Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hantaman Meteor
3.1. Kegelapan Menjelang Hantaman
Hari Jumat dimulai dengan suasana yang penuh ketegangan dan kekhawatiran di seluruh dunia. Berita tentang meteor yang mendekat telah mengisi setiap saluran berita, dan banyak orang telah menghabiskan malam dengan cemas, menunggu saat-saat menentukan yang semakin dekat. Pagi hari yang seharusnya cerah kini dipenuhi dengan suasana mendung dan ketegangan yang melanda setiap penjuru dunia.
Di Seattle, keluarga Miller berkumpul di ruang tengah bunker mereka. Jam di dinding menunjukkan pukul 07:00 pagi, dan suasana di dalam bunker tampak penuh dengan kecemasan.
“Bagaimana cuaca di luar?” tanya Alex, sambil mencoba melihat melalui lubang kecil di bunker.
Mrs. Miller memeriksa aplikasi cuaca yang sudah tidak lagi memberikan informasi terkini. “Cuaca tampaknya buruk, tapi kita tidak bisa bergantung pada teknologi saat ini.”
Mr. Miller mencoba memberikan semangat. “Ingat, kita sudah melakukan semua yang kita bisa. Sekarang yang penting adalah tetap tenang dan mengikuti instruksi.”
Di London, Jessica dan Mark berada di pusat evakuasi yang sibuk. Mereka mencoba membantu sebanyak mungkin orang sambil memberikan informasi terbaru.
“Berita terakhir mengatakan meteor diperkirakan akan menghantam sekitar pukul 16:00,” kata Jessica kepada sekelompok pengungsi. “Pastikan Anda tetap berada di tempat perlindungan dan siapkan persediaan makanan dan air.”
Mark menambahkan, “Kami terus memantau situasi dan akan memberikan pembaruan segera setelah kami mendapat informasi lebih lanjut.”
Di Paris, Marie dan Jean sedang bekerja keras untuk memastikan pusat perlindungan mereka berfungsi dengan baik. Marie sedang berbicara dengan seorang pengungsi yang tampak sangat cemas.
“Apakah Anda sudah menyiapkan persediaan?” tanya Marie, berusaha menenangkan pengungsi tersebut.
Pengungsi itu menjawab, “Kami sudah menyiapkan beberapa makanan dan air, tapi masih merasa sangat cemas.”
Jean mencoba memberikan dukungan moral. “Kita semua merasa seperti itu. Yang terpenting adalah tetap bersama dan saling mendukung.”
Di Tokyo, Hiroshi dan Ayumi sedang mempersiapkan tempat perlindungan mereka, mengatur ulang barang-barang dan memastikan semuanya berada pada tempatnya.
“Aku harap kita bisa melewati hari ini tanpa masalah besar,” kata Ayumi sambil memeriksa persediaan makanan.
Hiroshi menjawab, “Kita sudah siap sebaik mungkin. Sekarang kita hanya perlu menunggu dan bertahan.”
Di Jakarta, Rina dan Ahmad berada di pusat evakuasi yang juga penuh dengan orang-orang yang cemas. Mereka berusaha memberikan dukungan kepada pengungsi sambil memantau perkembangan terbaru.
“Situasinya semakin tegang,” kata Rina kepada Ahmad. “Orang-orang mulai bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Ahmad menjawab, “Kita harus memastikan mereka tetap mendapatkan informasi terkini dan terus memberikan dukungan emosional.”
Di Los Angeles, Mark, kepala keamanan, memeriksa sistem perlindungan terakhir di bunker. “Semua sistem harus berfungsi dengan baik,” katanya kepada timnya. “Kita harus siap menghadapi kemungkinan terburuk.”
Seorang teknisi menjawab, “Kami sudah melakukan pemeriksaan terakhir. Semua tampaknya dalam kondisi baik.”
Di rumah sakit, Dr. Maria dan tim medis memantau pasien yang mungkin mengalami stres dan gangguan tidur. “Kita harus siap menghadapi kemungkinan lonjakan pasien setelah meteor menghantam,” kata Dr. Maria kepada timnya.
