Di tahun terakhir mereka sebagai siswa kelas 3 SMA, Karin dan Arga dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka sering bertengkar, tidak pernah sepakat dalam apapun. Namun, semua berubah di sebuah pesta ulang tahun teman mereka.
Dalam suasana pesta yang hingar-bingar, keduanya terjebak dalam momen yang tidak terduga. Alkohol yang mengalir bebas membuat mereka kehilangan kendali, hingga tanpa sengaja bertemu di toilet dan melakukan sebuah kesalahan besar—sebuah malam yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi.
Setelah malam itu, mereka mencoba melupakan dan menganggapnya sebagai kejadian sekali yang tidak berarti. Namun, hidup tidak semudah itu. Beberapa minggu kemudian, Karin mendapati dirinya hamil. Dalam sekejap, dunia mereka runtuh.
Tak hanya harus menghadapi kenyataan besar ini, mereka juga harus memikirkan bagaimana menghadapinya di tengah sekolah, teman-teman, keluarga, dan masa depan yang seakan hancur.
Apakah mereka akan saling menyalahkan? Atau bisakah kesalahan ini menjadi awal dari sesuatu yang tidak terduga? Novel ini mengisahkan tentang penyesalan, tanggung jawab, dan bagaimana satu malam dapat mengubah seluruh hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardianna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekolah Setelah Liburan
Karin duduk terdiam di tepi ranjang, perasaan bersalah dan ketakutan menyelimuti pikirannya. Di dalam kepalanya, segala kemungkinan terburuk mulai bermain. Pikirannya semakin gelap, semakin menakutkan.
Karin: berbisik pelan, hampir tak terdengar "Apa kalau gue nggak ada, semuanya jadi lebih mudah?"
Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa terperangkap, tak tahu harus bagaimana. Dunia yang selama ini terasa normal mendadak terasa sangat asing dan menakutkan. Hati kecilnya berteriak, ingin melarikan diri dari semua ini.
Karin: melihat ke arah jendela, berpikir dengan air mata yang terus turun "Mungkin... kalau gue mati, semua orang nggak akan menghakimi gue. Nggak akan ada rasa malu... nggak ada yang disakiti."
Namun, di dalam kegelapan pikirannya, ada suara kecil yang berusaha menahannya.
Karin: mencoba menenangkan diri "Tapi... apa ini solusinya? Apa gue siap ninggalin semua orang yang sayang sama gue.”
Tangisannya semakin deras. Karin tahu bahwa yang ia pikirkan adalah hal yang sangat serius, namun rasa takut dan tekanan begitu besar hingga ia merasa tak sanggup lagi menghadapi semuanya. Di tengah rasa putus asa, ia merasa benar-benar sendirian.
Tiba-tiba, handphone di sampingnya bergetar. Itu pesan dari Arga. Karin ragu untuk membukanya, tapi perlahan ia menggeser layar ponselnya.
Arga: di pesan "Karin, gue tau lo pasti takut sekarang. Gue juga. Tapi kita harus hadapin ini bareng-bareng, oke? Jangan lakuin sesuatu yang bodoh. Gue di sini buat lo, selalu."
Pesan itu menyentuh hatinya, membuat Karin terdiam. Walaupun dia marah dan kecewa, pesan itu seolah menjadi pengingat bahwa dia tidak sendirian, meskipun Arga juga terlibat dalam masalah ini.
Karin: menghapus air matanya "gue nggak boleh nyerah... gue harus cari solusi. Setidaknya buat sekarang, gue nggak sendiri."
Karin menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Keputusasaan masih ada, tapi kini ada sedikit harapan. Meskipun semuanya terasa sulit, ia tahu bahwa mengakhiri hidup bukanlah jawaban.
Hari berganti pagi, sinar matahari masuk melalui celah jendela kamar, membangunkan Karin dari tidurnya. Dengan tubuh yang terasa lelah, dia berusaha memaksa dirinya bangun. Pikiran tentang kejadian semalam masih menghantui, tapi dia tahu hidup terus berjalan.
Karin berdiri di depan cermin, melihat bayangannya sendiri. Pikirannya masih kacau, tapi dia berusaha untuk tetap terlihat kuat. Dia tahu, tak ada yang boleh tahu apa yang sedang dia alami, setidaknya untuk saat ini.
Karin: berbisik pada dirinya sendiri di depan cermin "Gue bisa lewatin ini. Gue harus bisa. Dan gue yakin ngga akan terjadi apa-apa."
Setelah bersiap-siap, karin akhirnya menuju kesekolahnya, tapi kali ini dia diantar supirnya, karena wajah karin terlihat nggak sehat.
Intan: melihat Karin yang baru datang "Karin! Lama banget sih lo! Ayo, kita kekelas!"
