Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 8
"Mas Slamet, saya peringatan sekali lagi. Kita sudah tidak ada urusan, sebaiknya jangan mengikuti saya. Karena saya tidak mau ada salah paham dengan istrimu" ucap Mia penuh penekanan. Mia sudah jauh meninggalkan mantan suaminya itu, tetapi Slamet terus mengejar Mia dengan dalih minta dibuatkan kue.
"Mas Slamet..." panggil wanita dari arah lain dengan suara ngegas, berjalan cepat ke arah mereka.
Mia menarik napas, membuang kasar, ketika menatap wajah Ranti yang tidak bersahabat. Sudah Mia bayangkan akan seperti ini jadinya.
"Heh, dasar janda tidak laku loe! Berani mengganggu suami orang" tuduh Ranti menatap Mia penuh kebencian.
Hati Mia sakit mendengar itu, tetapi dia tidak mau terlihat lemah di depan wanita yang sudah melukai hatinya berkali-kali hingga menjadi borok.
"Dengar Ranti, saya sedang tidak mau ribut di pagi hari, karena hanya akan merusak mood. Tetapi karena mulut kamu tidak bisa mengontrol bicara, sebaiknya harus diberi pelajaran," Mia mendekatkan telapak tangan yang siap mencakar Ranti.
"Jangan Mia, maafkan Ranti" Slamet menahan tangan Mia. Slamet tidak tahu bahwa sebenarnya Mia hanya menakut-nakuti.
"Ajari mulut istrimu ini Mas, jika tidak, tangan ini akan membuat wajahnya tercabik-cabik" Mia pun kemudian pergi tidak mau lagi meladeni mereka.
Dalam langkahnya Mia masih mendengar Ranti yang berbicara keras dan kasar. Menuduh keberadaan Slamet di tempat ini, sengaja janjian ketemuan dengan Mia.
"Astagfirullah... kenapa aku harus bertemu dengan mereka," gumam Mia, hingga suara Ranti tidak terdengar karena Mia sudah berjalan begitu jauh.
Tiba di rumah, Mia membuka kain yang dia ikat di dada, menurunkan bakul dari bahu. Lalu Mia ke kamar ambil baju ganti yang masih di dalam tas, kemudian mengganti kebaya dengan celana dan kaos, karena badanya sudah berkeringat dan gerah.
Mia pun kembali ke dapur ambil minum air putih lalu membuka pintu dapur. Dengan alas jongkok dari kayu dia duduk di belakang rumah.
Angin semilir mengurangi keringat di badan Mia, sesekali meneguk air. Dia memandangi tanah warisan orang tuanya yang sudah di penuhi rumput tidak di urus. Muncul ide cemerlang di kepala Mia, dia akan membersihkan rumput dan memanfaatkan tanah kosong tersebut. Tanah yang luasnya kira-kira 100 meter persegi itu alangkah baiknya dia tanami apotek hidup.
Mia membayangkan bagaimana hasilnya satu tahun ke depan, tentu hasilnya akan memuaskan dan tidak harus membeli bahan jamu yang akan dia jual.
"Bapak... ibu..." ucap Mia, seketika ingat kedua orang tuanya. Entah sudah berapa bulan tidak ziarah ke makam keduannya.
Mia pun menghabiskan minum lalu bangkit kembali ke kamar. Dia salin baju menutup kepala kemudian berangkat ke kuburan.
Dutdutdut.
Tiba-tiba motor berhenti di depanya ketika Mia menunggu becak.
"Kamu mau kemana Mia? Ayo aku antar," Jaka membuka helm, tersenyum lebar kepada Mia.
"Tidak usah Jak, aku cuma mau ke kuburan" Mia menolak secara halus.
"Mia, kamu kenapa menolak terus sih... daripada menunggu becak kan sudah tinggal naik," keukuh Jaka.
Jaka lagi-lagi kecewa karena becak yang kebetulan lewat pun di stop Mia. Mia hanya melambaikan tangan ke arah Jaka seiring menjauhnya becak yang dia tumpangi meninggalkan tempat itu.
"Maafkan aku Jak" batin Mia. Dia bukan tidak tahu ketulusan Jaka, akan tetapi dia belum berpikir untuk dekat dengan pria lain. Karena luka hati yang di goreskan pria tidak dengan mudahnya menghilang begitu saja.
"Bisa di tunggu nggak Pak, cuma sebentar kok" kata Mia kepada tukang becak ketika sudah tiba di kuburan.
"Tentu bisa Mbak" jawab pria kurus dan kulitnya mulai keriput.
Mia mengucapkan terimakasih lalu turun dari becak menuju kuburan. Tiba di kuburan, Mia mengucap salam dan mendoakan kedua orang tuanya.
