NovelToon NovelToon
Heart Choice

Heart Choice

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kyushine / Widi Az Zahra

Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.

Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.

Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HC 07 - Pergi

Usai makan siang, Adeline yang tidak sengaja melihat ibunya Ray tengah berdiri diatas atap rumah sakit membuat dirinya menghampiri wanita setengah baya tersebut. “Apa yang tengah nyonya Flo lakukan disini? Apakah sudah bertemu dengan dokter Efran?” tanyanya.

“Kakak cantik?” Adeline tersenyum menanggapi hal tersebut, karena terbiasa mengikuti bahasa putranya, ibu Ray pun menjadi lebih sering memanggil Adeline dengan sebutan seperti itu.

“Apa nyonya sudah bertemu dengan dokter Efran?”

“Saya disini karena hal itu. Saya senang dokter Efran sudah mendapatkan pendonor, namun disisi lain kami kekurangan biaya. Saya hanya bisa membayar DP, untuk ke depannya, seperti biaya perawatan dan pelunasan, masih saya pikirkan.”

“Nyonya Flo tidak perlu khawatir. Saya akan mencoba bicara dengan petinggi rumah sakit untuk meringankan biaya Ray selama disini. Sebaiknya, nyonya tanda tangani saja dokumennya.”

Setelah bicara dengan ibunya Ray, Adeline pergi ke bagian keuangan untuk melihat rincian biaya Ray pra operasi hingga pasca operasi. Jumlah yang sangat besar, bahkan dirinya pun tidak memiliki uang sebanyak itu dan tabungannya juga tak sampai dengan nilai tersebut.

Meski Adeline memiliki warisan dari kedua orang tuanya, tetap saja dia tidak ingin menggunakannya secara sembrono, dia ingin berusaha dengan kerja kerasnya sendiri terlebih dahulu untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

“Apa yang sedang kau lihat?” Seorang pria menghampiri Adeline dengan wajah yang tampak terlihat bingung.

“Aku ingin menemui dokter Brian.”

“Ada perlu apa kau menemuinya? Jika hanya untuk meminta keringanan biaya operasi Ray itu akan percuma, karena aku sudah berusaha untuk memintanya, dan dokter Brian hanya memberi keringanan sebesar 5%.”

“5%? Itu bahkan tidak menutup untuk depositnya.”

“Itu karena Ray sudah banyak mendapatkan keringanan dari rumah sakit. Tapi aku akan usahakan lagi untuk bicara agar Ray bisa mendapatkan keringanan lebih lagi.”

“Begitu yaa. Terima kasih, Fran.”

Diwaktu yang bersamaan dan ditempat yang berbeda, Rafael telah menerima data DNA dari beberapa korban yang telah ditemukan, khususnya dari orang yang menggenggam cincin milik Rachel.

Jantung Rafael berdebar tak karuan kala membuka tali amplop yang berada dalam genggamannya dan Daren yang masih bersamanya pun tak kalah penasaran dengan isi dari amplop tersebut.

Betapa terkejutnya melihat hasil dari DNA membuat Rafael secara spontan melepaskan amplopnya, dia terduduk dan jantungnya terasa sangat sakit setelah membaca isi dari surat tersebut. Setelah itu, Daren pun langsung menyambar hasil DNA yang telah dijatuhkan oleh Rafael.

Hasil menyatakan bahwa jasad itu benar bernama Rachel Feyrin, asal negara Swiss. Daren menatap Rafael dan hasil itu secara bergantian, kemudian tak lama dari itu, Rafael pergi ke ruang mayat untuk melihat jasad Rachel dan disusul oleh Daren.

Melihat kantong jenazah, Rafael benar-benar meratapi kepergian kekasihnya yang sebentar lagi akan dinikahinya. Pria itu terisak seraya memegangi kantong jenazah yang berada dihadapannya, dan itu merupakan kali pertama Daren melihat temannya menangis hingga terisak seperti sekarang.

Tidak memiliki banyak waktu, Rafael memilih untuk melakukan pemakaman saat itu juga di Lisboa. Meski berada jauh dari kota kelahirannya, Rafael berjanji akan menjaga makam Rachel agar tetap bersih dan terawat.

**

**

“Kau yakin dengan semua ini, nak? Apa kau tidak betah berada dirumah kakek sampai memutuskan untuk tinggal seorang diri?”

“Bukan seperti itu, kek. Tapi rasanya tidak pantas untukku tinggal disini untuk waktu yang lama. Selain itu, apartment yang aku tinggali juga dekat dengan tempatku bekerja, jadi itu sedikit memudahkanku.”

“Apa Rafa sudah tahu kalau kau memutuskan pindah?” Adeline menggeleng saat menerima pernyataan dari James, karena menurutnya hal itu tidak perlu dilakukan, mengingat bahwa dirinya tidak mendapat balasan apapun saat mengirim pesan pada Rafael.

