Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 : Terjebak
Pamungkas membelokkan motornya menuju hutan pinus di belakang rumah kakeknya Ara. Rumah kakeknya sudah dibongkar, namun Ara kadang masih suka mengunjungi rumah pohon yang pernah dia buat di sana.
Hutan pinus itu tidak bisa dilalui motor. Pamungkas berjalan kaki menuju rumah pohon yang masih terlihat bagus walaupun sudah bertahun-tahun lalu dibuat.
Pamungkas sedikit lega melihat Ara duduk di tangga rumah pohon.
Ara tidak menyadari kedatangan Pamungkas karena dia mendengarkan musik memakai earphone sambil nyemil keripik kentang.
“Hei…”
“ASTAGA!!”
Ara hampir terjatuh dari tangga kalau tangannya tidak ditarik oleh Pamungkas.
“Ups. Maaf.”
Pamungkas membenarkan posisi duduk Ara lalu berdiri di hadapannya.
“Kok…kok bisa di sini? Ngapain, Kak?”
Ara melepas earphone di telinganya.
“Pengan aja. Udara di sini seger. Bagus juga kalau sesekali ke sini buat healing. Kamu ngapain? Healing juga?”
Ara terlihat curiga.
“Aku udah beberapa kali ke sini tapi nggak pernah ketemu sama kamu, Kak. Healing apanya? Jangan bohong deh.”
Pamungkas tertawa.
“Aku kebetulan lewat sekitar sini. Beli nanas. Keinget tempat ini, trus mampir. Ternyata ada kamu. Rumah pohon ini masih awet ya.”
Ara mengangguk-angguk setuju.
“Kakek kamu memang handal. Kita dulu dibantuin beliau pas bikin ini kan, kayunya juga dipilih yang paling bagus.”
“Orangnya udah nggak ada, rumahnya juga, tinggal ini peninggalan Kakek yang masih tersisa.”
“Kamu kangen?”
“Dikit.”
Pamungkas ikut duduk di tangga bersama Ara.
“Kamu ngemil sambil dengerin musik kalau lagi cemas, kan? Ada apa, Ra?”
“Nggak ada apa-apa.”
Ara membuang pandangannya agar tidak terbaca oleh Pamungkas.
Pamungkas tersenyum getir sambil menepuk kepala Ara.
“Kamu kuat banget ya.”
Ara nyengir sambil menyodorkan keripik kentang. Pamungkas menggelengkan kepala.
“Temenin aku beli baju yuk.” pinta Pamungkas tiba-tiba.
“Ke mana?”
“Ke kota.”
“Baju buat siapa?”
“Fani.”
“Ngapain ngajak aku? Kak Fani-nya aja yang diajak.”
“Ini kejutan. Dia nggak boleh tahu. Badannya seukuran lah kalau sama kamu, jadi aku minta tolong kamu buat jadi model. Mau? Nanti aku traktir es krim.”
“Baiklah.”
Ara membungkus sisa keripik kentangnya lalu memasukkannya ke dalam saku jaket sebelum mengikuti langkah Pamungkas yang lebar-lebar. Kehadiran Pamungkas di sisinya selalu bisa menghibur suasana hati Ara yang kelabu.
...* * * * *...
Toko pakaian yang dipilih Pamungkas menyediakan pakaian pria dan wanita dengan konsep simple dan elegan. Sampai di sana, Pamungkas langsung meminta salah satu karyawan untuk memilihkan baju yang pas dengan badan Ara.
Ara yang biasanya bergaya kasual menjadi sedikit kikuk berada di tempat eksklusif ini. Apalagi ketika dia diminta mengganti pakaiannya dengan pakaian yang direkomendasikan. Dress selutut dengan warna tegas antara hitam dan putih ditambah dengan aksen pita di dada.
“Kak, kok aku disuruh nyoba yang beginian, sih. Malu.”
“Ngapain malu. Kamu nggak aku suruh nyobain bikini. Baju ini modelnya mirip sama yang dipakai Rose Blackpink. Kamu kelihatan cute.”
“Tapi ini kan buat Kak Fani. Bukan buat aku.”
“Fani juga bakalan kelihatan cute kalau pakai itu. Tunggu sebentar di sini. Jangan dilepas dulu.”
Pamungkas meninggalkan Ara yang masih terduduk di dekat kamar ganti. Ara merasa aneh kenapa dia tidak diperbolehkan mengganti pakaiannya dengan baju yang tadi dipakainya.
Tiba-tiba Pamungkas menarik tangan Ara dan menggandengnya menuju motornya.
“Ada apa, Kak?”
“Ikut aku sebentar, Ra.”
“Kenapa kita lari-lari? Kamu udah bayar belum? Jangan bilang kalau kita kabur buat nyuri pakaian ini.”
“Enggak lah. Udah dibayar. Bosku minta ketemuan sekarang di dekat sini.”
“Trus kenapa aku harus ikut??”
“Dia cuma ngasih aku waktu sepuluh menit. Kalau nggak, kerjaanku batal. Aku nggak mungkin ninggalin kamu di sini. Maaf ya.”
