennya. Ia tersenyum tanpa dosa menatap wajah Rumi yang cemberut tidak ikhlas kopinya diminum.
Rumi melengos, orang di kantor ini hampir rata-rata tidak punya sopan santun, minum kopi di depan pemiliknya tidak permisi, langsung nyosor seperti bebek di sawah.
"Kopi buatan kamu enak" pria yang belum diketahui namanya itu komat kamit menelan sisa kopi.
"Habiskan saja" Rumi mengangkat kepala menatap pria yang hanya berdiri di samping kubikel seperti mandor. Namun, hanya hitungan detik, Arumi kembali fokus ke jari-jari yang menekan keyboard.
"Lagi kerjain apa Mbak? Dari tadi sibuk sekali"
"Bapak yang bikin sibuk, tadi kan suruh saya membersihkan ruangan Pak Davin jadi pekerjaan Bu Siska terbengkelai" Arumi akhirnya mengeluarkan isi hatinya. Menjadikan pria di depanya sebagai sasaran kekesalanya.
"Aku bantu" pria itu duduk di kubikel kosong sebelah Rumi, ambil kertas kemudian mengetik.
Arumi kaget karena ternyata pria itu baik juga. Semoga tidak ada buntutnya. Batin Arumi.
"Kamu tidak mau tahu nama saya?" Si pria membuka percakapan.
"Siapa" Hati Rumi luluh juga, siapa yang tidak senang dibantu saat genting seperti sekarang.
"Nama saya Dermawan, panggil saja Derman" Derman menyeruput kopi kembali hingga tak tersisa.
"Oh, mudah-mudahan nama Bapak sesuai dengan perbuatan" Rumi terkikik.
"Hais, aku jelas Dermawan, buktinya membantu kamu" Dermawan bangga diri.
"Dermawan apaan? Bapak minum kopi saya sampai habis tanpa permisi" Arumi melempar sindirian membuat Dermawan seketika menatap gelas kosong lalu tertawa.
"Apa hubungannya Dermawan dengan mencuri kopi? Yang benar itu, Dermawan tidak harus memberikan harta benda, tapi suka rela tenaga pun termasuk dermawan" Derman tak mau kalah.
"Terserah Bapak, tapi saya terimakasih sudah dibantu" Arumi senang karena bebas dari amukan wanita yang mengidap rabies seperti Siska, mungkin dulu digigit Anjing gila. Arumi berspekulasi.
"Dari tadi kamu panggil aku Bapak, memang sudah bapak-bapak" protes Derman padahal dia baru 25 tahun.
"Lalu, mau dipanggil apa? Kakek?" Arumi mentertawakan kata-katanya sendiri.
"Mas, Abang, Kakak, atau Darling" Derman tertawa.
"Dih" Arumi melengos tetapi senang kerena pekerjaan sudah selesai, kemudian merapikan kertas.
"Sebagai imbalan karena kamu membuatkan kopi untuk saya, saya bantu mengantar ke ruangan bu Siska" Derman mengangkat kertas lebih dulu, kemudian mengantar ke ruangan bu Siska diikuti Rumi.
"Ini tugas kamu selanjutnya" bu Siska memberikan kertas yang ditulis tangan, ketika Arumi tiba di ruangan bu Siska.
"Baik bu" Tanpa membantah karena selamat dari omelan bu Siska pun sudah beruntung. Arumi kembali ke kubikel mengetik tulisan tangan tersebut.
"Atee..." Adel berlari sambil membawa boneka.
"Hai sayang... sini duduk di sebelah Tante" Rumi mengangkat tubuh mungil itu ke atas kursi. Kehadiran bocah itu terasa mengisi energi positif kala semangat Arumi mulai mengendur.
"Ate lagi kelja ya? Olang dewasa senengnya kelja, kelja, telus..." Adel cemberut sebagai aksi protes. Rumi menangkap bahwa Adel menunjukkan kurangnya perhatian.
"Iya, karena orang dewasa mempunyai tanggung jawab lebih besar" Arumi mengusap rambut panjang dan ikal itu lembut.
"Pasti Ate akan bilang sepelti Papa. Papa sibuk kelja untuk kamu sayang..." Adel menirukan ucapan Davin.
Arumi kaget, anak ini sangat cerdas bisa menangkap apa yang akan Arumi ucapkan. "Umur Adel berapa tahun?" Tanya Arumi penasaran karena Adel sangat dewasa.
"Tiga tahun, hali minggu nanti aku ulang tahun, Ate datang ya" wajah Adel tiba-tiba sumringah.
"Boleh-boleh" Arumi melanjutkan mengetik. Namun, Adel terus mengajak bicara, Arumi tahu jika Adel butuh perhatian, tetapi Arumi harus profesional menyelesaikan tugas yang diberikan Siska.