“Aku pamit kek. Aku janji akan sering mengunjungi kakek ketika aku libur.”

Dengan memesan taksi online, Adeline pergi meninggalkan rumah itu. Mungkin dengan begitu dia juga bisa menghilangkan perasaan yang sudah membuncah terhadap Rafael, seorang pria yang mungkin hanya menganggap dirinya tak lebih dari seorang adik.

Selama perjalanan, Adeline memandangi jalanan dan seketika matanya tertuju pada salah satu minimarket yang kemudian meminta supir taksi tersebut untuk berhenti sejenak. Dia segera menghampiri minimarket itu dan menyobek kertas iklan yang terpasang dikaca depan.

“Permisi, apakah posisi ini masih tersedia?” Ucap Adeline seraya menyerahkan iklan lowongan kerja.

“Masih nona, apakah nona berminat?”

“Aku sangat bisa. Sebelumnya aku pernah menjadi bagian kasir saat sedang kuliah.”

“Jika begitu, nona bisa datang kemari besok. Jadwal kerja mulai dari jam 7 malam hingga 2 malam, setelah itu aku yang akan bergantian jaga. Soal bayaran sesuai yang ada di iklan yang kami tempelkan. Apa nona yakin bisa?”

“Aku pastikan akan datang besok”

Selang 30 menit kemudian, Adeline pun tiba di apartment yang sudah ia sewa selama beberapa bulan ke depan. Dia mulai mengeluarkan barang-barang miliknya dari dalam tas dan menata semuanya.

Selesai rapi-rapi, suara bel apartmentnya berbunyi dan ia bingung siapa yang datang ke tempatnya. Dia bahkan merasa belum mengenal orang-orang yang tinggal di apartment tersebut. Penasaran dengan siapa orang diluar sana, ia mencoba melihat dari video doorbell, betapa terkejut mengetahui siapa yang berdiri didepan sana.

“Selamat datang di apartment barumu,” gumamnya yang langsung masuk meski sang tuan rumah belum mempersilahkannya untuk masuk. Adeline benar-benar masih bingung, kenapa dia bisa tahu jika dirinya berada di apartment tersebut.

“Apa kamu menguntitku selama ini, huh?” protesnya seraya menutup pintu dan menghampiri orang didalam sana yang mungkin sedang mengacak-acak dapurnya. “Beritahu dulu kenapa kamu bisa tahu aku disini,” Adeline merebut mangkuk yang berada dalam genggaman orang tersebut.

“Aku tinggal dua pintu setelah kamar ini, mana mungkin aku tidak tahu jika ada tetangga baru?” Balasnya kembali merebut mangkuk yang sebelumnya berada dalam genggamannya.

“Efran.” Adeline sedikit kesal, karena menurutnya jawaban Efran terdengar tidak masuk akal. Meskipun dia memang benar tinggal ditempat yang sama, tapi bagaimana dia tahu jika tetangga baru itu adalah dirinya?

**

**

Satu bulan telah berlalu, dan selama itu juga Adeline tidak bertemu atau mendengar kabar tentang Rafael, namun dirinya menerima kabar soal kematian Rachel yang telah diidentifikasi dan Rafael memakamkannya di Lisboa. Kabar tersebut ia terima dari James selaku kakek Rafael.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore dan ia pun dengan cepat keluar dari lobby rumah sakit seraya menunggu taksi online pesanannya datang. Sepasang mata memandangnya dari dalam dan langsung mengejarnya.

“Kau mau kemana? Sudah satu bulan ini aku perhatikan, kamu selalu pulang dalam keadaan terburu-buru.”

“Aku harus bekerja ditempat lain, Fran.” Tutur Adeline seraya melihat jarum jam yang melingkar dipergelangan tangannya, dan sesekali juga ia mengecek ponselnya.

“Bekerja? Kau melakukan pekerjaan apa, Del? Apa bayaran di rumah sakit ini kurang untukmu?”

“Aku akan berhenti bekerja setelah berhasil melunasi sekian persen biaya rumah sakit Ray.” Secara spontan Adeline langsung membungkam mulutnya sendiri dengan kedua tangannya.

“Apa maksudmu, Del? Jadi selama ini, Ray bisa operasi karena…”

“… taksiku sudah datang, aku pergi dulu ya,” sambar Adeline yang langsung bergegas menaiki taksi pesanannya.

Merasa berhasil melarikan diri, Adeline terus menyesali ucapannya dan mengakui kebodohannya, dia terus memukuli kepala dan bibirnya secara bergantian. "Kau benar-benar bodoh Adeline, untuk apa kau mengatakan itu? Kau ingin pamer atau apa hah?" Rutuknya yang masih merasa kesal dengan dirinya sendiri.

