"Tak harus ada alasan untuk berselingkuh!"
Rumah tangga yang tenang tanpa badai, ternyata menyembunyikan satu pengkhianatan. Suami yang sempurna belum tentu setia dan tidak ada perempuan yang rela di duakan, apalagi itu di lakukan oleh lelaki yang di cintainya.
Anin membalas perselingkuhan suami dan sahabatnya dengan manis sampai keduanya bertekuk lutut dalam derita dan penyesalan. Istri sah, tak harus merendahkan dirinya dengan mengamuk dan menangis untuk sebuah ketidak setiaan.
Anin hanya membuktikan siapa yang memanggil Topan dialah yang harus menuai badai.
Seperti apa kisahnya, ikuti cerita ini ya☺️🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9. Panggilan Sayang Yang Sama
Anin membuka mata bersiap untuk bangun, dia lupa seberapa lama dia akhirnya tertidur, yang pasti menjelang subuh. Diam-diam nenangis saat sang suami terbaring tenang di sebelahnya sungguh menyita energinya. Sepanjang malam fikirannya melayang-layang, mengingat dirinya tak punya orangtua tempat mengadu. Yang di punya hanya om Haryo, teman sekaligus adik angkat almarhum ayahnya dan kini yang menjadi walinya.
Dia harus kuat dan membela dirinya sendiri, Om Haryo sudah terlalu sibuk mengurus perusahaan mereka. Dia menduda sampai di usia 50-an karena trauma kegagalan rumah tangganya, haruskah dia merecokinya dengan kegagalan dirinya sendiri?
Dia memiliki mertua memang tetapi mereka jauh di kota lain, dan lagi dia tak terlalu dekat dengan keluarga Galih. Berharap mereka membelanya? Anin harus berfikir seratus kali, dulu mereka sempat berselisih paham dengan Galih gara-gara mencap Anin mandul, setelahnya hubungan mereka renggang meskipun tetap saja kadang mereka bertukar kabar.
Anin mengumpulkan separuh nyawanya yang entah di mana, tetapi kemudian urung beranjak saat mendapati Galih sudah tak lagi di sampingnya.
Anin mengitari pandang dan mendapati pintu kamar ke teras balkon terbuka sedikit. Celah kecil itu menghantarkan cahaya matahari yang masih baru beranjak meninggalkan gelap itu memantul di dinding.
"Aku rasa Anin tak tahu apa-apa..." Suara Galih sayup-sayup dalam volume rendah.
"Dia berbicara dengan siapa?" Anin mengerutkan dahinya, sepagi ini suaminya itu telah bangun dan nampaknya sedang mengobrol.
"Ya, aku tahu, besok ulang tahunmu. Bagaimana aku bisa lupa?" Suara Galih lagi.
Anin kemudian sadar, Galih sedang berbicara dengan seseorang, lewat telpon. Matanya tertumpu pada ponsel sang suami yang sedang di charge di atas meja sudut.
Sekarang dia yakin, Galih punya ponsel yang lain, yang di sembunyikannya dari Anin selama ini, entah berapa lama.
"Sayang, dengarkan aku..."
Kalimat itu bagai setrum di ulu hati Anin, Galih memanggil orang lain dengan sayang?
Mata Anin nyaris tak sempat mengerjap sekian detik, bagaimana bisa panggilan itu yang di sematkan suaminya dari awal pernikahan mereka hanya untuknya sekarang menjadi panggilan orang lain suaminya untuk orang lain?
Ugh!
Sakitnya lebih kejam dari apa yang di ketahui orang, sebagai perempuan dia merasa terhempas dalam kecemburuan tak berdasar.
"Ya, aku tahu...aku tahu. Baiklah kita bertemu malam nanti saja, makan malam di tempat biasa." Kalimat itu di tutup dengan suara langkah lebar dan di saat berikut pintu teras balkon itu terbuka perlahan, deritnya sungguh halus.
Anin segera menutup matanya, dia berpura-pura tidur kembali.
"Krek."
Pintu itu di tutup pelan, dan langkah kaki Galih nyaris tak terdengar di atas lantai seolah mengambang, mungkin dia berjinjit atau...
"Cup."
Sebuah ciuman mendarat di kening Anin, basah.
"Sayang, bangunlah." Panggil Galih lirih.
Anin berpura-pura menggeliat sembari membuka kelopak matanya dengan berat.
"Eh, sudah pagi?" Anin berpura-pura terkejut.
"Ya, ini hampir jam enam pagi, tumben kamu belum bangun. Biasanya kamu sudah mandi jam segini?" Tanya Galih, wajahnya terlihat begitu biasa dengan sesungging senyum.
"Oh, aku kesiangan, ya? Astaga, aku harus menyiapkan sarapan..."
Anin segera duduk dan menjulurkan kakinya ke lantai.
"Akh, kalau kamu masih mengantuk tidak apa-apa. Tidur saja. Aku bisa minta sarapan dari bik Irah. Aku membangunkanmu cuma mau pamit mungkin aku harus berangkat lebih pagi hari ini. Ada yang harus kusiapkan di kantor." Sahut Galih cepat sambil menowel hidung bangir Anin, sebuah kebiasaan yang sering di lakukannya pada Anin.