Hari itu berlalu dengan cepat, dan saat jam menunjukkan pukul 15:00, suasana semakin tegang. Kegelisahan terlihat jelas di wajah orang-orang yang berada di tempat perlindungan dan pusat evakuasi.
“Berita terakhir mengatakan meteor akan menghantam dalam waktu kurang dari satu jam,” kata Jessica melalui megafon di London. “Pastikan semua orang tetap berada di tempat perlindungan.”
Di Seattle, keluarga Miller merasa getaran dari luar semakin terasa. “Apa itu?” tanya Alex dengan cemas, merasakan getaran tanah.
Mrs. Miller mencoba menenangkan, “Itu hanya mungkin gelombang kejut dari meteor yang semakin mendekat.”
Di Paris, Marie dan Jean berusaha memberikan ketenangan kepada orang-orang yang tampak semakin cemas. “Kita hanya memiliki waktu kurang dari satu jam,” kata Marie. “Tetap tenang dan ikuti semua instruksi.”
Di Tokyo, Hiroshi dan Ayumi duduk di tempat perlindungan sambil memeriksa jam. “Saatnya semakin dekat,” kata Hiroshi. “Kita harus tetap tenang.”
Ayumi menjawab, “Aku tidak bisa berhenti merasa cemas. Semoga semua ini segera berlalu.”
Di Jakarta, Rina dan Ahmad memberikan informasi terkini kepada pengungsi sambil memastikan semuanya siap. “Ini adalah saat-saat terakhir sebelum meteor menghantam,” kata Rina. “Pastikan semua orang tahu apa yang harus dilakukan.”
Ahmad menambahkan, “Kami akan terus memberikan update dan dukungan. Jangan ragu untuk meminta bantuan jika Anda membutuhkannya.”
Saat pukul 16:00 mendekat, semua orang di seluruh dunia merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Berita terkini menyebutkan bahwa meteor akan menghantam bumi dalam beberapa menit lagi.
Di tempat perlindungan, ketegangan mencapai puncaknya. Orang-orang bersiap untuk menghadapi saat-saat yang menentukan. Mereka berdoa dan berharap agar persiapan mereka cukup untuk menghadapi bencana yang akan datang.
Dengan detik-detik terakhir sebelum meteor menghantam bumi, seluruh dunia menunggu dalam kecemasan dan ketegangan, berharap yang terbaik di tengah bencana yang tak terhindarkan.
3.2. Hantaman Meteor
Sekitar pukul 16:00 sore, dunia terdiam sejenak sebelum menghadapi momen yang sangat menakutkan. Setiap orang di tempat perlindungan merasakan ketegangan yang mencekam saat waktu semakin mendekat. Suasana di setiap bunker, pusat evakuasi, dan tempat perlindungan dipenuhi dengan kegelisahan dan harapan akan keselamatan.
Di Seattle, keluarga Miller berbaring di tempat tidur di dalam bunker, mencoba untuk tetap tenang. Mrs. Miller memeluk anak-anaknya erat-erat, sementara Mr. Miller memeriksa jam dengan cemas.
“Berapa lama lagi?” tanya Alex, suaranya bergetar.
“Sekitar lima menit,” jawab Mr. Miller, berusaha menunjukkan kepastian di tengah ketidakpastian.
Di London, Jessica dan Mark berdiri di pusat evakuasi, memantau keadaan di sekeliling mereka.
“Semua orang tetap di posisi masing-masing,” kata Jessica melalui megafon. “Meteor akan menghantam dalam beberapa menit.”
Mark menambahkan, “Pastikan semua orang mematuhi prosedur keselamatan dan tetap tenang.”
Di Paris, Marie dan Jean berada di ruang kontrol pusat perlindungan. Mereka memeriksa semua sistem dan memastikan semua orang berada di tempat aman.
“Kita hampir sampai di titik ini,” kata Marie dengan nada tegang. “Semua sistem harus berfungsi dengan baik.”
Jean memeriksa jam dinding dan berkata, “Kita tinggal beberapa menit lagi. Semoga semua persiapan kita cukup.”
Di Tokyo, Hiroshi dan Ayumi duduk bersama di sudut tempat perlindungan, merasakan detak jantung mereka semakin cepat.