Karin: tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya "Iya, iya..."
Bela: menggoda "Duh, muka lo masih kelihatan ngantuk aja, Rin. Semalem tidur nyenyak nggak?"
Karin: tertawa kaku "Iya, tadi malem capek banget sih."
Sementara itu, Arga masih duduk diam, memandangi Karin dari kejauhan. Hatinya bercampur aduk antara rasa bersalah dan bingung.
Dia ingin berbicara dengan Karin, tapi situasinya tidak memungkinkan. Ia tahu, hari ini mereka harus menjalani aktivitas sekolah seperti biasa, meskipun ada beban besar yang menggantung di antara mereka.
Fano, yang osis sibuk mengatur pagi itu, tiba-tiba menghampiri Arga.
Fano: "Ga, lo kenapa diem aja?.”
Arga: tersadar dari lamunannya "Oh, iya...ngga apa-apa ko no.”
Hari itu, kegiatan sekolah berjalan seperti biasa. Namun, di balik senyum dan tawa yang terlihat di wajah mereka, baik Karin maupun Arga tahu bahwa ada sesuatu yang besar menanti mereka—sesuatu yang harus mereka hadapi, entah suka atau tidak.
Kring….
Kring…
Kring…
Jam istirahat pun tiba, dan suasana di sekolah terasa lebih santai. Siswa-siswi mulai beranjak dari kelas mereka, menuju kantin untuk makan. Karin, yang duduk di meja bersama teman-temannya, tiba-tiba dihadapkan pada situasi yang tidak terduga.
Galang dan Arga menghampiri meja Karin secara bersamaan, masing-masing dengan niatnya sendiri.
Galang: tersenyum lebar "Eh, Rin! Ayo, makan bareng di kantin."
Karin: terkejut "Oh, iya, Galang. Gue...."
Arga: datang dari arah lain, dengan ekspresi serius "Karin bareng gue ke kantin."
Galang: menatap Arga dengan tajam "Eh, lo ngapain di sini? Gue yang ngajak Karin duluan."
Arga: menanggapi dengan nada menantang "lo tanya aja dia mau kekantin bareng siapa?"
Karin: coba menenangkan "lang, sorry ya next time aja. Gue mau ke kantin sama arga ya hari ini.”
Galang: memandang Karin "tapikan gue udah ajak lo duluan, Rin."
Arga: menyela "diem lo”
Galang: dengan nada tegas "gue ngga ngomong sama lo!”
Karin: merasa canggung "udah ya lang, gue ke kantin dulu, yu ga."
Sementara itu, beberapa teman di sekitar mereka mulai memperhatikan situasi ini, dengan beberapa dari mereka menahan tawa.
Revi: melihat situasi "Gila, ini drama banget ya. Galang sama Arga pada saling rebutan Karin."
Bela: tertawa kecil "Iya, mereka kayak anak kecil aja. Padahal Karin cuma pengen ke kantin doang."
Intan: menambahkan dengan senyum "Jadi gimana, kita mau disini aja ngga ke kantin?”
Sarah: menggelengkan kepala “ya engga dong, ke kantin kita, gue udah laper”
Revi: berbisik ke teman-temannya "Lo liat ekspresi Arga tadi? Kayaknya dia beneran suka sama karin deh, liat galang ngajak karin ke kantin aja mukanya udah begitu.”
Bela: berusaha menahan tawa "Iya, keliatan. Galang. Kesian deh."
Intan: mencoba menenangkan "Udah deh, mending kita cabut ke kantin aja”
Revi: mengangguk "Yup. Mari kita makan.“
Mereka semua mulai menuju kantin dan memesan makan dengan santai.
Revi, Bela, Intan, dan Sarah sedang duduk di meja makan saat Revi mulai berbicara dengan nada serius.
Revi: menatap makanannya dengan sedih "Gue pengen ngomong sesuatu. Gue rasa gue harus putus sama Rico."
Bela: terkejut "Kenapa, Rev? Kalian kan baik-baik aja kemaren,”
Intan : “apa rico selingkuh ya, emang ya semua cowo ngga bisa dipercaya padahal tiap hari bareng”
sarah : “jangan gitu dong, gue jadi ovt lo ngomong gitu”
Bela : “hayolo barang kali disekolahnya dia lagi makan bareng lagi dikantin bareng selingkuhnya sar”
Sarah : “diem ngga lo jomblo!”
Bela : “ih biarin, eh kenapa rev, jadi lupa kan revi belum lanjutin ceritanya, gara-gara lo si sar”
Sarah : “dih apa si lo duluan”
intan : “bisa diem ngga, kita dengerin revi dulu.” Intan berbicara dengan tegas
Revi: “ jadi gini, tepi lo semua jangan bilang siapa-siapa? Gue mau putus karna….”
Bersambung…..