"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Asya dan Yani tak hentinya bersyukur karena operasi yang dijalani Hamid berhasil. Kini pria yang paling mereka sayangi sudah berada di ruang rawat untuk pemulihan. Usaha Asya mencari pinjaman ke sana kemari membuahkan hasil yang mereka inginkan.
"Assalamualaikum!" Suara berat seorang pria memecah keheningan dalam ruangan itu.
"Walaikumsalam," jawab Yani dan Asya hampir bersamaan.
Zhaki berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut lalu mencium tangan Yani sebagai tanda hormatnya.
"Gimana keadaan bapak kamu, Sya?" tanya Zhaki pada Asya.
"Alhamdulillah, operasinya lancar jadi sekarang tinggal nunggu bapak pulih aja," jawab Asya tanpa memudarkan senyumannya.
"Alhamdulillah kalo gitu. Aku ikut seneng dengernya," kata Zhaki melebarkan senyumannya. Melihatnya tersenyum seperti itu saja sudah membuat dua wanita di depannya ikut tersenyum. Senyuman Zhaki itu nular banget. Beneran deh.
"Duduk dulu, Ki. Aku mau beresin pakaian sebentar," kata Asya pada Zhaki. Pemuda itu menurut begitu saja ucapan Asya. Dia duduk di samping Yani sambil memperhatikan ayah Asya yang masih setia menutup matanya.
Yani melirik ke arah Asya yang kebetulan sedang ke kamar mandi yang berada di luar ruang rawat tersebut.
"Nak Zhaki?" panggil Yani membuat Zhaki menoleh.
"Iya, Tante Yani." Mendengar Zhaki memanggilnya dengan sebutan tante membuat Yani terkekeh kecil. Kata Asya, Zhaki ini seumuran dengannya namun jika melihat wajah pemuda itu membuat Yani serasa melihat anak usia lima belas tahun. Tapi ketika melihat badannya maka Yani akan percaya jika usianya memang seumuran dengan Asya. Bahkan Yani merasa untuk usia 21 tahun badan Zhaki itu sangat besar.
"Kamu suka ya sama Asya?" tanya Yani membuat pemuda itu seketika salah tingkah sampai tak berani menatapnya. Dia menggaruk tengkuknya yang Yani yakini tidak gatal sama sekali. Yani sebenarnya ingin tertawa saat telinga Zhaki memerah. Ya ampun! Lucu sekali.
"Hehe. Keliatan banget ya, Tante?" tanya Zhaki sambil cengengesan. Yani mengangguk sebagai jawaban.
Mampus! Gimana kalo Tante Yani gak setuju? Bisa patah hati duluan gue padahal nembak aja belum. Batin Zhaki menggerutu.
"Gak apa-apa. Saya juga gak akan ngelarang Asya kalo dia juga suka sama kamu."
Seketika Zhaki membulatkan matanya sambil menatap Yani. Ini maksudnya Yani memberi lampu hijau padanya?
"Tapi, tolong ya Asya-nya dijagain. Ingat! Usia kalian itu masih terlalu muda. Jangan sampai tergoda dan melakukan hal diluar batas. Menikah di usia muda itu bukan hal yang mudah. Saya gak mau kalo kalian sampai bernasib sama seperti kami," ujar Yani sambil memegang tangan Hamid. Mereka memang tergolong sangat muda saat memutuskan untuk menikah. Tanpa ada persiapan apa-apa, hanya bermodal nekad dan cinta.
Pandangan Zhaki berubah sendu. Mungkin benar dia menyukai Asya namun Zhaki sama sekali belum berpikir ke sana. Dia masih dalam tahap ingin menjadikan Asya sebagai kekasih terlebih dahulu.
"Iya, Tante. Saya pasti akan jagain Asya," jawan Zhaki begitu mantap.
Bersamaan dengan itu Asya datang, kedua orang yang tadinya mengobrol itu jadi terdiam.
Asya memang berniat pulang untuk menemani Luna. Jarak dari rumah sakit tempat bapaknya dioperasi dengan rumah mereka memang cukup jauh. Jadi mungkin setelah ini hanya Yani yang akan menemani Hamid.
