Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Surat
Keesokan harinya
"Hah ....!"
"Kenapa Rin, dari tadi aku perhatiin kamu tuh menghela nafas terus. Kamu lagi ada masalah?" tanya Amira yang ternyata memperhatikan kelakuan Karin.
Karin menggeleng sambil memperlihatkan senyum seolah dirinya baik-baik saja. "Aku enggak apa-apa kok, Mir. Cuma lagi kurang fit aja ... badan kerasa lemes, pengen cepat pulang dan rebahan."
Amira membalas sambil mengangguk-anggukan kepala. "Iya kamu benar, ini sebenarnya kan tanggal merah, tapi Mbak Sabrina pengen projek kita ini cepat beres, makanya terpaksa kita harus masuk dan lembur."
"Nasib jadi anak kantoran ya gini amat, pergi pagi pulang malam hanya demi sesuap nasi." Amira menghela nafas lalu melirik Karin. "Tapi kamu sih enak Rin, bentar lagi bakal menikah sama desainer sukses. Kamu nanti pasti banyak uang, terus tinggal ongkang ongkang kaki aja di rumah."
"Hah! Kapan ya aku bisa nemu cowok yang speknya kayak suaminya Mbak Sabrina, atau kayak cowok kamu itu!" Kini malah Amira yang menghela nafasnya terus menerus, karena meratapi nasib.
Karin hanya bisa tersenyum simpul mendengar ucapan Amira. Karena sampai saat ini dia belum tahu pasti, apakah dirinya memang beruntung karena sudah bertemu dengan orang yang seperti Tara, atau malah sebaliknya.
Karin terkadang merasa bingung dengan sikap Tara yang masih berubah-ubah, dan terkesan misterius. Kemarin saja Tara berbohong. Laki-laki itu mengatakan tak bisa menjemput Karin, tapi Karin sendiri jelas-jelas melihat mobil Tara ada di parkiran, dan dia tak mungkin salah mengenali mobil itu.
Namun, Karin memutuskan untuk tak bertanya, karena dia ingin bertanya secara langsung.
Lalu yang membuat Karin sepanjang hari menghela nafasnya adalah karena hari ini dia merasa sedih dan kecewa. Hari ini adalah hari penting untuknya, tapi tak ada yang ingat atau mengucapkan sama sekali. Bahkan Ibu Puspa juga sepertinya lupa karena sedang sibuk mengurus orderan katering.
Karin pun melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi. Namun, dia kembali menatap layar ponselnya, dan dia kembali kecewa saat tak mendapatkan pesan apapun. Karin menatap layar pipih yang dipegangnya, lalu mengamati fotonya dan Tara yang diambil saat berada di rumah Tara. Karena kesal dan rindu, dia mengetuk-ngetukkan jarinya dengan keras ke layar yang memperlihatkan wajah Tara.
"Apa kamu enggak ingat kalau hari ini aku ulang tahun? Padahal aku udah ngasih tau kamu loh dari jauh hari...," batin Karin begitu kesal, sedih, dan kecewa.
Bukan hanya mengucapkan ulang tahun, bahkan Tara juga tak membalas satu pun pesan Karin, setelah dia membatalkan janjinya yang akan menjemput Karin.
"Bagaimana kalau ternyata Mas Tara itu cuma mempermainkan aku aja, sama kayak ke mantannya yang lain." Tiba-tiba pikiran itu terbesit di kepala Karin.
"Arghh!" Karin menggeram pelan, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku enggak boleh berpikiran negatif. Aku harus percaya dan yakin kalau kali ini, hubungan aku bisa sampai di pelaminan," batinnya meyakinkan diri sendiri.
Karena terlalu larut dengan masalahnya sendiri, Karin jadi tak sadar kalau sedari tadi Sabrina memperhatikannya, dari ambang pintu ruangannya.
Ehem! Suara deheman itu baru membuat Karin menyadari kehadiran Sabrina.
"Eh, Bu ...." Karin gegas menyembunyikan ponselnya, dan kembali fokus ke layar komputer di hadapannya
Namun, Karin masih bisa melihat Sabrina yang tengah berpangku tangan, dan berwajah tegas itu menyunggingkan senyum miring yang membuatnya seperti tokoh antagonis.
Lalu tak lama Sabrina memanggil Karin. "Karin! Ke ruangan saya sekarang!" serunya begitu lantang, dan menakutkan.
Karin melirik ke arah Amira, lalu keduanya saling melempar pandang. Firasat Karin mulai terasa tak enak, dari nada bicara Sabrina yang begitu emosi, Karin yakin kalau dirinya akan dimarahi. Walaupun dia tak tahu kesalahan apa yang sudah diperbuatnya.
"Kenapa diam! Cepat ke ruangan saya!" ucap Sabrina saat melihat Karin masih mematung.
Karin mengangguk, lalu dengan langkah cepat mengekori Sabrina masuk ke ruangannya. Sabrina duduk di kursinya, sementara Karin berdiri di depan meja kerjanya. Mematung dan bertanya-tanya, "ada apa lagi kali ini?" batinnya.
Namun, tetiba Karin teringat satu hal. Dia ingat kalau tahun lalu pun Sabrina menjahilinya menjelang hari ulang tahun, satu pekan dia memarahi Karin habis-habisan, dan ternyata itu upaya Sabrina untuk memberi Karin kejutan.
