"Aku menyukainya. Tapi kapan dia akan peka?" ー Asami
"Aku menyukaimu, tapi kurasa orang yang kamu sukai bukanlah aku" ー Mateo
"Aku menyukaimu, kamu menyukai dia, tapi dia menyukai orang lain. Meski begitu, akan aku buat kamu menyukaiku lagi!" ー Zayyan
.
.
.
Story © Dylan_Write
Character © Dylan_Write
Cover © Canva
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dylan_Write, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Patah Hati Yang Tersimpan
Beberapa minggu setelah Asami dan Zayyan resmi berpacaran, banyak hal terasa berubah di antara mereka. Setiap senyum, sentuhan, dan percakapan diisi oleh kehangatan yang baru, meski di depan teman-temannya, mereka masih berusaha tidak terlalu memperlihatkan kedekatan itu.
Namun, ada satu hal yang tak bisa diabaikan oleh siapapun yang mengenal mereka dengan baik—cara Zayyan memperlakukan Asami menjadi semakin lembut.
Di sudut lain, Mateo tetap hadir. Namun, berbeda dari biasanya, kehadirannya kali ini seolah-olah tak terlihat. Setiap kali ia melihat Asami bersama Zayyan, ia hanya mengamati mereka dari kejauhan.
Sore itu, saat jam sekolah selesai, Zayyan menghampiri Asami yang tengah sibuk merapikan bukunya di kelas.
“Asami, sore ini kita ke kafe, yuk? Aku traktir,” kata Zayyan dengan senyum khasnya.
Asami menoleh dan tersenyum kecil, “Hmm... kayaknya seru. Tapi aku ada tugas... Gimana kalo kamu bantu aku cari referensi?”
Zayyan tertawa ringan. “Iya, nanti kita bisa bahas tugas sambil ngopi, gimana?” Mereka berdua tertawa kecil sebelum berjalan keluar kelas.
Di sudut lain kelas itu, Mateo duduk, menunduk dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Namun, telinganya tak bisa mengabaikan percakapan mereka.
“Lagi bareng terus, ya,” gumam Mateo, lebih kepada dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, Argus, yang sudah melihat Mateo sejak tadi, mendekat. “Mateo, gua liat lu sering banget sendirian belakangan ini. Lu baik-baik aja?”
Mateo menghela napas, kemudian tersenyum tipis. “Gua baik, kok. Cuma... lagi banyak mikir aja.”
Argus mengerutkan dahi. “Banyak mikir? Atau banyak liatin Asami?”
Mateo terdiam sejenak, lalu memandang lurus ke arah pintu kelas, tempat Asami dan Zayyan baru saja keluar. "Nggak ada yang perlu diliatin, Gus. Dia udah sama cowoknya sekarang."
Argus menyilangkan tangan di dadanya. "Serius, Mat? Lu bakal terus-terusan diem kayak gini? Kalau gua jadi lu, gua bakal ngomong langsung ke Asami. Sebelum semuanya terlambat."
Mateo menggeleng pelan. "Udah telat, Gus. Dan gua nggak mau ganggu kebahagiaan mereka."
“Kebahagiaan mereka? Apa lu yakin itu yang terbaik buat lu? Gua tau lu peduli sama Asami, tapi lu juga harus peduli sama diri lu sendiri.” Argus menepuk bahu Mateo.
Mateo tersenyum pahit, menahan berat di dadanya. "Gua udah biasa kok, Gus. Nahan perasaan ini, gua udah lama ngelakuinnya."
"Yah, terserah lu deh. Tapi lu harus tahu, Mat, kadang ngomong itu lebih baik daripada terus-menerus menahan."
Mateo menatap kosong ke luar jendela. Ia tahu Argus ada benarnya, tapi di sisi lain, Mateo lebih memilih diam. Dia sudah terlalu lama memendam perasaannya, dan sekarang, dia tak lagi punya nyali untuk mengungkapkannya.
......................
Sementara itu, di kafe, Asami dan Zayyan duduk di meja dekat jendela. Mereka mulai mendiskusikan tugas sekolah sambil memesan minuman. Asami membuka buku catatannya dan mulai berbicara tentang referensi yang ia butuhkan.
“Zayyan, menurutmu, tema yang ini cocok nggak untuk aku bahas?” tanya Asami sambil menunjuk catatannya.
Zayyan memperhatikan dengan serius, lalu mengangguk. “Cocok kok, asal kamu bisa menonjolkan poin-poin utama di bagian pembahasan. Tapi kalau kamu butuh tambahan referensi, aku bisa bantu cari di perpustakaan nanti.”
Asami tersenyum, “Kamu selalu bisa diandalkan.”
Zayyan tersenyum kecil, kemudian menggenggam tangan Asami di atas meja. “Aku selalu ada buat kamu, Asa."
Asami merasa jantungnya berdebar lebih cepat mendengar kata-kata Zayyan. Namun, sesaat kemudian, perasaannya teralihkan ketika ia melihat layar ponselnya berkedip. Ada pesan masuk.
...----------------...
My Ex-crush
Kamu kelihatan bahagia sekarang. Semoga terus begitu, ya.
...----------------...
Asami terdiam sejenak, membaca pesan itu berulang-ulang. Ada sesuatu dalam pesan itu yang membuatnya merasa aneh, seperti ada hal yang tak terucapkan di balik kata-kata sederhana itu.
Zayyan yang memperhatikan perubahan ekspresi Asami, bertanya, “Ada apa? Siapa yang kirim pesan?”
“Oh, nggak ada apa-apa. Cuma... orang salah kirim.” jawab Asami pelan, mencoba terdengar biasa saja.
Zayyan mengangguk perlahan, meski ia bisa merasakan ada sesuatu yang lain. "Oke..."
