Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesal
Sepulang dari makan siang bersama Dina, pikiran Veltika tidak bisa tenang. Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, bayangan Denis bersama wanita muda tadi terus menghantui benaknya. Wajah Denis yang terlihat begitu santai dan perhatian dengan wanita itu terasa menusuk hatinya.
"Kenapa aku harus merasa seperti ini?" gumamnya dalam hati, menatap kosong ke luar jendela mobil.
Setibanya di kantor, Veltika mencoba mengalihkan fokusnya ke pekerjaan. Ia membuka laptop dan menatap layar yang dipenuhi dengan desain proyek terbaru. Tapi, tangannya yang biasanya lincah mengoperasikan mouse dan keyboard kini terasa kaku. Pikirannya tidak bisa berhenti memutar ulang kejadian di restoran tadi.
"Aku merasa dibodohi," bisik Veltika pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Kenapa aku bisa terjebak dalam situasi ini?"
Ia mengingat malam itu, saat Denis masuk ke dalam hidupnya lagi dengan cara yang begitu tak terduga. Malam di mana mereka berbagi momen yang seharusnya hanya menjadi kenangan satu malam. Tapi sekarang, semuanya terasa rumit. Sikap Denis yang manis, perhatian, dan menggoda seolah hanyalah permainan untuk dirinya.
"Apakah semua itu hanya lelucon baginya?" pikir Veltika dengan perasaan campur aduk antara marah dan kecewa.
Jam di dinding terus berdetak, namun Veltika masih saja duduk diam, melamun di meja kerjanya. Rekan-rekannya yang lewat bahkan mulai memperhatikan perubahan sikapnya yang tidak biasa.
"Vel, kamu oke?" tanya Dina saat melewati ruangannya.
Veltika tersentak dari lamunannya. "Hah? Oh, iya, aku baik-baik saja," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan.
Dina mengerutkan kening. "Kamu kelihatan melamun. Ada yang mau kamu ceritakan?"
Veltika hanya menggeleng. "Enggak, aku cuma… agak lelah saja."
Dina menatapnya ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Kalau ada apa-apa, kamu tahu aku selalu ada buat kamu, kan?"
"Iya, terima kasih, Din." Veltika mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat.
Sepeninggal Dina, Veltika kembali tenggelam dalam pikirannya. Dia merasa marah, tapi bukan hanya kepada Denis—melainkan juga kepada dirinya sendiri. Kenapa ia membiarkan dirinya terjebak dalam situasi yang penuh kebingungan ini?
Denis bukan pria yang bisa dengan mudah ditebak. Satu saat ia begitu hangat dan penuh perhatian, lalu di saat lain ia tampil bersama wanita lain seolah hubungan mereka tidak pernah berarti apa-apa.
"Aku tidak boleh seperti ini," Veltika akhirnya berbisik pada dirinya sendiri. "Aku harus fokus pada hidupku, bukan pada Denis." Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu kata-kata itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
***
Veltika melangkah masuk ke rumah dengan langkah berat. Matanya menangkap Denis yang berdiri di dekat pintu, menyambutnya dengan senyum yang biasanya mampu meluluhkan hati. Tapi kali ini, senyum itu tidak berpengaruh apa-apa.
“Selamat datang, Kak Vel,” ucap Denis lembut, dengan nada suara yang biasa membuat suasana terasa hangat.
Namun, Veltika hanya menatapnya sekilas dengan wajah datar, tanpa memberikan respons apa pun. Ia tahu Denis sedang berusaha mencairkan suasana, tetapi hatinya terlalu penuh dengan kekecewaan dan kebingungan untuk sekadar membalas sapaan itu.
Denis melirik ke arah meja makan. "Aku siapkan makan malam untuk kita," ujarnya, mencoba mencari celah.
Veltika mengarahkan pandangannya ke meja makan yang telah tertata rapi. Aroma makanan yang menggoda memenuhi ruangan. Denis bahkan menyalakan lilin kecil di tengah meja, berusaha menciptakan suasana yang hangat dan intim. Tapi, semua itu tidak membuat Veltika tergugah.
Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melewati Denis begitu saja dan menaiki tangga menuju kamarnya. Langkahnya tenang, tapi setiap langkahnya terasa seperti jarak yang semakin jauh antara dirinya dan Denis.
“Vel…” Denis memanggilnya lagi, kali ini dengan suara yang sedikit bergetar. Namun, Veltika tidak berhenti. Ia terus berjalan, seolah tidak mendengar panggilan itu.
Sesampainya di kamar, Veltika menutup pintu perlahan, lalu bersandar di baliknya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang terasa kacau. Bayangan Denis bersama wanita muda di restoran tadi kembali memenuhi pikirannya. Perasaan cemburu dan marah bercampur menjadi satu, membuat dadanya sesak.
