Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Medina menunggu Nona yang tengah memarkirkan motornya. Tak lama, Nona datang menghampirinya.
“Cieeee. Penganten balu. Mukanya beda gitu ya auranya.”
Medina menyikut lengan Nona dengan gemas. “Na, suara elu itu apa gak bisa dipelanin sedikit volumenya?”
Nona cengengesan sambil menutup mulutnya.
“Lu udah tinggal di rumah Suami lu?”
Medina menggeleng. “Belum, Na. Insya Allah nanti malam kayaknya. Mau beres-beres barang-barang gue dulu.”
“Tapi tadi pagi elu udah di rumah Suami elu, Me?”
“Tadi pagi Mertua sama Ipar gue pulang. Makanya gue di sana.”
Nona manggut-manggut. “Oohh gitu. Gimana? Udah jebol belum?”
Medina menoleh dan melotot pada Nona. Apa ‘sih arti dari ucapan Nona? Jebol? Apa yang jebol?
“Lu ngomong apa ‘sih? Jebol apaaan, ege?”
Medina berjalan duluan, meninggalkan Nona yang sontak berpikir di belakangnya.
‘Omaygot! Apa jangan-jangan Medi memang gak ngerti begituan? Tapi kalau Pak Halim? Ah, masa iya dia gak ngerti? Apa mungkin Pak Halim yang gak mau? Kok gua jadi pusing?’
Nona menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup hijab itu.
Medina berbalik. Dia menatap aneh Nona yang tiba-tiba bengong di tempat.
“Na! Lu ngapain? Ayook!”
Nona terkesiap. “Eh! Iya!” Nona berlari kecil menghampiri Medina.
Sesampainya di kelas. Lagi-lagi Nona berpikir.
‘Hem, kalau Medi gak tahu. Gue akan kasih tahu. Gue kasihan sama dia. Masa iya, udah 17 tahun gak tahu yang begituan? Hem, Medi, Medi. Sholehah banget elu jadi anak. Gue ‘kok jadi iri, ya? Apa gue tobat sekarang aja?’
Nona menoleh pada Medina yang lagi ambil buku dari dalam tas. Nona tersenyum hangat. Merasa beruntung punya sahabat kayak Medina.
Medina hendak menoleh pada Nona. Tapi si Nona malah senyum-senyum tidak menentu. Membuat Medina hilang feeling.
Plak! Medina keplak lengan Nona.
“Kampret! Apa-apaan lu, Me? Sakit tahu!” Nona meringis mengusap lengannya. Pukulan Medina itu mantap loh rasanya.
“Lu mulai sedeng, ya? Ngapain elu lihatin gue sambil senyum-senyum?”
Nona terkekeh. “Ya amplop, Me! Gue senyum karena udah gak nyangka aja, elu udah nikah sekarang.” Nona memeluk Medina erat, lalu melepaskannya.
Medina geleng-geleng kepala. Setelah itu dia terkekeh.
“Na, kayaknya hari ini gak belajar, ya?”
Nona mengedikkan bahu. “Mungkin kebersihan kali, Me. Kamis Jumat kemaren ‘kan tanggal merah.”
“Selamat pagi.”
Suara berat seorang pria sukses menginterupsi mereka, para Murid-murid yang ributnya tak ampun.
Karena Guru terlambat masuk kelas. Macam-macam hal sudah mereka lakukan. Ada yang sibuk mengghibah, ada yang tidur, ada yang main jalangkung, dan yang lain-lain.
Murid-murid itu langsung terdiam, saat Guru olahraga mereka itu masuk ke kelas.
Nona meleyot. Dia bertopang dagu, menatap Abbas yang tengah berjalan itu.
“Omaygot! Pak Abbas ganteng banget. Nomor 2 setelah Suami elu, Me!”
Medina menyipitkan mata melihat tingkah si Nona.
“Na, sadar! Lu gak boleh mandangin laki-laki yang bukan mahram, secara berlebihan gitu!”
Nona mencebik. “Uuuhh, Medi! Sesekali cuci mata ‘kan gapapa.”
“Kalau mau cuci mata, pake kaporit aja sekalian, Na!”
Muncung Nona semakin maju. “Uuuhh.”
Abbas menuju meja Guru. Dia curi-curi pandang, pada Medina yang cemberut sama Nona di sebelahnya.
Dia menunduk sekilas, lalu kembali mencuri lirik pada Medina.
Medina itu kulitnya putih, bersih, bercahaya. Entah kenapa, menatap gadis itu, rasanya adem dan nyaman banget.
‘Kayaknya aku suka sama Medina. Tapi Bang Halim? Eh! Bang Halim ‘kan masih sebatas suka aja. Belum memiliki.’
“Hari ini kita belajar di lapangan, ya? Kalian boleh ganti baju olahraga sekarang.”
“Ya elah, Pak! Tapi kelas lain pada gak belajar, loh!” celetuk Derry. Disambut sorakan heboh dari teman-temannya.
“Mereka tidak belajar, ya terserah mereka. Ayo, semua! Segera ganti baju. Saya tunggu di lapangan.”
Abbas meninggalkan kelas. Semua Murid perempuan bersiap ke toilet. Kalau Murid laki-laki gampang. Di kelas mereka bisa ganti baju berjamaah.