"Asya pamit ya, Bu," kata Asya pada sang ibu. Tak lupa juga dia pamit pada bapaknya.
Selama dalam perjalanan, Asya dan Zhaki tak terlibat percakapan. Zhaki sebenarnya ingin mengajak Asya ngobrol namun melihat wajah lelah Asya dari kaca spion motornya membuat niat Zhaki urung. Hingga dia melihat sebuah kedai di pinggir jalan, Zhaki pun menghentikan motornya. Saking lamanya melamun, Asya sampai bingung ketika motor Zhaki berhenti.
"Loh, kok berhenti, Ki?" tanya Asya.
"Kita mampir minum kopi dulu ya. Aku ngantuk banget," jawab Zhaki sebagai alasan. Tidak sepenuhnya bohong juga sih karena Zhaki benar-benar mengantuk. Maklum dia akhir-akhir ini rajin sekali membantu ayahnya membuatnya harus begadang.
"Oh gitu." Asya pun mengangguk lalu turun dari motor.
Suasana di kedai itu cukup nyaman karena berada di bawah sebuah pohon besar. Zhaki memesan kopi manis dan beberapa gorengan sementara Asya memesan teh susu hangat. Menu yang sangat cocok saat cuaca dingin di sore hari. Mereka mengambil tempat duduk yang berada di luar kedai. Karena memang sudah mulai masuk ke daerah perkampungan di mana Asya tinggal jadi kendaraan sudah tidak terlalu banyak yang berlalu lalang.
"Ki, besok ada job gak?" tanya Asya membuat Zhaki yang sedang menikmati kopinya mendongak menatap gadis itu dengan tatapan bingung. Ini serius Asya nanyain kerjaan?
"Kamu yakin udah mau kerja besok?" tanya Zhaki. Jujur saja dia khawatir melihat keadaan Asya. Gadis cantiknya itu seperti tidak punya waktu tidur sejak ayahnya kecelakaan. Namun siapa yang bisa tidur sih saat salah satu anggota keluarga kita sedang dalam keadaan sakit. Apalagi sakitnya karena kecelakaan. Zhaki yakin sebenarnya Asya sangat mengantuk namun matanya sulit terpejam.
"Aku harus, Ki. Kalo gak siapa yang bakalan bayarin biaya rumah sakit bapakku," kata Asya.
Semakin Zhaki mengenal Asya semakin dia kagum dan malu juga pada gadis itu. Padahal Asya seorang wanita tapi dia bekerja lebih keras dari seorang pria. Bahkan lebih dari Zhaki sendiri. Zhaki malah lebih banyak menghabiskan waktu bermain game di ponselnya dari pada membantu ayahnya bekerja. Kuliah pun Zhaki hanya setengah-setengah. Padahal di sini ada Asya dan Indah yang sangat ingin kuliah tapi terkendala oleh biaya. Itu dia ketahui saat mereka mengobrol bersama sebelum bapak Asya kecelakaan. Sungguh dia sangat malu pada kedua gadis itu.
"Sebenarnya ada. Bapakku juga tadi sempet pesen suruh nanyain kamu udah bisa nyanyi apa enggak," kata Zhaki membuat senyum Asya terbit.
"Alhamdulillah. Aku mau, Ki. Aku bakalan ambil job itu," kata Asya terlihat begitu gembira. Terlihat dari senyumannya yang sangat lebar.
"Oke," Zhaki lalu melirik ke arah gelas Asya yang minumannya belum disentuh sama sekali. "Kamu abisin dulu minuman sama makanannya. Setelah itu kita pulang. Kamu kan harus istirahat," lanjutnya.
Asya mengangguk antusias kemudian melakukan apa yang Zhaki titahkan. Akhirnya mereka bisa mengobrol, sesekali tertawa. Zhaki selalu senang jika dirinya bisa membuat Asya bahagia di tengah gempuran cobaan yang luar biasa melanda keluarga gadis itu.
Apakah dia sungguh sesuka itu pada Asya?
Sepertinya iya.
***
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,