Sedangkan ditempat yang berbeda kakek James masih terus berusaha membujuk Rafael untuk bangkit dan menjalani hidupnya seperti semula, segala cara sudah dilakukan oleh kakek James, namun semuanya seakan sia-sia. Semenjak kepulangan Rafael dari Lisboa, pria itu terus mengurung diri didalam kamar seakan tak memiliki semangat hidup lagi sehingga hal tersebut membuat kakek James merasa buntu.

Disisi lain, kakek James sudah pernah mencoba menghubungi Adeline untuk meminta bantuan gadis itu agar membujuk Rafael, tetapi Adeline enggan melakukannya, menurutnya Rafael memang masih membutuhkan waktu untuk menerima semuanya dan kakek James juga tidak bisa memaksakan keputusan Adeline tersebut.

"Apa Rafa masih belum mau keluar juga kek?" Tanya Daren yang memang sengaja berkunjung seraya membawa laporan mingguan untuk di cek oleh kakek James. Selama Rafael berduka, kakek James memang sengaja meminta bantuan Daren dan Alvaro untuk mengelola perusahaan sementara waktu.

"Dia bahkan tidak menjawab kakek sedikit pun. Bahkan tak jarang juga dia masih menyisakan makanannya hingga tidak menyentuhnya sedikit pun."

"Dimana Adel, kek?" Kini Alvaro membuka suara dan penasaran dengan keberadaan gadis itu yang tidak pernah terdengar kabarnya lagi.

"Adel memutuskan pindah sejak nak Alvaro mengantarnya pulang saat itu, dan kakek juga tidak bisa menahannya karena itu kemauannya."

"Apa Adeline tahu kabar soal Rachel?" Menanggapi pertanyaan Alvaro, kakek James hanya mengangguk pelan.

Di waktu yang bersamaan, Adeline dengan ramah melayani beberapa pelanggan yang datang ke minimarket tempat bekerja. Pemilik minimarket mengakui kehebatan Adeline, karena menurutnya semenjak kehadiran Adeline di minimarket miliknya, omsetnya meningkat pesat dan banyak yang menyukai pelayanan Adeline sebagai kasir.

Ketika tidak ada pelanggan, Adeline akan mengecek rak makanan dan menyortir produk yang berada dalam rak berdasarkan tanggal kadaluarsanya, gadis itu benar-benar jeli dan detail dalam melakukan pekerjaannya sehingga beberapa kali dirinya selalu mendapatkan bonus dari pemilik minimarket.

Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam waktu Bern. Di jam-jam seperti itu biasanya pelanggan sudah mulai sepi, meski minimarket buka 24 jam, terkadang jam tengah malam pun banyak pelanggan yang mampir karena memang letak minimarket didekat jalan besar. Ketika sedang bersandar dan menyantap mie instan yang sengaja diseduhnya, tanpa sadar ada yang memperhatikannya dari jarak aman minimarket.

"Mie instan memang teman yang cocok ketika sedang dingin seperti sekarang ini," pungkasnya setelah menyeruput mie yang baru saja matang tersebut.

Tanpa terasa air matanya tiba-tiba saja menetes dan dengan cepat Adeline menyekanya. "Hei Adeline, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau tiba-tiba menangis?" Ucapnya pada diri sendiri, namun entah kenapa rasanya semakin sesak.

Masih memandangi Adeline dari kejauhan dan melihat sesuatu yang aneh pada Adeline, orang itu merasa gelisah. Langkah kakinya ingin sekali membawa dirinya untuk menghampirinya dan bertanya pada gadis itu, namun otaknya menahan langkahnya.

Ketika rasa sesak itu masih menyelimuti dadanya, Adeline memilih untuk ke toilet dan menumpahkan semua yang ia rasakan disana. Dia berpikir mungkin jika menangis ditoilet tidak akan ada yang mendengar, lagi pula kondisi minimarket sedang sepi. Didalam toilet itu pun akhirnya Adeline menangis sejadi-jadinya dan berharap setelah itu hatinya akan merasa lega.

1
Nursanti Ani
bang Rafa lg lope lope/Facepalm//Facepalm/
Nursanti Ani
oooohhhh babang Efran,,/Grin//Grin/
Nursanti Ani
ini lg mas erfan,,udah ga sabaran bgt pengen BW kabur bini orang/Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Nursanti Ani
Rafa udah ad rasa sedikit buat Adel,,,tp takut nanti lg bahagia2 nya Rachel muncul/Shy/
Nursanti Ani
ngarep cinta bgt sih,,,bukan keren malah jijik liatnya,,,,maksa bgt cintanya,,/Hey/
Nursanti Ani
gw rasa sih Rachel masih hidup,,akhirnya Adel nyerah dan pergi,,,kalo sudah tiada baru terasa,,/Sob//Sob//Sob/
Nursanti Ani
cewek bucin begini kl belom d siksa bathin dan d selingkuhin belom sadar diri/Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Osi Malang: cerita apa itu
Kyushine: betul, harus digebrak dulu kayaknya biar sadar
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!