“Ayumi, aku sangat cemas,” kata Hiroshi. “Aku berharap kita bisa melewati ini dengan selamat.”
Ayumi memegang tangan Hiroshi dan menjawab, “Kita harus tetap tenang. Kita sudah melakukan yang terbaik.”
Di Jakarta, Rina dan Ahmad terus memberikan informasi kepada pengungsi sambil memantau situasi dengan cermat.
“Semua orang, pastikan Anda berada di tempat aman dan ikuti semua petunjuk dengan hati-hati,” kata Rina. “Meteor akan menghantam dalam beberapa menit.”
Ahmad menambahkan, “Kita harus tetap siap menghadapi segala kemungkinan.”
Di Los Angeles, Mark, kepala keamanan, memeriksa sistem keamanan terakhir. “Semua sistem harus dalam kondisi optimal,” katanya kepada timnya. “Pastikan semuanya siap untuk menghadapi benturan.”
Tim teknisi menjawab, “Semua sudah siap. Kita hanya perlu menunggu.”
Di rumah sakit, Dr. Maria dan tim medis memantau pasien dengan cemas. “Kita harus siap menghadapi kemungkinan lonjakan pasien setelah meteor menghantam,” kata Dr. Maria.
Di detik-detik terakhir sebelum meteor menghantam, suasana menjadi sangat tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 16:05, dan semua orang merasakan guncangan hebat saat meteor akhirnya menyentuh permukaan bumi. Suara ledakan yang sangat keras menggemuruh di seluruh dunia, membuat bumi bergetar hebat.
3.3. Gelap, Panik, dan Jeritan
Saat meteor akhirnya menghantam bumi, suara ledakan yang begitu dahsyat mengguncang seluruh planet. Guncangannya terasa ke seluruh penjuru, membuat semua orang yang berlindung di bunker dan tempat perlindungan berpegangan erat, berteriak, dan menangis. Di mana-mana, jeritan ketakutan bercampur dengan tangisan sedih memenuhi ruangan.
Di bunker Seattle, keluarga Miller saling berpelukan erat. Getaran yang begitu kuat membuat dinding-dinding bunker bergetar keras. Mrs. Miller berteriak sambil menahan tangis, memeluk anak-anaknya yang juga menangis ketakutan.
“Aku tak sanggup lagi, Jack! Aku takut! Apa kita akan mati?!” teriak Mrs. Miller, suaranya gemetar.
“Kita akan baik-baik saja!” Jack berteriak balik, meskipun ia sendiri tak sepenuhnya yakin. Ia mencoba menenangkan keluarganya, tapi suara guncangan dan jeritan di sekitar mereka semakin memperparah kepanikan.
Di London, Jessica yang biasanya tegar, kini tak bisa lagi menahan air matanya. “Astaga, ini… ini akhir segalanya…” gumamnya pelan sambil menutupi wajah dengan tangan.
Mark, yang berada di sebelahnya, hanya bisa menggelengkan kepala. “Kita… kita harus bertahan. Tetap di sini. Jangan panik!” teriaknya, berusaha keras membuat semua orang tetap tenang. Namun suasana di dalam bunker sangat kacau. Orang-orang mulai berlari tanpa tujuan, saling bertabrakan, tak tahu harus berbuat apa di tengah getaran yang semakin kuat.
Seketika, semua lampu padam.
“Listriknya mati!” seseorang menjerit dalam kegelapan.
Di seluruh dunia, kegelapan menyelimuti. Tidak hanya di bunker, tapi juga di luar, di mana siang hari yang seharusnya terang benderang berubah menjadi gelap gulita. Debu dan asap tebal yang dihasilkan dari hantaman meteor menyelimuti seluruh langit, membuat dunia tenggelam dalam kegelapan yang pekat.
“Ini sudah siang! Kenapa gelap?” seorang pria di bunker Jakarta berteriak panik, suaranya bercampur isak tangis. “Apa ini akhir dari dunia?”
Rina, yang berada di sana bersama Ahmad, berusaha meraba-raba dinding untuk mencari pegangan. “Tenang! Kita harus tetap di sini. Jangan keluar!” serunya, tapi suaranya hampir tenggelam di antara jeritan dan tangisan orang-orang di sekelilingnya.