"Tapi, aku juga harus menyiapkan Gigi sekolah."
"Sayang, masa kamu lupa jika hari ini sabtu, tidak perlu tergesa membangunkan Gigi. Kamu bisa santai di rumah, mengurus bunga anggrekmu di taman belakang, nonton drakor atau drachin kesukaanmu saja." Usul Galih.
"Eh, hati ini sabtu ya?" Bahkan hari pun Anin sudah lupa, karena kesibukannya bergelut dengan dilema yang di simpannya sendiri.
"Iya. Istriku ini mulai pikun ternyata." Galih terkekeh, lalu berbalik hendak menuju kamar mandi.
"Hari ini kamu sibuk?" Tanya Anin ragu menatap punggung lebar sang suami.
"Ya, aku akan ke kantor, asisten pak Haryo ingin meminta draft kontrak kemarin malam." Jawab Galih tanpa menoleh.
"Oh..." Anin duduk di pinggir tempat tidur, kakinya yang jenjang itu menjuntai santai, dia sekarang lebih tenang.
Anin benar-benar tak turun dari tempat tidur, seperti saran Galih. Dia yakin, Gita belum bangun karena anak itu jika sudah bangun pasti berlari ke kamar mereka untuk mendapati papanya.
Sampai Galih keluar, dengan wajah segar usai mandi, Anin masih di tempat tidur, dia sibuk dengan ponselnya, memindahkan semua foto-foto Galih dan Ratna yang di kirimkan Retno ke drive emailnya lalu menghapus riwayat Chatnya dengan Reno, sopir kantor Galih. Tentu saja setelah mengarsipkannya. Suatu saat dia akan mengeluarkannya sebagai bukti.
"Sepertinya aku kurang enak badan pagi ini." Keluh Anin. Kepalanya memang terasa berat, kurang tidur membuatnya pusing.
"Tuh, kan. Sudahlah, kamu tidur saja, tidak perlu repot mengurusku."Galih menuju lemari, dia yang backgroundnya tidak kaya tentu saja mandiri dalam mengurus dirinya, selama ini Anin saja yang terlalu memanjakan dirinya, mengurus suaminya dari A hingga Z atas nama pengabdian seorang istri.
Anin menatap sang suami yang hilir mudik di dalam kamar, dia mengenakan pakaiannya yang memang sudah disiapkan Anin, tergantung rapih.
"Jam berapa kamu pulang hari ini?" Tanya Anin tiba-tiba.
"Emh...mungkin agak malam. Kalau pekerjaan ini tidak selesai aku harus lembur."
"Bukankah pekerjaan itu bisa di serahkan kepada staffmu?" Pertanyaan Anin membuat Galih menoleh, alisnya mengernyit, tak biasanya Anin berucap berat seperti itu.
"Sepertinya aku harus mengawasinya sendiri, aku ingin projek ini perpect di mata Pak Haryo, dengan begitu aku mungkin di promokan di jajaran CEO." Galih berucap seakan begitu berat mengambil keputusan itu.
"Oh, begitu, ya?" Anin mengangguk-angguk tak lagi mendebat.
"Memangnya kenapa? Kamu ada rencana apa?" Tanya Galih.
"Aku berencana membuat makan malam di rumah hari ini dengan mengundang seseorang yang berulangtahun besok."
"Hah, oh ya?" Galih terlihat terkejut.
"Siapa?" Lanjutnya, terlihat sekelebat cemas di piasnya.
"Ratna." Jawab Anin pendek.
Wajah Galih menegang sesaat tetapi kemudian dia kembali menguasai diri.
"Oh, ya? Ratna ulang tahun besok? Baru tahu."
Cih!
Anin begitu gemas dengan raksi sang suami yang terlihat surprise padahal dia yakin Galih sudah tahu.
Apalagi di obrolan sayup-sayup tadi dia mendengar mereka berdua akan berencana dinner.
Hmmmm, mari kita lihat, seperti apa kalian di depanku? Apakah kalian begitu mahir menjaga sandiwara kalian jika berada di depan hidungku? Anin menggumam dalam hati. Dia yakin suaminya itu tak bisa membuat alasan, kalau perlu Ratna akan menginap di rumah mereka malam ini!
andai d alam nyata, tak bejek2 tu suami .bikin dendam aja
sukses dalam berkarya.
ku suport dngan kirim setangkai mawar.
PALING FAVORIT adl TDK MEMAKAI ALASAN DEMI ANAK utk bertahan pny kluarga yg utuh 👏🏻👏🏻
Bahagiakanlah diri anda sndiri & jgn mengorbankan kewarasan anda hny demi alasan anak ataupun kluarga!
Terima kasih utk karyanya Kak Author 🙏🏻💐
Sehat2 slalu & semangat utk karya2 terbarunya 💪🏻🤗
pelan pelan anin🤣🤣