Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PACARAN DIAM-DIAM
Aksa berjalan mendekat, tatapan tajamnya seolah menusuk Regita yang masih berdiri kaku di tempatnya.
"Jadi, sekarang Lo jalan sama cowok sembarangan gitu, Git?" Suaranya pelan, tapi intonasinya dingin, penuh kemarahan.
Regita memutar otaknya, mencoba memahami kenapa Aksa bereaksi seperti itu. "Kakak kenapa? Kevien itu cuma teman," katanya pelan, suaranya mulai bergetar.
"Teman?" Aksa menyeringai sinis, tangannya bersedekap di dada. "Gue nggak pernah lihat 'teman' sok manis kayak gitu, masangin helm, dan ngelihatin Lo kayak dia mau ngeklaim Lo."
Regita meremas ujung bajunya, perasaannya campur aduk. "Kakak kenapa, sih? Aku nggak ngelakuin hal yang salah. Kevien ngajak nonton, dan aku setuju. Itu aja."
Aksa mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa langkah.
Matanya menatap Regita tajam, wajahnya tampak lebih gelap di bawah lampu ruang tamu.
"Masalahnya bukan Lo nonton, Git. Masalahnya, kenapa gue nggak suka ngeliat Lo sama dia?"
Regita membelalak, jantungnya serasa berhenti. "A-apaan maksud Kakak?"
Aksa mengusap wajahnya, lalu tertawa kecil—bukan tawa bahagia, tapi tawa frustrasi. "Lo nggak ngerti, ya? Gue benci ngeliat cowok lain deketin Lo, apalagi kayak dia. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue nggak bisa diem aja."
Air mata mulai menggenang di mata Regita. Ia tak sanggup lagi menahan perasaan yang sejak pagi mengganggunya.
"Kamu bener-bener nggak ngerti aku, ya? Sejak pagi kamu diem, nggak ngomong sama aku, tiba-tiba sekarang marah kayak gini."
Aksa terpaku mendengar nada lirih tapi penuh emosi dari suara Regita.
"Kenapa, Kak? Kenapa Kakak marah kalau aku deket sama orang lain, tapi Kakak sendiri abai? Aku ngerasa nggak berarti buat Kakak. Tadi pagi aku nyoba ngomong, tapi Kakak bahkan nggak ngeliat aku. Sekarang Kakak marah-marah cuma gara-gara aku bareng Kevien?" Suara Regita pecah, air matanya mengalir deras.
Aksa merasa dadanya sesak mendengar tangisan Regita. Ia mengulurkan tangan, ingin menyentuh gadis itu, tapi Regita mundur selangkah, menghindar.
"Jangan sentuh aku," isak Regita, suaranya bergetar. "Kakak nggak tahu apa-apa soal perasaanku."
"Aku tahu," kata Aksa tiba-tiba, nadanya terdengar tegas. "Aku tahu, dan itu yang bikin aku marah. Aku nggak mau ngeliat kamu sama siapa pun kecuali aku. Tapi aku takut... aku takut kalau aku bilang, kamu bakal ngejauh."
Regita terdiam, menatap Aksa dengan air mata yang masih mengalir. "Kakak takut? Tapi aku yang selama ini selalu nunggu Kakak, yang selalu berharap Kakak sadar kalau aku peduli."
Aksa mendekat lagi, kali ini lebih pelan, seperti memberi ruang bagi Regita untuk mundur jika mau. Tapi gadis itu tidak bergerak.
"Maaf," bisik Aksa. "Gue nggak bermaksud bikin Lo nangis. Gue cuma nggak ngerti apa yang gue rasain. Tapi satu hal yang gue tahu pasti—gue nggak mau Lo jauh dari gue. Gue nggak bisa."
Regita terisak kecil, tetapi tatapannya melembut. "Kenapa Kakak baru bilang sekarang?"
Aksa tersenyum tipis, menyeka air mata di pipi Regita dengan lembut. "Karena gue baru sadar sekarang. Dan gue nggak mau kehilangan Lo, Git."
Suasana menjadi hening sejenak, hanya diisi dengan isakan kecil Regita yang mulai mereda.
Akhirnya, gadis itu mengangguk pelan, menerima kejujuran Aksa meski hatinya masih diliputi perasaan yang bercampur aduk.
Aksa menatap Regita yang masih terisak. Ia mengangkat tangan, menyentuh pipi gadis itu lembut, membuat Regita mendongak menatapnya.
“Git, gue nggak mau kita kayak gini terus,” kata Aksa serius. “Gue nggak mau Lo jauh dari gue.”
Regita terdiam, jantungnya berdebar kencang. Sebelum ia sempat menjawab, Aksa perlahan mendekat dan mengecup bibirnya. Sentuhan itu lembut, cukup untuk membuat Regita terpaku.
Ketika Aksa menjauh, ia menatap Regita dalam. “Gue mau kita pacaran, tapi diam-diam. Lo setuju?”
Regita menelan ludah, hatinya bercampur aduk. “K-kakak serius?”
Aksa mengangguk. “Serius. Gue nggak peduli kalau ini susah, asal Lo sama gue.”