Kedua orang tua Mia berasal dari Jawa Tengah, lalu merantau ke Jakarta. Bapaknya penjual sayur, dan sang ibu sebagai penjual jamu. Rupanya ilmu yang dimiliki sang ibu diwarisan kepada Mia.
Selesai berdoa, Mia pun kembali pulang. Tiba di rumah tidak istirahat, lalu membuat dagangan kue yang akan di jual nanti sore.
Begitulah Mia, setelah bercerai justru memporsir diri, karena mempunyai segudang rencana. Dia akan mengumpulkan uang yang banyak untuk merapikan rumah peninggalan almarhum.
Jam empat sore, kue buatan Mia sudah matang semua, lalu menyusun ke dalam tampah. Setelah mandi lanjut shalat ashar, kemudian akan berangkat berjualan.
"Bismillah... Lancarkan ya Allah..." Doa Mia lalu meletakkan tampah di atas kepala.
Sore yang cerah, seolah mendukung niat mulia Mia mencari rezeki yang halal.
"Kue kue..." tiba di area komplek yang tadi pagi berjualan jamu, dia berkeliling. Mia berdiri di depan rumah yang tadi pagi memesan kue, tetapi rumah itu sepi.
"Mungkin ibu tadi pergi" Monolognnya tak patah semangat. Mia terus berjalan, tetapi sore itu tidak seberuntung tadi pagi ketika menjual jamu. Nyatanya sudah hampir magrib belum ada yang membeli kue.
Di pos satpam yang tanpa penjaga, Mia beristirahat di sana. Dia melihat para ibu-ibu yang baru selesai senam berjalan beriringan meninggalkan lapangan. Mia kagum kepada mereka, walaupun usia para wanita itu sudah di atas 40 tahun, tetapi nampak bugar ternyata mereka rajin senam.
Daripada ketinggalan shalat magrib, Mia memutuskan untuk pulang saja mungkin saat ini belum rezeki. Pikirnya.
"Mbak"
Ketika Mia akan mengangkat tampah, pendengarannya menangkap suara wanita yang memanggilnya.
"Ibu" Mia tersenyum ketika menoleh ke arah para ibu-ibu yang baru pulang senam salah satu dari mereka ibu yang memesan kue tadi pagi.
"Maaf ya Mbak, nggak ingat kalau hari ini saya ada jadwal senam. Mana kuenya? Saya mau beli" Tanya wanita itu lalu membuka penutup tampah.
"Oh ini Bu" Mia menurunkan tampah. Ibu-ibu yang mengenakan seragam senam itu mengelilingi Mia.
"Ini loh jeung. Mbak Jamu yang aku ceritakan kemarin, jamunya enak, pasti kuenya juga enak," kata ibu lalu menggigit risoles yang berisi telur dan mayo.
"Emmm... beneran enak" Ibu itu ambil plastik dan jepitan kue lalu memasukkan banyak kue kedalamnya.
"Jangan di habiskan Bu Nurul, saya juga mau"
"Saya juga"
"Saya juga"
Para ibu-ibu pun akhirnya semua berniat membeli.
Dengan semangat, Mia memasukkan kue atas permintaan para ibu-ibu, hingga kue di tampah pun habis.
"Besok jualan lagi ya Mbak" bu Nurul kembali berpesan.
"InsyaAllah. Bu" Mia pun tersenyum memandangi ibu-ibu yang sudah menjauh darinya. Mereka berjalan sambil ngobrol kadang diselingi tawa. Entah apa yang mereka bicarakan.
Mia pun akhirnya pulang sambil membawa tampah. Tampah tak lagi dia sunggi, melainkan di tengteng.
Tiba di dalam rumah keadaan sudah gelap, tangan Mia meraba tembok mencari stop kontak. Adzan manggrib pun sudah terdengar, Mia meletakkan tampah di dapur, kemudian mandi sebelum shalat magrib.
Setelah manggrib, Mia merebahkan tubuhnya di tikar, sebenarnya perutnya sudah minta di isi, tetapi Mia ingin beristirahat terlebih dahulu.
Tok tok tok
Tentu Allah tahu bahwa tubuh Mia kuat, sepertinya tidak diizinkan santai. Buktinya pintu depan sudah ada yang mengetuk.
Tok tok tok
"Iya... sebentar..." Mia pun cepat bangun lalu berjalan tergesa-gesa membuka pintu.
"Ibu..." Mia terkejut ketika pintu terbuka seorang wanita yang di sorot lampu teras menatap Mia tajam.
...~Bersambung~...
peran Slamet sebagai suami apa?
kalau pengangguran gampang banget poligami