Asami masih memandangi layar ponselnya, hatinya merasa sedikit gelisah. Mateo, yang dulu selalu ada, kini terasa semakin jauh.
......................
Malam harinya, Mateo duduk sendirian di balkon rumahnya, memandangi langit malam. Angin dingin bertiup pelan, membawa perasaan sepi yang tak pernah ia ungkapkan.
Ponselnya kembali bergetar, dan ketika ia melihat layarnya, ada balasan dari Asami.
...----------------...
Asami Multimedia 1
Makasih, Mat. Kamu baik banget
Asami Multimedia 1
Semoga kamu juga bahagia.
...----------------...
Mateo tersenyum getir. Balasan itu terasa seperti pisau tajam yang menusuk pelan, tapi ia tahu, itu adalah yang terbaik. Asami sudah bahagia, dan itu cukup baginya.
Mateo menutup ponselnya, memandangi langit yang kini gelap. Di tengah keramaian dunia Asami, Mateo memilih berada dalam keheningan, memendam semua perasaannya tanpa seorang pun tahu.
...ΩΩΩΩΩ...
Asami melangkah masuk ke ruang OSIS dengan langkah ringan, meski ada sedikit perasaan canggung di dalam dirinya. Tidak bisa dipungkiri, hubungannya dengan Zayyan sudah resmi. Namun, ada Mateo—sosok yang sepertinya terus menjauh akhir-akhir ini.
Mereka memang masih harus sering bertemu, terutama karena serah terima jabatan OSIS semakin dekat, dan Asami tidak bisa menghindari nya terlalu lama.
Mateo sudah duduk di meja, menghadap laptopnya dengan wajah serius seperti biasa. Asami tahu, jika pembicaraan tentang OSIS dimulai, Mateo akan jadi sosok yang bersemangat dan banyak bicara. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Mateo tampak diam, jarang sekali menoleh ke arah Asami. Ia hanya fokus pada tugasnya, seolah-olah Asami tidak ada di sana.
“Asami, kamu sudah cek rundown acara?”
Suara Mateo yang tiba-tiba memecah kesunyian. Seperti yang sudah diduga, nada suaranya tenang, tapi terdengar formal.
“Sudah,” Asami mengangguk. “Saya cuma perlu pastikan beberapa hal teknis, tapi sepertinya semuanya sudah siap.”
Mateo hanya mengangguk kecil. Tidak ada percakapan lebih lanjut. Biasanya, Mateo akan memperpanjang diskusi, membicarakan detail-detail yang bahkan belum terlalu penting. Tapi hari ini berbeda. Asami tidak bisa menahan diri untuk merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Setelah rapat selesai, semua anggota OSIS bergegas keluar. Tinggal Asami dan Mateo yang masih menyelesaikan sisa pekerjaan mereka. Biasanya, momen-momen seperti ini adalah saat mereka berbicara lebih santai, tapi kali ini hening. Asami memberanikan diri untuk mengajukan satu pertanyaan.
“Mateo... kamu baik-baik saja?”
Mateo menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis, meski senyum itu tidak mencapai matanya. “Baik.”
Dia kembali menunduk ke laptopnya, membuat Asami semakin bingung. Ada jarak yang terasa begitu nyata, meski Mateo duduk tidak terlalu jauh darinya.
“Asami, saya rasa sebaiknya kamu selesaikan dulu tugasmu. Nanti kita koordinasi lagi besok,” kata Mateo, kali ini lebih pelan.
Asami menatapnya sebentar, ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu. Pada akhirnya, dia hanya mengangguk dan membereskan barang-barangnya. Dia tahu ada yang berubah, tapi Mateo tidak akan pernah secara langsung mengatakannya.
Mateo menatap punggung Asami yang menjauh, mendesah pelan. Melihat Asami dari jarak sedekat ini selalu mengingatkannya pada perasaannya—perasaan yang sekarang hanya bisa ia pendam. Mateo tidak ingin merusak kebahagiaan siapapun, apalagi menyakiti Asami. Jadi, ia memilih menjaga jarak.
Mungkin ini yang terbaik, pikirnya dalam hati, meski rasa itu tetap menghantui.
"Mateo!"
Suara nyaring Asami membuat Mateo menoleh ke arah pintu. Maniknya membulat begitu melihat sosok yang selama ini hanya bisa ia suka dalam diam sedang tersenyum hangat, senyuman yang hampir tidak pernah ia dapatkan selama berteman dengan Asami.
"Jangan pulang malam-malam ya? Jangan lupa makan juga. Kamu nggak boleh sakit, nanti nggak bisa ikut Sertijab."
Manik Mateo berubah jadi sendu, ia tersenyum simpul lalu mengangguk pelan. Membiarkan maniknya terus menatap Asami yang semakin hilang dari pandangannya.
Perkataan Argus kemarin pun terngiang-ngiang di kepalanya.
"Kalau gua jadi lu, gua bakal ngomong langsung ke Asami. Sebelum semuanya terlambat."
"Lu bener, Gus. Seandainya dulu gua lebih berani ungkapin perasaan ini..."
...******...
Semangat ya🙂
pasti dia ngerasain hal itu tapi tetep berusaha buat nahan rasa sakitnya tanpa harus di luapkan.
Tak bisa berbicara juga tak ingin merasa sakit/Scowl/
semangat Zayyan kamu pasti bisa membuat Asami jatuh hati sama kamu. . .
masih jauh...saling support yaa
Ini karya pertamaku di sini. Hope this book can make all of you enjoy reading!
Masih banyak kekurangan dalam buku ini, tapi aku selalu berusaha memperbaikinya hari demi hari.
Mohon dukungannya~!
smgt thor💪