Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Transformasi Dion
Pagi itu, Dion terbangun dengan perasaan yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Semalam, kata-kata Reza benar-benar meresap ke dalam pikirannya. Dia memandangi langit-langit kamarnya yang kini tampak lebih terang dari biasanya, seolah-olah ada beban yang telah terangkat dari pundaknya. Hari ini, Dion memutuskan sesuatu yang besar—dia akan berhenti mengejar Clara.
Namun, berhenti bukan berarti menyerah pada hidupnya. Justru sebaliknya, dia ingin bangkit kembali. Selama ini, dia terlalu fokus pada satu hal, pada Clara, dan lupa akan dirinya sendiri. Dulu, dia adalah seseorang yang dikenal banyak orang karena kepribadiannya yang ceria, murah senyum, dan selalu bisa diandalkan. Tapi sejak jatuh cinta pada Clara, Dion berubah. Dia lebih sering menyendiri, mengabaikan teman-temannya, dan terjebak dalam perasaannya sendiri.
"Hari ini aku akan berubah," gumamnya pada dirinya sendiri.
Dion bangkit dari tempat tidurnya, mandi, dan berpakaian dengan semangat baru. Dia memutuskan untuk menata ulang hidupnya, menutup bab tentang Clara dan membuka lembaran baru—lembaran tentang dirinya yang sebenarnya.
---
Di sekolah, teman-temannya langsung menyadari perubahan pada Dion. Dia datang dengan senyum di wajahnya, tidak seperti biasanya yang penuh beban. Ketika mereka berkumpul di kantin, Reza, Aldi, Fariz, dan Nisa saling bertukar pandang, heran dengan sikap Dion yang mendadak berubah.
"Eh, Dion. Ada apa nih? Kok kelihatan beda banget hari ini?" canda Aldi sambil menepuk pundak Dion.
Dion hanya tersenyum lebar. "Nggak ada apa-apa. Cuma ngerasa udah cukup larut dalam kegelapan, sekarang saatnya balik ke cahaya," jawabnya sambil tertawa kecil.
Fariz mengangkat alis. "Maksud lo apa? Lo udah nggak mau ngejar Clara lagi?"
"Bener," kata Dion tegas. "Gue udah memutuskan buat berhenti. Clara udah bikin pilihan, dan itu bukan gue. Gue nggak bisa terus-terusan ngorbanin diri gue buat sesuatu yang nggak pasti."
Nisa menatap Dion penuh perhatian. Dia tahu betapa sakitnya Dion selama ini, dan meski dia merasa lega bahwa Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti, ada sedikit kekhawatiran di hatinya. "Kamu yakin bisa melupakan Clara secepat ini?" tanyanya lembut.
Dion mengangguk. "Ini bukan soal lupa atau nggak. Ini soal ngasih ruang buat diri gue sendiri. Selama ini gue terlalu fokus sama Clara, dan gue lupa sama siapa gue sebenarnya."
Semuanya terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja Dion katakan. Ada rasa kagum di hati mereka, melihat betapa dewasa keputusan yang diambil oleh Dion. Tapi di balik itu, mereka juga tahu betapa sulitnya bagi Dion untuk benar-benar melupakan Clara.
"Yah, gue sih mendukung keputusan lo, bro," kata Reza sambil tersenyum. "Mungkin ini emang waktu yang tepat buat lo fokus ke diri lo sendiri lagi."
Aldi mengangguk setuju. "Ya, siapa tau abis ini lo jadi cowok yang lebih keren lagi. Clara bakal nyesel kalo tau dia udah ninggalin lo."
Dion tertawa kecil mendengar candaan Aldi. "Nggak usah dipikirin. Gue udah nggak mau mikirin Clara lagi."
---
Seiring berjalannya waktu, perubahan Dion semakin terlihat. Dia mulai kembali aktif di kegiatan sekolah, ikut berpartisipasi dalam beberapa ekskul, dan bahkan mulai membuka diri untuk berteman dengan lebih banyak orang. Dion yang dulu dikenal sebagai sosok pendiam yang hanya fokus pada Clara, kini berubah menjadi seseorang yang lebih terbuka dan ramah pada siapa saja.
Suatu sore, Dion memutuskan untuk bergabung kembali dengan ekskul basket yang dulu sempat dia tinggalkan karena terlalu sibuk dengan masalah hatinya. Saat dia masuk ke lapangan, teman-teman lama yang masih aktif di ekskul itu menyambutnya dengan gembira.
"Dion! Wah, akhirnya balik lagi ke sini!" seru salah satu temannya, Reno, sambil berlari ke arahnya.
Dion hanya tersenyum. "Gue kangen main basket, jadi gue pikir kenapa nggak balik lagi."
Setelah 1 bulan absen, Dion kembali bermain dengan semangat yang sama seperti dulu. Sore itu, lapangan basket dipenuhi sorakan anak-anak yang berlatih dan berlomba-lomba untuk menyempurnakan gerakan mereka. Suara bola yang memantul di atas aspal lapangan menggema, menyatu dengan hembusan angin yang perlahan membawa ketenangan.
Dion kembali ke lapangan dengan langkah mantap. Wajahnya terlihat lebih tenang, dan tubuhnya sudah tidak lagi dibebani oleh rasa sakit emosional yang selama ini menghantuinya. Teman-temannya memperhatikan perubahannya.