Di Tokyo, Hiroshi dan Ayumi saling bertumbukan dengan orang-orang di bunker. “Ayumi! Di mana kamu?!” teriak Hiroshi, berusaha mencarinya dalam kegelapan.
“Aku di sini!” Ayumi meraba-raba mencari Hiroshi, akhirnya menemukan lengannya. “Apa yang terjadi? Kenapa begitu gelap?”
“Mungkin karena debu dari meteor... kita tak bisa melihat apapun!” jawab Hiroshi dengan suara putus asa.
Di Paris, Marie berusaha menenangkan orang-orang di dalam bunker, tapi semua usahanya sia-sia. “Tetap di tempat kalian! Kita aman di sini!” serunya, tapi tidak ada yang mendengarkan. Orang-orang mulai panik, berlari dalam kegelapan, saling bertabrakan.
“Ini sangat buruk… kita bahkan tak bisa melihat satu sama lain,” bisik Jean di sebelahnya.
Di Los Angeles, Mark yang memimpin tim keamanan kini kehilangan kendali. Semua sistem yang mereka banggakan mati total. Tak ada cahaya, tak ada energi. “Semuanya mati... kita benar-benar terisolasi!” serunya pada rekan-rekannya.
“Dan di luar sana… debunya… sangat panas dan tebal,” kata seorang teknisi dengan suara gemetar. “Jika kita keluar, kita pasti akan mati.”
Di seluruh dunia, suasana kacau balau. Orang-orang yang berada di luar bunker sudah tak tertolong lagi. Mereka yang berada di dalam bunker pun tak banyak yang bisa mereka lakukan. Tak ada yang bisa melihat apapun, tak ada yang bisa merasakan kepastian. Banyak yang menangis ketakutan, merasakan kegelapan merenggut sisa-sisa harapan mereka.
Di Seattle, Mrs. Miller menjerit. “Aku tak bisa melihat apapun! Jack! Dimana kamu?”
“Kita masih di sini, kita masih bersama. Kita harus tetap kuat,” Jack menjawab, meskipun dalam kegelapan total, ia pun mulai kehilangan arah.
Sementara di London, Jessica berbisik kepada Mark. “Ini benar-benar seperti kiamat... kita bahkan tak bisa membedakan siang dan malam.”
Mark menggenggam tangannya erat. “Kita harus bertahan... meskipun semuanya gelap, kita masih hidup.”
Di Jakarta, Ahmad mencoba menerangi ruangan dengan ponselnya, tapi baterainya hampir habis. “Kita... kita terjebak di sini. Kita tak bisa ke mana-mana,” katanya kepada Rina.
Rina menarik napas dalam-dalam, menahan air mata. “Kita hanya bisa berharap pada apapun yang tersisa. Kita masih hidup... itu yang penting.”
Di Tokyo, Hiroshi akhirnya merangkul Ayumi dalam kegelapan. “Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi selama kita bersama, kita akan bertahan,” katanya dengan suara pelan.
Ayumi mengangguk, meskipun dalam kegelapan, ia hanya bisa merasakan kehangatan dari pelukan Hiroshi. “Kita akan bertahan... apapun yang terjadi,” bisiknya.
Namun, di luar bunker, dunia sudah berubah menjadi pemandangan yang menyeramkan. Mayat-mayat bergelimpangan di jalanan, mereka yang tak sempat berlindung sudah tak bernyawa. Debu dan asap hitam pekat melayang-layang di udara, membuat siapa pun yang berani keluar dari perlindungan pasti akan tercekik dan hangus dalam sekejap.
Panas dari debu meteor begitu menyengat, bahkan mereka yang berada dalam bunker bisa merasakan kehangatan yang mengerikan dari luar.
“Kita tidak bisa keluar. Debunya sangat tebal dan panas!” seorang pria berteriak dalam kepanikan di salah satu bunker di Tokyo.
“Kita harus tetap di sini. Tidak ada tempat aman di luar!” balas seseorang dengan suara gemetar, ketakutan.
Hari itu, yang seharusnya masih terang benderang, berubah menjadi malam yang abadi. Tidak ada yang tahu kapan kegelapan ini akan berakhir. Semua orang hanya bisa bertahan dalam ketakutan, menunggu tanpa kepastian di tengah dunia yang gelap gulita.