"Adel bisa gambar tidak?"
"Bisa-bisa"
"Sekarang Adel gambar dulu ya" Rumi terpaksa memberikan pensil alis milik temannya satu kos yang dia titipkan di tas Rumi, karena bekerja di tempat ini juga. Tidak masalah jika Rumi harus mengganti pensil alis temannya itu yang penting Adel senang dan pekerjaan Rumi pun selesai.
"Ini bukan buat gambal Ate, tapi buat gini" Adel tiba-tiba berdiri dan menyoret-nyoret alis Arumi. Aduh... bagaimana ini? batin Arumi tidak menyangka jika Adel akan tahu kegunaan pensil tersebut. Mungkin saja Adel sering melihat sang mama menggunakan alat itu.
Mau menolak kasihan, tidak ditolak tugasnya belum dia kerjakan. Rumi membayangkan jika bu Siska akan mengeluarkan tanduk. Namun, Arumi membiarkan saja ketika tangan kecil itu terasa menggerakkan pensil di alisnya entah apa bentuknya, padahal Arumi sendiri belum pernah menggunakan alat itu.
"Holee... Ate cantiiiikk..." Adel berseru riang.
"Ya sudah... sekarang Adel duduk manis ya, Tante mau kerja dulu" Rumi membantu Adel duduk kembali, tetapi bocah itu turun dari kursi lalu berlari tanpa berkata-kata.
"Waduh, jangan-jangan marah" Arumi menatap Adel hingga tidak terlihat. Kemudian melanjutkan mengetik.
"Atee... Adel sekalang mau gambal..."
Hanya waktu lima menit Adel kembali dengan menggendong ransel kecil berwarna pink. Arumi tersenyum ketika Adel mengeluarkan krayon dan buku gambar.
"Kalau gambal itu pakai pensil sama klayon Ate... bukan... bukan..." mulut Adel menyon-menyon lupa menyebut pensil alis.
Arumi terkikik untuk menutup rasa malu karena diajari anak umur tiga tahun. Padahal Rumi kira Adel tidak membawa peralatan menggambar.
"Okay... sekarang Adel menggambar dulu" Arumi meletakkan buku gambar dan pensel di atas meja. Kali ini Adel menggambar dengan tenang. Kesempatan itu digunakan Rumi untuk bekerja. Arumi geleng-geleng serasa punya anak bayi yang harus menunggu anaknya tidur baru bisa ditinggal kerja.
Mereka sibuk dengan dunianya masing-masing, sesekali Adel minta hasil gambarnya dinilai Rumi. Hingga pekerjaan selesai, Arumi membereskan bekas gambar nemasukan ke dalam tas.
"Adel Tante antar keruangan Papa, ya" kata Arumi setelah memasang tas di bahu Adeline. Jika lama-lama di luar bos besar pasti akan mencarinya.
"Ate mau kemana?" Adel mendongak menatap wajah Rumi seakan tidak mau berpisah.
"Mau keruangan bu Siska"
"Ikuuutt..." mulut Adel ngumpul nampak memelas. Arumi tersenyum terpaksa menuntun Adel mengajaknya serta.
"Sudah selesai Bu" Arumi meletakkan hasil kerjanya di depan bu Siska. Siska mengangkat kepala menatap wajah Rumi nyengir karena dandanan Rumi aneh, lanjut melempar tatapan kepada Adeline yang merangkul lengan Arumi.
"Ini buat kamu" bu Siska memberi uang lembaran 10 ribu dengan raut wajah tidak ikhlas.
Rumi hanya bengong menatap uang tersebut tanpa berniat mengambil. Bukan dia ngarep dikasih uang tip karena Rumi akan mendapat gaji. Rumi hanya ingin ucapan terimakasih baginya sudah cukup. Padahal jika dilihat pekerjaan yang Arumi kerjakan hingga siang ini sangat melelahkan. Merasa tidak adil jika diberi imbalan 10 ribu pun tidak ikhlas. Padahal itu seharusnya tugas bu Siska yang akan mendapat uang insentif. Huh! Enak banget jadi bos, hanya tinggal laminating langsung serahkan kepada atasannya lagi, Siska yang mendapat keuntungan.
"Permisi Bu..." Rumi meninggalkan uang tersebut.
"Sekarang Tante mau ke kantin, Adel Tante antar keruangan Papa ya"
"Nggak mauuu... Ikuuutt..."
"Ya sudah..." Rumi terpaksa mengajak Adel ke kantin.
"Mau kamu ajak kemana anak saya?" Suara bariton tiba-tiba sudah di belakang Rumi.
...~Bersambung~...