Setelah itu para Murid berkumpul di lapangan. Hari ini mereka akan belajar cara servis dan passing bola voli.
Abbas memberikan contoh. Setelahnya satu persatu Murid disuruh mencoba.
Sebagian Murid berhasil. Di dominasi oleh Murid laki-laki. Kalau Murid perempuan jangan ditanya. Mereka tahunya Cuma ‘Tp-tp’ alias tebar pesona. Termasuklah si Nona.
“Medina, sekarang giliran kamu.”
“Iya, Pak.”
Medina mendekat pada Abbas. Tidak terlalu dekatlah. Abbas jantungnya langsung berdebar.
“Ini bolanya, kamu coba seperti yang saya contohkan tadi, ya?”
Medina mengangguk. Pertama kali dicoba, gagal. Kedua kali juga sama. Ketiga kali, apalagi.
Medina sudah beristighfar terus di dalam hati. Mana tangannya Sudah pedas lagi kena bola voli.
Abbas mulai perhatian. Dia dengan perlahan dan bicara lembut, mencoba mengajari Medina lagi.
Nona mulai menangkap gelagat aneh. Dia dan beberapa temannya duduk di bawah pohon rindang dekat lapangan.
Sedang yang di lapangan, Cuma Medina dan Abbas.
‘Mudah-mudahan pikiran gue salah. Apa Pak Abbas juga naruh hati sama Medi?’
......**......
Suara motor Halim terdengar, saat memasuki gerbang sekolah.
Murid-murid perempuan yang sedang bersih-bersih di dekat gerbang, langsung pada heboh.
Tak terkecuali Rania, yang sedang mengawasi Murid-murid itu.
Rania mengerjapkan mata ketika Halim melepas helm, dan merapikan rambutnya, saat di parkiran motor para Guru.
Rania jadi senyum-senyum sendiri. Sudah hampir seminggu Halim tidak masuk sekolah. Rasa-rasanya Rania jadi rindu.
Halim turun dari motornya. Dia mengecek penampilannya. Kemeja panjang warna navy, cek. Celana bahan warna hitam, cek. Jam tangan, cek.
Halim selalu menomorsatukan kerapian pakaian. Makanya dia selalu memasukkan kemejanya. Celananya juga selalu terlilit oleh tali pinggang. Pokoknya harus rapi.
Karena dia masih punya alasan cuti, dia tidak pakai sepatu pantofel seperti biasa. Kali ini dia pakai sepatu Chunky sneakers warna putih.
Mikirkan sepatu, Halim berniat mau belikan sepatu model yang sama untuk Istrinya.
Uuuhh, pasti lucu kali ya, ‘kan? Pas pergi-pergi pakai sepatu kompakan. Uwau.
Halim datang ke sekolah, Cuma punya satu tujuan. Yaitu, menebarkan pesonanya pada Istrinya. Lagi pula, dia rindu sama Istrinya.
Kayak ada hampa-hampanya gitu, gak menatap barang sedetik saja wajah Istrinya.
Nanti dia pakai alasan mau ke perpustakaan, untuk mengambil buku paket yang akan dia pelajari di rumah. Padahal, niatnya dia Cuma mau lihatin Istrinya.
Halim melangkah dengan mantap menuju perpustakaan. Dia juga sempat di hadang oleh para Murid-murid perempuan yang mengaku rindu sama dia.
Halim tersenyum tipis. Lesung pipinya muncul seketika, yang langsung membuat Murid-murid itu berteriak histeris.
Halim hanya tersenyum ramah sebagai Guru pada Muridnya. Dia juga enggan kali menanggapi mereka.
Tanpa sengaja, mata Halim menatap ke arah lapangan. Di sana ada Istrinya dan Abbas.
Medina berdiri berjarak dari Abbas. Istrinya itu sedang berusaha melakukan servis bola voli dengan benar.
Halim memperhatikan Murid-murid lain pada duduk. Sedangkan Istrinya berdiri samping-sampingan sama Abbas.
Ya walaupun di lapangan, tapi ‘kan?
Yang paling buat dada Halim sesak naik turun, saat Abbas lihatin Istrinya itu dengan agak lain.
‘Cih! Apa maumu, Bas?’
“Saya permisi dulu,” ucap Halim meninggalkan Murid-murid yang langsung berteriak kecewa.
Mata Nona membulat saat melihat Halim berjalan tegap menghampiri Medina.
‘Ya Allah, Pak Halim di sini. Semoga Pak Halim gak salah paham.’
“Medina belum bisa, ya?” Abbas bertanya dengan lembutnya.
Medina menyeka keringat di keningnya. Dia menggeleng lemah.
“Medina, saya ajarkan sekali lagi, ya?”
Medina hanya mengangguk. Dia juga heran, kenapa dia terus ‘sih yang disuruh belajar?
“Ekhem! Boleh saya ikut bergabung, Pak Abbas?”
......***......
Kira-kira apakah Halim akan menampol Abbas?
Selamat membaca ya pembaca akoh 🥰💐
Jangan lupa like dan komennya, ya?
Akoh pada kalian, sarang heo love muah muah 💐❤️🤟🏻