Suara tangisan, jeritan, dan kepanikan terus menggema di dalam bunker-bunker di seluruh dunia. Bagi banyak orang, itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih buruk daripada sekadar kegelapan. Itu adalah awal dari berakhirnya dunia yang mereka kenal.
3.4. Ketakutan yang Tak Terelakkan
Dalam kegelapan yang menyelimuti seluruh bumi, suara-suara panik dan tangisan tak kunjung reda. Di dalam bunker-bunker, orang-orang yang sebelumnya merasa aman kini terjebak dalam ketidakpastian. Semua yang mereka andalkan—listrik, teknologi, dan kenyamanan modern—hilang begitu saja dalam hitungan detik.
Di bunker Paris, Marie masih mencoba mengatur napas, gemetar di tengah gelap. “Aku tak bisa bernapas dengan baik, Jean... rasanya sesak,” bisiknya sambil berpegangan pada lengan suaminya.
Jean memeluk Marie erat, mencoba memberinya rasa aman meskipun dirinya sendiri juga dilanda ketakutan. “Kita harus tetap kuat, Marie. Kita sudah sejauh ini. Jangan menyerah.”
Di sudut lain bunker, anak-anak kecil yang tadinya tertidur nyenyak mulai terbangun, menangis karena suasana yang sangat menakutkan. Seorang ibu berusaha menenangkan anaknya, meski suaranya sendiri bergetar. “Sssh, jangan takut, sayang. Ibu ada di sini. Kita semua akan baik-baik saja,” katanya sambil menahan air mata.
Tiba-tiba, di tengah kegelapan, terdengar suara berat dari seorang pria yang berusaha menenangkan kerumunan. “Dengar semua! Kita harus tetap di dalam bunker! Siapa pun yang mencoba keluar akan tercekik oleh debu panas di luar sana! Tidak ada yang selamat jika keluar!”
Seruan pria itu membuat sebagian orang tenang, tapi yang lain justru semakin takut. Mereka mulai berbisik-bisik tentang apa yang terjadi di luar sana—mayat-mayat, api, dan kehancuran yang tak terbayangkan.
Di London, Mark menggenggam tangan Jessica erat. “Kita harus tetap tenang. Apa pun yang terjadi di luar sana, kita aman di sini, selama kita tidak keluar.”
“Tapi... bagaimana jika kita kehabisan oksigen? Atau makanan? Kita tidak tahu berapa lama ini akan berlangsung,” Jessica berbisik, matanya berkilat karena takut.
Mark hanya bisa menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Kita harus bertahan.”
Sementara itu, di Tokyo, Hiroshi dan Ayumi duduk bersandar di dinding bunker, merasakan getaran terakhir dari benturan meteor yang masih terasa samar-samar di bawah kaki mereka. “Ini tidak mungkin hanya berlangsung satu atau dua hari,” kata Hiroshi dengan suara rendah, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.
“Apa maksudmu?” Ayumi menoleh, suaranya penuh kekhawatiran.
“Debu... panas dari benturan... kita bisa terjebak dalam kegelapan ini selama berminggu-minggu, mungkin lebih lama,” jawab Hiroshi, suaranya semakin melemah.
Ayumi menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. “Aku tidak bisa membayangkan hidup seperti ini. Tanpa cahaya, tanpa harapan.”
Di Jakarta, suasana semakin panas. Orang-orang di bunker mulai merasa sesak karena udara yang stagnan dan panas dari luar mulai merembes ke dalam. “Aku tidak tahan lagi di sini! Kita harus mencari jalan keluar!” seorang pria mulai berteriak, mengguncang-guncangkan pintu bunker dengan kasar.
“Jangan! Kita akan mati jika keluar!” Rina mencoba menghentikannya, tapi pria itu sudah terlanjur dikuasai kepanikan.
“Lebih baik mati di luar daripada mati pelan-pelan di dalam!” teriaknya, dan beberapa orang mulai ikut-ikutan mencoba membuka pintu bunker, meskipun mereka tahu bahwa di luar sana hanyalah kegelapan dan kematian yang menunggu.