"Kenapa harus seperti ini?" pikirnya sambil memejamkan mata. Ia ingin menjauh dari segala kebingungan yang melilit pikirannya, tetapi kehadiran Denis di rumah ini membuat semuanya terasa mustahil.
Sementara itu, di lantai bawah, Denis masih berdiri di dekat meja makan. Tatapannya kosong, melihat makanan yang telah ia siapkan dengan penuh harapan. Senyum yang tadi ia bawa perlahan menghilang, berganti dengan raut wajah yang penuh dengan kekecewaan.
“Apa yang salah?” bisik Denis pada dirinya sendiri, menyadari bahwa Veltika semakin menjauh darinya.
***
Pagi itu, setelah malam yang terasa begitu berat, Veltika terbangun dengan kepala masih dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang mengganggu. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menghela napas panjang sebelum mengambil ponsel di meja samping. Jarinya dengan cepat menekan nomor Bu Sri, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di keluarganya.
"Bu Sri," suara Veltika terdengar tegas namun lembut, "tolong antarkan Americano ice dan croissant ke kamar saya."
"Baik, Nona. Saya segera siapkan," jawab Bu Sri dari seberang telepon.
Veltika terdiam sejenak, mengingat kejadian semalam yang masih terngiang di benaknya. Denis. Pria itu selalu saja membuat hatinya tidak tenang. Ia tahu bahwa Denis mungkin akan mencoba mendekatinya lagi dengan dalih apa pun. Kali ini, ia tidak ingin bertemu atau berurusan dengannya, bahkan untuk hal sekecil mengantar kopi sekalipun.
"Dan, Bu Sri," tambah Veltika cepat, "harus Bu Sri yang antar. Jangan Denis."
"Baik, Nona," jawab Bu Sri dengan nada sedikit bingung, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah menutup telepon, Veltika menyandarkan tubuhnya ke kursi di dekat jendela kamar. Ia menatap keluar, melihat langit pagi yang cerah, kontras dengan suasana hatinya yang masih mendung. Secangkir Americano dingin dan croissant mungkin bisa sedikit mengalihkan pikirannya, meski ia tahu bahwa rasa pahit kopi tak akan bisa sepahit perasaan yang kini menguasainya.
Di luar kamar, Denis yang tengah berjalan di lorong rumah mendengar percakapan singkat itu. Wajahnya seketika berubah, mencerminkan kekecewaan yang ia coba sembunyikan. Ia tahu Veltika sengaja menjaga jarak, dan itu membuatnya merasa semakin sulit untuk mendekati wanita yang selama ini menjadi pusat perhatiannya.
Akhir pekan itu, Veltika memutuskan untuk mengasingkan diri di dalam kamarnya. Ia ingin menghabiskan waktu sendirian, jauh dari hiruk-pikuk rumah, terutama dari keberadaan Denis yang akhir-akhir ini terus mengusik pikirannya.
Pagi yang biasanya dia mulai dengan rutinitas keluar rumah kini berbeda. Veltika menutup tirai jendela rapat-rapat, membiarkan kamarnya dalam suasana redup. Laptopnya tergeletak di meja, tapi ia enggan menyentuhnya. Buku-buku desain interior yang biasa ia baca pun masih tertumpuk rapi tanpa disentuh.
"Weekend ini, aku hanya ingin di sini... sendirian," gumamnya sambil merebahkan diri di tempat tidur yang masih hangat. Tak ada niat untuk keluar, tak ada keinginan untuk bertemu siapa pun.
Ia sudah meminta Bu Sri untuk tidak mengizinkan siapa pun mengganggu, termasuk Denis. Veltika bahkan mematikan ponselnya, memastikan tidak ada pesan atau panggilan yang akan merusak ketenangannya.
Di luar, Denis beberapa kali mencoba mengetuk pintu kamar Veltika. "Kak Vel, kau baik-baik saja?" Suaranya terdengar lembut, namun tidak ada jawaban dari balik pintu.
Denis menghela napas panjang. Ia tahu Veltika sedang menghindarinya. Rasa bersalah dan rindu bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Tapi kali ini, ia memilih untuk tidak memaksa.
Sementara itu, di dalam kamar, Veltika menatap langit-langit dengan pikiran yang berkecamuk. Ada banyak hal yang ingin ia lupakan, termasuk kenangan dengan Denis yang semakin sulit diabaikan. "Aku butuh waktu... hanya waktu," bisiknya pelan, berharap ketenangan yang ia cari akhirnya datang.