"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Proses Penyembuhan
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut ke dalam ruang terapi Karin. Di depan cermin besar di sudut ruangan, ia menatap pantulan dirinya yang kini sedikit berbeda. Sudah beberapa minggu sejak ia mulai lebih konsisten dengan terapi, dan meski tidak semua hari terasa mudah, ada secercah harapan yang mulai muncul. Pandu menunggunya di luar, seperti biasa, dengan senyum hangat yang selalu membuat Karin merasa lebih baik.
"Karin, kemajuanmu luar biasa," ujar psikolognya sambil tersenyum. "Kamu sudah berhasil mengurangi kebiasaan repetitifmu, dan minggu ini kamu terlihat lebih tenang."
Karin hanya tersenyum kecil, sedikit ragu. "Iya, tapi kadang rasanya masih susah. Ada hari-hari di mana rasanya... seperti aku kembali ke titik nol."
Psikolognya mengangguk. "Itu normal. Penyembuhan bukan proses linier. Tapi yang penting, kamu sudah jauh lebih baik daripada saat pertama kali datang ke sini."
Keluar dari ruang terapi, Karin menemukan Pandu sedang berdiri di dekat pintu, memeriksa ponselnya. Ketika dia melihat Karin, wajahnya langsung berseri-seri.
"Bagaimana sesi hari ini?" tanya Pandu dengan semangat, meski di matanya terlihat sedikit kelelahan.
Karin mengangkat bahu. "Lumayan. Aku merasa lebih baik, tapi masih ada bagian dari diriku yang ragu."
Pandu memeluknya erat. "Kita sudah sejauh ini, Karin. Dan aku bangga banget sama kamu."
Konflik:
Malam itu, setelah makan malam sederhana di rumah, Karin merasakan ketegangan yang tiba-tiba kembali menguasainya. Tangan-tangannya gemetar ketika ia melihat dapur yang berantakan, piring-piring yang belum dicuci menumpuk di wastafel. Pandu berada di ruang tamu, menonton acara favoritnya, tak sadar bahwa pikirannya mulai kembali ke pola lama.
"Karin? Kamu baik-baik saja?" tanya Pandu dari ruang tamu ketika melihat istrinya diam terlalu lama di dapur.
Karin tidak menjawab, matanya terpaku pada satu titik di wastafel. Pikirannya mulai terperangkap dalam siklus OCD-nya, dorongan untuk memastikan segala sesuatu bersih dan teratur mulai menguasai.
"Karin?" Pandu muncul di ambang pintu, suaranya penuh kekhawatiran saat melihat istrinya berdiri kaku.
"Aku... aku harus membersihkannya," gumam Karin, matanya hampir kosong. "Ini... tidak bisa dibiarkan. Aku harus memastikan semuanya bersih. Harus..."
Pandu langsung menyadari apa yang sedang terjadi. Ini adalah salah satu momen kambuh yang terburuk yang pernah dia lihat sejak Karin mulai menjalani terapi.
"Karin, dengar aku," kata Pandu lembut sambil mendekat, menyentuh bahunya. "Kamu tidak harus melakukan ini. Kita bisa melakukannya besok. Ingat apa yang sudah kamu capai."
"Tapi... aku nggak bisa..." Karin mulai menangis pelan, perasaannya terombang-ambing antara keinginan untuk menghentikan dorongan itu dan ketakutan bahwa dia kehilangan kendali.
Pandu menatapnya dengan penuh cinta, memegang kedua tangannya erat-erat. "Lihat aku, sayang. Kamu sudah melewati banyak hal. Ini hanya satu hari yang buruk, bukan akhir dari segalanya. Kamu lebih kuat dari ini."
Klimaks:
Pandu dengan sabar membimbing Karin menjauh dari dapur, membawanya duduk di sofa. Ia merengkuh istrinya dalam pelukan hangat, membiarkan Karin merasakan kenyamanannya. Ia terus berbicara dengan lembut, mengingatkannya pada semua kemajuan yang telah dicapai.
"Kamu ingat waktu pertama kali terapi, kamu bahkan nggak bisa keluar dari rumah tanpa memastikan semuanya dalam urutan yang sempurna?" Pandu berkata sambil tersenyum lembut. "Tapi sekarang, lihat dirimu. Kamu sudah bisa melawan dorongan-dorongan itu."
Karin mengangguk pelan, meski air matanya masih mengalir. "Tapi... kenapa rasanya seperti aku selalu gagal? Kenapa aku masih nggak bisa kontrol semuanya?"
"Kamu nggak gagal, Karin," tegas Pandu. "Ini bagian dari proses penyembuhan. Kadang kamu maju dua langkah, mundur satu. Tapi yang penting, kamu terus berjuang. Aku ada di sini, kita lewati ini sama-sama."
Karin menatap Pandu dengan mata yang sembab, namun ada sedikit kekuatan yang kembali dalam dirinya. Ia tahu Pandu benar. Meski terasa sulit, dia tidak sendiri dalam perjuangan ini.
Penutup:
Beberapa saat kemudian, Karin sudah merasa lebih tenang, duduk di sofa dengan Pandu di sampingnya. Mereka menonton acara komedi di televisi, namun kali ini tawa Karin lebih tulus. Ada beban yang sedikit terangkat, meski ia tahu tantangan ini belum selesai.
"Terima kasih, Pandu," bisik Karin, menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.
Pandu mengelus rambutnya lembut. "Aku akan selalu ada buat kamu, Karin. Kamu nggak harus menghadapi ini sendirian."
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Karin tidur dengan lebih tenang. Pandu, di sisi lain, terjaga beberapa saat, memikirkan perjalanan yang mereka masih harus tempuh. Di dalam hati, dia tahu, tidak akan mudah. Tapi bersama-sama, mereka bisa melewati semua ini.
Cliffhanger:
Keesokan paginya, saat Pandu sedang bersiap untuk berangkat ke kantor, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari ayahnya muncul di layar.
"Masalah besar di perusahaan. Kamu harus segera datang. Ini darurat."
Pandu menatap layar ponselnya dengan raut serius, tahu bahwa ini mungkin menjadi tantangan besar lain yang harus dihadapinya, tepat saat Karin mulai menunjukkan kemajuan.