Regita terdiam beberapa saat, lalu perlahan mengangguk. “Iya, Kak. Aku setuju.”
Aksa tersenyum, menatapnya dengan lembut. “Kita harus hati-hati, ya. Tapi gue janji nggak akan nyakitin Lo.”
Regita mengangguk lagi. “Oke, Kak.”
Malam itu, mereka memutuskan untuk menjalani hubungan mereka, meski tahu tidak akan mudah.
•••
Setelah momen itu, hubungan Regita dan Aksa mulai terasa berbeda.
Di rumah, mereka berusaha bersikap biasa di depan Ayah dan Bundanya, tetapi sulit menyembunyikan tatapan-tatapan penuh arti setiap kali mereka berpapasan.
Di sekolah, Aksa lebih menjaga jarak. Namun, ada momen-momen kecil yang tak lepas dari perhatian Regita—seperti ketika Aksa diam-diam meninggalkan pesan di bawah buku catatan yang dipinjamnya atau saat dia menatap Regita dari jauh dengan senyum tipis.
Hari itu, di jam istirahat, Aksa memanggil Regita ke ruang olahraga yang sepi.
Regita yang sudah merasa canggung hanya menatapnya dengan bingung.
“Kenapa manggil aku ke sini, Kak? Kalau ada yang lihat, gimana?” bisik Regita sambil melirik ke sekitar.
Aksa tersenyum jahil, lalu menarik Regita ke pojok ruangan. “Tenang, nggak ada yang lihat. Gue cuma mau lihat Lo aja. Kangen.”
Pipi Regita memerah. “Kakak ini aneh.”
“Aneh kenapa? Pacar sendiri kok dibilang aneh,” goda Aksa sambil menatapnya.
“Di sekolah, Kak. Kalau ada yang tahu…”
Aksa meletakkan jarinya di bibir Regita. “Nggak ada yang tahu kalau kita hati-hati. Lo tenang aja. Gue nggak akan bikin masalah.”
Regita mengangguk pelan. Namun, sebelum ia sempat bicara, Aksa mendekat dan mengecup bibirnya singkat.
“Sekarang balik ke kelas, sebelum ada yang curiga,” katanya dengan senyum kecil.
Regita menghela napas, lalu berjalan pergi.
Namun, dalam hatinya, ia tak bisa berhenti tersenyum. Rasanya seperti menyimpan rahasia besar yang manis, meski ia tahu hubungan ini tak semudah yang dibayangkan.
Hari-hari berikutnya, hubungan rahasia antara Aksa dan Regita semakin intens.
Meski keduanya mencoba menjaga jarak di rumah dan sekolah, ada momen-momen kecil yang justru semakin memperkuat ikatan mereka.
Seperti pagi ini, ketika mereka duduk bersama di meja makan.
Regita sibuk dengan roti panggangnya, sementara Aksa diam-diam menyelipkan catatan kecil di bawah gelasnya. Regita yang awalnya tak menyadari, akhirnya menemukan kertas itu saat hendak mengambil gelas.
Ada yang cantik banget hari ini. Tapi jangan sampai orang lain tahu dia pacar gue ya.
Regita hampir tersedak saat membaca catatan itu. Dia melirik ke arah Aksa yang tampak santai memakan sarapannya. Pipinya memerah, tetapi ia tak berkomentar apapun.
Saat di sekolah, di jam istirahat pertama, Regita diam-diam pergi ke ruang seni seperti yang tertulis di catatan Aksa.
Ia melihat Aksa sudah menunggunya di sana dengan tangan bersilang di dada.
“Kak, kok ngajak ke sini? Kalau ada yang lihat gimana?” tanya Regita dengan nada cemas.
Aksa berjalan mendekat, membuat Regita refleks melangkah mundur hingga punggungnya menyentuh tembok. “Nggak akan ada yang lihat. Lagian, gue cuma mau ketemu pacar gue sebentar,” jawab Aksa dengan senyum jahilnya.
Regita mendesah, mencoba menyembunyikan senyumnya. “Kakak ini keterlaluan, tahu nggak? Kalau ada yang tahu, habis sudah kita.”
“Justru itu serunya, kan?” balas Aksa sambil menatapnya lekat. “Gue nggak tahan kalau nggak ketemu lo, Git.”
Pipi Regita memanas mendengar kalimat itu. Aksa kemudian meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Kita pelan-pelan aja. Gue janji nggak akan bikin lo susah. Gue cuma mau lo tahu, gue serius soal kita.”
Regita menatap Aksa dalam-dalam. Ada perasaan hangat yang menyelimuti hatinya meski ia tahu hubungan ini tidak mudah.
Ia hanya mengangguk pelan, membiarkan Aksa menatapnya dengan senyum lembut.
“Sekarang balik ke kelas. Gue nggak mau nilai lo turun gara-gara sering kabur,” goda Aksa sebelum melepaskan tangannya.
Regita terkekeh pelan, lalu berjalan keluar dari ruangan itu. Namun, ia tak bisa menahan senyum bahagianya sepanjang hari.