Pamungkas memakaikan helm di kepala Ara. Ara terlihat bingung tapi tidak bisa menolak. Dia hanya manut saja ketika motor Pamungkas membawanya pindah tempat ke sebuah restoran.
“Di sini?”
“Iya. Ayo, masuk.”
“Kenapa aku juga harus ikut masuk? Kamu kan mau ketemu bosmu soal kerjaan.”
“Masuk aja dulu. Nggak apa-apa. Nggak mungkin kan kamu nunggu di luar sini.”
Pamungkas menggandeng tangan Ara. Ara merasa tidak nyaman ketika banyak mata yang memandangnya.
Ketika sampai di sebuah ruangan private dalam restoran itu, Ara kaget ketika melihat Papanya berada di sana.
“Loh? Om Agung? Di sini juga?”
“Loh? Pamu! Kamu di sini? Haha! Kebetulan yang bagus ya.”
“Iya! Saya mau ketemu sama bos saya di sini. Kok bisa ya? Haha...”
“Ooooh… Kamu sama Ara?”
“Iya, maaf Ara saya bawa-bawa. Ini Ara-nya saya kembalikan, Om.”
“Ya ya! Terima kasih banyak ya, Pamu.”
Ara melirik ke dalam ruangan, di sana ada Mamanya, Om Agung, dan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Sepertinya Ara tahu bagaimana alur cerita ini. Dia melirik tajam pada Pamungkas lalu bergantian ke Papanya.
“Aku pergi dulu ya, Ra. Es krimnya nyusul. Yang itu beneran, nggak bohong.” Pamungkas berbisik lalu pergi meninggalkan Ara dan Papanya. "Mari, Om."
Agung melambaikan tangan pada Pamungkas sambil tersenyum lebar-lebar.
“Ayo masuk. Kebetulan kamu di sini. Ada yang pengen ketemu.”
Langkah Ara memberat ketika tahu dirinya sudah masuk ke dalam jebakan. Raut wajahnya terlihat jengkel namun dia masih bisa menahan diri untuk tidak meledak. Ara masih menjaga nama baik Papa dan Mamanya di depan Om Agus dan laki-laki entah siapa itu.
“Araa, selamat datang. Kamu kelihatan cantik sekali.”
Agus menyalami Ara tanpa diminta.
“Kenalin, ini Saka. Anaknya temennya Om.”
Ara hanya mengangguk tanpa mengulurkan tangannya. Dia masih berusaha tersenyum walau wajahnya jelas terlihat kaku. Saka juga tidak menyediakan tangannya untuk bersalaman dengan Ara. Dia kembali duduk di sebelah Agus.
Sebenarnya Saka bukan orang yang tidak menarik. Dia tampan, tinggi, dan rapi. Tapi Ara merasa Saka pun sama dengan dirinya, tidak mau berada di posisi saat ini. Mungkin Saka juga terjebak?
Obrolan selanjutnya mengalir begitu saja antara Agung dan Agus. Agung menceritakan Ara, Agus menceritakan Saka. Entah kenapa tokoh utama perjamuan ini malah tidak ada minat untuk saling berbicara.
“Orang ini kenapa sih? Mukanya ngeselin banget, bikin tambah bete.” batin Ara.
“Sepertinya dia nggak suka sama pertemuan ini.” batin Saka
“Kalian tuker-tukeran nomor HP lah, biar nanti semakin kenal. Siapa tahu cocok.”
“Temenan aja dulu, Ra. Kamu perlu banyak relasi buat kerjaan kamu juga, kan? Barangkali nanti perusahaannya Saka perlu bikin iklan buat promosi.” kata Agung.
“Ara jago desain ya?” kata pertama yang muncul dari mulut Saka.
“Jago dia!” Agung merasa senang Saka mulai ada ketertarikan dengan Ara.
“Kalau gitu, saya boleh minta nomer HP Ara?”
Saka mengeluarkan ponselnya, siap menyimpan. Ara masih terdiam, Sarah menowel pinggangnya.
“Aku nggak bawa HP. Lupa nomerku berapa.”
“Biasanya kamu hafal nomermu sendiri. Kamu bahkan hafal semua nomer keluargamu. Coba diinget-inget.”
Sarah gemas sekali melihat aksi jual mahal Ara.
“Mama aja yang kasih.”
Telinga Sarah merah mendengar permintaan Ara. Tapi demi kesopanan, Sarah membagikan nomer ponsel Ara kepada Saka dari memori kontaknya.
“Terima kasih.” Saka mengangguk sopan.
Ara menahan nafas. Nomernya sekarang sudah berada di memori kontaknya Saka. Apakah dia harus menunggu Saka untuk menghubunginya? Ara menatap mata Saka sekian detik lebih lama.
Saka menatap balik mata Ara. Ada aura penuh tantangan di dalamnya. Laki-laki itu merasa ada yang harus dia lakukan dengan tantangan ini. Dia…akan menerimanya dengan serangan balik.