Bagaimana jadinya jika seorang siswa SMA yang hidup sebatang kara mendapatkan anugrah sebuah Sistem Spin Kekayaan dan Kekuatan oleh seorang pengemis yang ternyata adalah seorang Dewa?.
Rendi Murdianto, seorang anak laki-laki yang hidup sebatang kara, orang tuanya meninggalkan dirinya ketika masih kecil bersama neneknya.
Hidup Rendi sangatlah miskin, untung saja biaya sekolah di gratiskan oleh pemerintah, meskipun masih ada kebutuhan lain yang harus dia penuhi, setidaknya dia tidak perlu membayar biaya sekolah.
Seragam sekolah Rendi pemberian tetangganya, sepatu, dan perlengkapan lainnya juga di berikan oleh orang-orang yang kasihan padanya. Bahkan Rendi mau saja mengambil buku bekas yang kertas kosongnya hanya tinggal beberapa lembar.
Kehidupan Rendi jauh dari kata layak, Neneknya mencoba menghidupi dia semampunya. Namun, ketika Rendi duduk di bangku SMP, Neneknya harus di panggil sang pencipta, sehingga Rendi mulai menjalankan hidupnya seorang diri.
Hidup tanpa keluarga tentu mem
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alveandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Roda Penggerak
Mang Ujang yang melihat Rendi dan Harisman yang berlari ke arah para pelajar yang sedang tawuran itu, sontak saja ia terkejut.
"Apa yang di lakukan bocah-bocah itu?! Haduh ... gawat!" celetuk Ujang khawatir.
Rendi mengincar, pemimpin kelompok yang sebelah kanan, sementara Harisman mengincar pemimpin kelompok sebelah kiri.
Bang
Rendi berhasil memukul pemimpin kelompok, tepat mengenai perutnya, meskipun ia tidak menggunakan kekuatan penuh, tapi pukulan tersebut berhasil membuat pemimpin tersebut langsung tidak sadarkan diri.
Teman-temannya tentu saja tidak terima, mereka langsung menyerang Rendi bersamaan, senjata tajam mereka ayunkan ke arah Rendi.
Dengan sigap Rendi menggunakan tangan besinya, ia menahan serangan mereka semua dengan sangat mudah.
Uraaa!
Teriak Rendi menghempaskan mereka semua, tentu saja semua orang yang melihat Rendi mampu menahan serangan mereka semua terkejut.
"Gila tuh bocah, mirip kaya super Hero di tipi-tipi!" ucap salah satu warga.
"Iya, kamu benar, hebat juga dia." timpal orang di sebelahnya.
"Daripada nonton, kenapa kita tidak bantu bocah itu saja." ucap salah satu orang lainnya.
"Ah benar juga, ayo kita bantu!"
Berkat keberanian Rendi, warga di sekitar sana juga ikut bergerak, mereka mengambil apapun yang ada di dekatnya untuk menjadi senjata pertahanan diri, karena mau bagaimanapun mereka mau melawan bocah-bocah yang memegang senjata tajam.
"Serang!" teriak salah satu orang warga.
Warga lainnya mengerutkan kening, pasalnya mereka bukan mau berperang, melainkan hanya mau menangkap anak-anak itu saja.
"Serang, Serang! Memangnya kita mau berperang apah!" tegur Mang Ujang yang mau ikut membantu Rendi.
"Hehehe ... biar keliatan kaya di tipi-tipi gitu kan seru Mang." ucap orang tersebut sambil tersenyum kecut.
Mereka semua menggelengkan kepalanya, tanpa basa-basi langsung menerjang ke arah anak-anak itu.
Melihat para warga ikut menyerang, mereka para pelajar yang melakukan tawuran terkejut, semuanya langsung berlari melarikan diri, sayangnya mereka semua terlambat, para warga memukul kaki mereka agar tidak bisa berlari.
"Ampun om, ampun ...." ucap salah satu pelajar yang sedang di pukuli menggunakan ranting pohon sambil menangis.