"Ah, aku jadi ingat kalau sekarang juga ulang tahun Mbak Sabrina," batin Karin teringat dengan momen perayaan di tahun sebelumnya.
"Oh, iya Mbak selamat ulang tahun," ucap Karin, sambil menunggu Sabrina bicara.
Sabrina mengangkat sebelah alisnya, lalu mendecih. "Cih, mulai sekarang panggil saya dengan sebutan Ibu! Saya ini atasan kamu bukan kakak kamu!"
karin terkejut melihat respon dari Sabrina, tapi Karin tetap berpikir bahwa itu semua hanyalah sandiwara Sabrina yang sedang menjahilinya. Karin dengan yakin mendekati Sabrina, menggenggam tangan yang beberapa waktu ini jarang lagi dia sentuh.
"Udah deh, Mbak jangan akting terus. Aku udah tahu trik ini. Tahun lalu pun Mbak begini."
Sabrina mendengus, lalu dia menghempaskan tangan Karin. "Saya ini enggak lagi akting ya! Dan saya minta kamu enggak usah bahas hal enggak penting, dan kekanakan seperti masalah ulang tahun di jam kerja!"
Karin menatap kedua mata Sabrina, lalu melihat tatapan yang penuh kilatan kebencian. Karin pun sadar kalau kali ini Sabrina sungguh-sungguh sedang marah, dan bukan sandiwara.
Lalu disaat seperti itu Sabrina tetiba mengeluarkan selembar kertas putih dari dalam lacinya
"Baca ini!" Dia menunjuk kertas itu dengan lirikan matanya.
Karin mengangguk, lalu mengambil kertas tersebut, kemudian membacanya. Matanya membulat tak percaya saat mengetahui kalau kertas itu adalah surat peringatan.
"Itu surat peringatan, karena saya perhatikan belakangan ini kinerja kamu menurun, kamu lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain ponsel. Fokus dan pekerjaan kamu semuanya jadi berantakan!"
Karin terdiam, dia tak mengerti. Memang Karin akui dirinya sesekali melihat ponsel untuk berkirim pesan dengan Tara, tapi itu hanya beberapa menit. Lalu banyak poin kesalahan yang seperti dibuat-buat. Entah kenapa Karin merasa kalau Sabrina sedang berusaha mencari-cari kesalahannya, dan ingin mendepak dirinya dari perusahaan.
"Saya minta mulai sekarang kamu, Amira, dan semua anggota tim perencanaan marketing Tidak boleh mengaktifkan ponselnya selama bekerja!" Sabrina mengumumkan dengan tegas.
"Dan ingat Karin, saya akan terus mengawasi kamu. Jika kamu melakukan kesalahan terus menerus, saya bisa dengan mudah memecat kamu," ucap Sabrina memberi peringatan pada Karin.
Karin mengangguk mengerti, lalu menunduk dengan wajah sendu. Setelah Sabrina merasa puas melihat ekspresi Karin yang menyedihkan dia menyuruh Karin kembali bekerja, tapi saat Karin hendak keluar dari ruangannya, dengan sengaja Sabrina melontarkan sebuah kalimat untuk mempengaruhi Karin.
"Oh, iya saya hanya mau memberi kamu saran. Sebaiknya kamu jangan terburu-buru dalam sebuah hubungan. Dari penglihatan saya, Tara itu bukan laki baik-baik, sepertinya dia hanya mempermainkan kamu," celetuk Sabrina terkekeh terkesan mengejek Karin.
Sabrina tersenyum miring merasa puas. Namun, ternyata Karin tak tinggal diam. Karin tak suka dengan kalimat dan cara bicara Sabrina kali ini.
Jika masalah pekerjaan Karin masih bisa terima. Tapi jika sudah bicara menyinggung masalah pribadinya, dan dengan nada mengejek. Karin akan protes walau yang mengatakan itu orang yang pernah dekat dengannya.
"Haha, sepertinya kali ini Ibu Sabrina salah menilai. Saya yakin betul kok kalau calon suami saya itu laki-laki baik. Jadi ibu enggak usah khawatir, dan saya minta sama ibu enggak usah ikut campur dengan masalah pribadi saya!" Karin bahkan merubah gaya bicaranya menjadi lebih formal dan tegas.
Sabrina mengerenyitkan keningnya, sambil diam-diam mengepalkan tangan. Dia tak suka karena rencananya untuk mempengaruhi Karin ternyata gagal total. Padahal biasanya Karin selalu menuruti apa yang dia ucapkan.
Melihat Sabrina terdiam, Karin pun segera melangkah keluar dari ruangan itu. Dibalik pintu Karin menghela nafas yang dalam, kemudian kembali ke mejanya sambil menetralkan hatinya yang sempat terbawa emosi, dan berani membalas ucapan Sabrina.
"Entah apa yang salah? Tapi sepertinya Mbak Sabrina sekarang sangat membenciku, dan menganggapku seperti musuhnya ... Kenapa dia jadi seperti itu?" gumam Karin pelan.
Lalu ditengah kegelisahan yang Karin rasakan, tiba-tiba ponselnya bergetar serta menyala menandakan ada pesan yang masuk. Karin sumringah melihat nama sang pengirim, lalu tanpa lama-lama dia segera membaca pesan tersebut.
Namun, setelah membaca pesan itu bahunya langsung merosot, matanya berkaca-kaca, lalu kepalanya menggeleng berkali-kali. "I-ini enggak mungkin ... a-aku harus segera ke sana, dan melihat keadaannya ...."