Ahmad menatap Rina dengan putus asa. “Kita tidak bisa membiarkan mereka keluar. Mereka akan membawa malapetaka ke kita semua!”
“Aku tahu... tapi kita tak bisa mengendalikan mereka,” jawab Rina, merasa tak berdaya. Kegelapan telah membawa ketakutan yang begitu dalam sehingga logika mulai terkikis, digantikan oleh naluri bertahan hidup yang liar.
Di seluruh dunia, suasana serupa terjadi di dalam bunker-bunker. Ketakutan telah mencapai puncaknya. Orang-orang yang tadinya berpegang pada harapan bahwa teknologi akan menyelamatkan mereka kini harus menerima kenyataan bahwa semua yang mereka kenal telah hancur. Tidak ada listrik, tidak ada komunikasi, tidak ada cahaya. Hanya kegelapan yang menyelimuti, seolah-olah dunia telah berhenti berputar.
Di Seattle, Jack masih memeluk keluarganya di pojok bunker yang dingin. “Ini bukan hidup. Ini penantian menuju kematian,” bisiknya pelan, tak ingin didengar oleh anak-anaknya. Tapi Mrs. Miller mendengarnya, dan matanya dipenuhi air mata.
“Kita harus tetap bersama, Jack... itu satu-satunya yang kita punya sekarang,” katanya sambil terisak.
Jack hanya bisa mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua harapan sudah semakin menipis.
Kegelapan yang meliputi bumi tak hanya menghancurkan teknologi, tetapi juga menghancurkan jiwa manusia. Di dalam bunker, orang-orang berjuang melawan ketakutan yang terus menghantui setiap detik yang mereka habiskan dalam gelap, tidak tahu apakah mereka akan bertahan atau mati dalam kegelapan yang abadi.
Malam itu, meskipun langit seharusnya sudah berubah menjadi siang, dunia tetap terbenam dalam kegelapan. Hanya ada suara isak tangis, jeritan, dan doa yang dipanjatkan dalam keputusasaan, sementara di luar, bumi yang hangus oleh debu meteor tak menyisakan apa-apa selain kehancuran.
5.3. Kegelapan Abadi
Ketika malam berganti hari, kegelapan terus menyelimuti bumi tanpa ampun. Suasana di dalam bunker-bunker semakin tegang. Setiap orang tahu bahwa dunia di luar sudah tak seperti dulu lagi, dan ketakutan mereka semakin membesar setiap menit yang berlalu.
Di bunker Paris, udara semakin pengap. Suara isak tangis terdengar jelas meskipun ruangan dipenuhi kegelapan. Marie duduk di sudut bersama Jean, meremas tangan suaminya dengan keras. “Jean, apa kita akan mati di sini?” suaranya penuh kecemasan, hampir tidak terdengar di tengah gemuruh pikiran mereka.
Jean menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum berbicara. “Aku tidak tahu, Marie. Tapi kita harus tetap kuat, untuk diri kita sendiri dan orang lain. Ini belum berakhir.”
Seorang pria tua yang duduk di dekat pintu bunker mendesah panjang. “Kegelapan ini... sepertinya takkan berakhir. Dunia di luar pasti sudah hangus. Tidak ada yang tersisa,” gumamnya lirih, menatap kosong ke depan meskipun tak ada apa-apa yang bisa dilihat.
Di dalam bunker Tokyo, Ayumi memeluk lututnya erat, berusaha mengatur napas di tengah kepanikan. Suara Hiroshi terdengar dari sebelahnya, nyaris tak terdengar. “Ayumi... kita harus mencari jalan keluar. Kalau terus di sini, kita bisa kehabisan oksigen.”
“Apa maksudmu?” Ayumi menoleh ke arahnya dengan tatapan tak percaya. “Keluar? Di luar itu maut, Hiroshi. Udara panas, debu tebal, dan mayat-mayat. Kita... kita tidak akan bertahan.”
Hiroshi meremas tangannya, frustrasi. “Aku tahu itu, tapi... berapa lama kita bisa bertahan di sini? Jika generator mati total, kita akan kehabisan udara lebih cepat dari yang kita duga.”