"Nangis kamu yah! Mana keberianmu tadi hah!" tegur orang tersebut yang semakin keras memukul anak tersebut.
Bukan hanya satu anak saja yang tertangkap, puluhan anak tertangkap, senjata tajam mereka di rampas, lalu para warga memukuli mereka semua.
Rendi yang melihat itu menghela napas lega, akhirnya para warga mau bertindak juga, tidak seperti sebelum ia menyerang, mereka hanya menonton saja tanpa berbuat sesuatu.
Rendi menoleh ke kelompok satunya, terlihat mereka juga sama saja, sudah di kepung para warga, terlihat Harisman yang sedang memukuli satu orang pelajar sambil di duduki.
Rendi tentu saja terkejut, ia takut Harisman bisa membunuh anak tersebut, ia segera berlari dan menarik Harisman.
"Harisman cukup!" Rendi menarik Harisman hingga terjungkal ke belakang.
Rendi melihat wajah pelajar yang di pukuli Harisman, ia terlihat bank belur, dengan kedua pelipisnya bocor, sehingga wajahnya hampir sepenuhnya tertutupi darah.
"Bodoh! Kamu mau mem ...." suara Rendi tercekat saat melihat wajah Harisman yang babak belur, mata kirinya hitam, hidungnya keluar darah, di tambah pipinya lebam-lebam, karena terkena pukulan.
"Astaga, kamu bisa babak belur seperti ini?!" tanya Rendi sambil menahan ketawa.
"Diamlah bos, aku mau menghajar mereka sampai sekarat, mereka curang mainnya keroyokan, lihat saja satu lawan satu aku menang." jawab Harisman sambil menunjuk pelajar yang sedang terbaring di jalan raya dengan geram.
Harisman mau menerjang lagi, tapi Rendi menghalanginya, karena menurutnya itu semua sudah cukup untuk memberikan pelajaran pada mereka semua.
"Biarkan aku bos!" Harisman meninggikan suaranya, ia tetap mau memukuli pelajar tersebut.
"Aku bilang cukup, ya cukup!" bentak Rendi pada bawahannya itu.
Seketika Harisman langsung menelan ludah, ia langsung tidak berani melawan lagi dan menundukkan kepalanya.
"Maaf bos, aku khilaf," ucap Harisman ketakutan.
Rendi menghela napas, ia menepuk bahu bawahannya itu dan menyuruhnya kembali ke kedai, agar lukanya di obati oleh Mang Ujang.
Tidak berselang lama Polisi datang, karena salah satu warga yang menonton menghubungi mereka, para pelajar yang tertangkap langsung di bawa Polisi.
Semua warga memberikan kesaksian saat di tanya polisi, polisi yang melihat para pelajar itu babak belur menghela napas, tentu polisi tidak menyalahkan warga, karena para pelajar memang mengganggu ketertiban umum.
Setelah polisi membawa para pelajar itu, Rendi menjadi bahan perbincangan warga di sana, karena menurut mereka, Rendi sangatlah berani, di usianya yang masih remaja.
"Masnya hebat banget, berani bergerak duluan dari kami." puji Mang Ujang yang sedang mengobati Harisman.
"Biasa saja Mang, kebetulan ada Harisman juga, jadi aku ikut berani," elak Rendi agar tidak terlalu di lebih-lebihkan.
"Jadi semuanya ini berapa mang?" tanya Rendi mau membayar soto yang sudah selesai di makan.
"Tidak perlu Mas, semuanya gratis, buat tanda terimakasih kami, karena tempat ini tidak mengalami kerusakan akibat mereka." jawab mang Ujang tulus.
Rendi dan Novi mengucapkan terimakasih, karena tidak mau membuat orang-orang di sana semakin berkumpul lagi, untuk bertanya siapa dirinya, Rendi dan yang lainnya bergegas pergi dari sana.
😅😅😅