“Dion, lo balik lagi!” seru Aldi, setengah berteriak dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Reza, yang sedang berdiri di dekat ring, melempar bola ke Dion. “Bro, akhirnya! Gimana rasanya?”
Dion menangkap bola dengan gesit, lalu mengangguk sambil tersenyum tipis. “Rasanya seperti dulu lagi,” jawabnya singkat, namun cukup untuk membuat teman-temannya tersenyum lebar.
Fariz, yang sedari tadi duduk di bangku, ikut menambahkan. “Lo nggak tahu, bro. Kita semua kangen lihat lo main lagi.”
Sore itu menjadi saksi bahwa Dion yang dulu telah kembali—lebih kuat dan lebih fokus. Dia tidak lagi terperangkap dalam bayang-bayang Clara. Setiap tembakan yang ia lakukan ke ring, setiap dribble, seakan menjadi simbol bagaimana dia telah melepaskan beban emosionalnya.
Selama latihan, tak ada sedikit pun pikiran tentang Clara yang mengganggu konsentrasinya. Semua fokusnya tertuju pada permainan, teman-temannya, dan passion yang selama ini dia tinggalkan. Dia telah belajar untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua hal bisa dimiliki, dan dia pun merasa lebih bebas.
---
Malam harinya, Dion berbaring di tempat tidur, merenungkan perubahan yang terjadi dalam dirinya. Kata-kata Reza masih terus terngiang di pikirannya. "Clara sudah memilih dia kan, perjuanganmu cukup sampai di sini." Kalimat itu yang membuat Dion sadar, tidak ada gunanya terus terjebak dalam perasaan yang tidak terbalas. Semua perjuangan yang dia lakukan memang tulus, tetapi dia juga harus tahu kapan harus berhenti.
Keesokan harinya, di sekolah, perubahan Dion semakin jelas terlihat. Tatapan dinginnya yang biasa kini tergantikan dengan senyum hangat. Dion yang dulu pendiam dan tertutup kini lebih ramah, terutama pada teman-teman sekelasnya. Banyak yang mulai memperhatikan transformasinya, termasuk Nisa yang terkejut melihat perubahan drastis sahabatnya itu.
“Dion... lo baik-baik aja, kan?” tanya Nisa sambil menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran. Mereka sedang duduk di kantin bersama-sama.
Dion mengangguk. “Gue udah baik-baik aja, Nis. Gue sadar, selama ini gue terlalu keras sama diri sendiri. Sekarang gue cuma mau menikmati hidup, tanpa ngarepin apa-apa dari Clara lagi.”
Nisa tersenyum lega mendengar jawabannya. “Gue seneng dengar lo bilang begitu. Lo jauh lebih tenang sekarang.”
Mereka berdua mengobrol santai di kantin sambil sesekali tertawa. Dion tidak lagi merasa terganggu oleh kenyataan bahwa Clara dan Raka semakin dekat. Setiap kali melihat Clara lewat bersama Raka, Dion hanya tersenyum kecil dan kembali melanjutkan aktivitasnya.
Namun, bukan hanya Clara yang memperhatikan perubahan Dion. Lara, yang juga pernah membantu Dion dalam situasi tersulitnya, kini mulai menatap Dion dengan pandangan berbeda. Dia menyadari bahwa Dion yang sekarang lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih memikat. Meski Lara sebelumnya mengungkapkan perasaannya secara singkat, kini dia ragu untuk melanjutkan perasaannya itu. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya setelah melihat transformasi Dion.
---
Di sisi lain, Raka mulai menyadari perubahan Clara. Sejak Dion kembali ke sekolah dengan sikap yang lebih tenang, Clara tampak tidak seceria biasanya ketika bersama Raka. Entah mengapa, setiap kali melihat Dion, ada rasa bersalah yang mulai mengusik Clara. Hubungannya dengan Raka, meskipun semakin dekat, tidak memberi kebahagiaan yang dia harapkan.
Clara pun mulai mempertanyakan keputusannya. Apakah dia benar-benar membuat pilihan yang tepat dengan memilih Raka? Setiap malam sebelum tidur, Clara teringat semua momen bersama Dion—kebaikan, perhatian, dan usaha Dion yang selama ini tidak pernah dia hargai dengan sepenuhnya.
Sementara itu, Dion semakin tenggelam dalam rutinitas sekolah dan latihan basket. Setiap sore dia kembali ke lapangan, tidak hanya untuk bermain tetapi juga untuk menemukan kembali dirinya yang dulu. Dan setiap kali dia meninggalkan lapangan, ada senyum kepuasan di wajahnya, seolah dia telah memenangkan pertarungan terbesar dalam hidupnya—pertarungan melawan dirinya sendiri.
---
Dion berdiri di depan cermin kamarnya malam itu, memandangi bayangannya sendiri. “Ini gue yang baru,” gumamnya, tersenyum pada dirinya sendiri. Perjuangan yang dia lalui mungkin melelahkan, tetapi hasilnya adalah versi Dion yang lebih baik, lebih matang, dan lebih siap menghadapi apa pun yang ada di depannya.
Dengan penuh percaya diri, Dion melangkah keluar dari kamarnya. Dia tahu, meski hati pernah terluka, hidup harus terus berjalan. Dan dia siap untuk apa pun yang akan datang.