Di dalam bunker Jakarta, Ahmad yang tadinya diam, kini mulai bangkit berdiri, menatap sekitar yang masih dipenuhi kegelapan. “Kita harus melakukan sesuatu! Kita tidak bisa hanya menunggu di sini dan berharap keajaiban datang!” suaranya bergetar dengan amarah yang sulit ia tahan.
Salah satu pria di ujung bunker, yang sudah tak sabar sejak semalam, mendekatinya. “Apa yang kau usulkan? Kita buka pintu bunker dan membiarkan kita semua mati di luar?”
Ahmad mengepalkan tinjunya, tetapi Rina cepat-cepat menariknya kembali ke belakang. “Jangan! Jangan biarkan dirimu dikuasai emosi. Kita harus berpikir dengan tenang...”
“Tenang? Bagaimana bisa kita tenang di situasi seperti ini?” Ahmad melepaskan tangan Rina dan menatapnya penuh rasa frustasi. “Aku tidak bisa duduk diam sementara kita semakin dekat dengan kematian setiap detik yang berlalu.”
Rina tak punya jawaban. Semua orang terjebak dalam dilema yang sama. Mereka tahu keluar dari bunker akan mengakhiri hidup mereka, tetapi bertahan di dalamnya juga bukan solusi jangka panjang.
Di bunker London, Mark dan Jessica berpelukan dalam diam, sementara suara langkah kaki dan bisikan terdengar dari seluruh ruangan. “Aku tak pernah berpikir dunia akan berakhir seperti ini...” bisik Jessica dengan suara parau.
“Kita belum tahu pasti,” Mark mencoba menenangkannya meskipun dirinya sendiri tidak yakin. “Kita harus menunggu. Mungkin ada bantuan. Mungkin...”
“Tapi bantuan dari mana?” Jessica membalas dengan getir. “Listrik sudah mati, internet tidak ada, tidak ada komunikasi. Dunia sudah berakhir, Mark.”
Di bunker-bunker lainnya, suasana semakin suram. Ketakutan terus merayap, dan rasa putus asa perlahan-lahan menggerogoti pikiran setiap orang yang bertahan dalam kegelapan.
Di bunker New York, Sarah dan tim ilmuwannya mencoba menenangkan diri. “Kita punya waktu. Kita harus bertahan, setidaknya sampai kita bisa menganalisis apa yang sebenarnya terjadi di luar sana,” kata Sarah sambil menatap monitor mati di depannya, berharap generator cadangan bisa kembali menyala.
Salah satu rekannya, Michael, menggelengkan kepala. “Aku ragu kita bisa bertahan lebih lama. Setiap jam yang berlalu, kita semakin dekat pada kehabisan oksigen. Kita harus memikirkan rencana cadangan.”
Sarah menatapnya dengan tajam. “Rencana cadangan? Kau ingin keluar dan mati di luar sana?”
Michael menunduk, tak punya jawaban. “Aku hanya tidak tahu apa yang harus kita lakukan...”
Di dalam bunker-bunker, orang-orang mulai menyadari bahwa tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu. Menunggu dalam kegelapan, dikelilingi ketakutan, kematian, dan keputusasaan. Tidak ada yang tahu berapa lama ini akan berlangsung, atau apakah mereka akan pernah melihat cahaya lagi.
Di luar, debu dan asap terus menyelimuti bumi, menciptakan langit hitam pekat yang tak pernah terbuka. Dunia yang mereka kenal sudah berubah, dan mereka yang masih hidup kini berjuang melawan waktu dan ketidakpastian.
Dalam bunker kecil di sebuah kota kecil di Indonesia, seorang ayah memeluk anaknya yang masih menangis. “Ayah, kenapa semuanya gelap? Kenapa tidak ada cahaya lagi?”
Sang ayah tersenyum getir, menyembunyikan rasa takut yang menggerogotinya. “Cahaya akan kembali, Nak. Kita hanya harus bertahan. Ayah di sini, bersamamu.”
Kegelapan terus berlangsung, dan setiap orang, di setiap bunker di seluruh dunia, hanya bisa berharap dan berdoa bahwa keajaiban akan datang dan mengakhiri kegelapan yang telah merampas segalanya dari mereka.