Bagaimana jika orang yang kamu cintai meninggalkan dirimu untuk selamanya?
Lalu dicintai oleh seseorang yang juga mengharapkan dirinya selama bertahun-tahun.
Akhirnya dia bersedia dinikahi oleh pria bernama Fairuz yang dengan menemani dan menerima dirinya yang tak bisa melupakan almarhum suaminya.
Tapi, seseorang yang baru saja hadir dalam keluarga almarhum suaminya itu malah merusak segalanya.
Hanya karena Adrian begitu mirip dengan almarhum suaminya itu dia jadi bimbang.
Dan yang paling tak di duga, pria itu berusaha untuk membatalkan pernikahan Hana dengan segala macam cara.
"Maaf, pernikahan ini di batalkan saja."
Jangan lupa baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Matahari sudah mulai meninggi, Hana mengurungkan niatnya terlebih dahulu untuk mendatangi rumah sakit. Ia lebih fokus kepada tujuan sebelumnya yaitu membeli mobil, mengingat waktu wisuda sang adik sudah sangat dekat.
Wanita bertubuh kecil semampai itu tersenyum senang ketika melihat sebuah mobil berwarna putih tapi tampak gagah, sesuai dengan warna kesukaannya.
Kembali lagi ia bernostalgia, mengingat dulu, tiga tahun lalu ia pernah mengutarakan keinginan untuk membeli mobil bersama Rayan.
"Tunggu setelah Abang kembali." itulah jawaban Rayan ketika itu.
Hana masih mengingatnya dengan jelas, betapa sang suami juga menginginkannya. Hanya saja, Rayan tidak ingin jika Hana yang membelinya. Harap-harap setelah satu tahun bertugas dapat membelinya untuk Hana. Dia ingin menjadi suami yang bertanggung jawab untuk istri tercinta.
"Bagaimana Mbak?" tanya pria yang sejak tadi menemani Hana memilih mobil.
"Yang ni." jawab Hana singkat, terlepas dari lamunan yang membuatnya terhanyut, dia ingat bahwa tak harus berlama-lama di sana. Dan seketika rasa gatal di keningnya membuat ia memikirkan saran Rosa, mungkin ada benarnya jika ia harus memeriksakan lukanya kembali. Dia juga tidak ingin lukanya membekas.
Hana membuka pintu mobil tersebut, ia memastikan semuanya aman lalu mulai mengemudi menuju rumah sakit.
Meskipun akalnya menolak, namun hatinya tak bisa di bohongi. Ingin melihat sosok yang begitu mirip dengan Rayan, Hana tersenyum samar sambil menikmati pemandangan yang padat.
"Hana merindukan Abang Rayan." dia bergumam, menyandar sejenak memandangi rumah sakit di depannya.
Ada kesedihan bercampur dengan rasa bersalah seketika menusuk. Ia kembali ragu untuk masuk ke dalam sana, namun akhirnya ia keluar perlahan, meyakinkan hati jikalau tujuannya hanyalah untuk memeriksakan luka. Entah itu luka di keningnya, atau luka batin yang tak kunjung sembuh setelah kehilangan belahan jiwa.
Hana menyerahkan selembar kertas yang di beberapa hari lalu di berikan oleh dokter perempuan yang terakhir memeriksanya.
"Langsung menuju ruangan dokter Umum." ucap Suster, menyerahkan kembali selembar kertas untuk Hana.
"Terimakasih."
Hana menuju ruangan yang sempat di arahkan oleh suster, sekilas ia membaca ruangan-ruangan yang di lewatinya. Hingga berdiri di depan pintu yang setengah terbuka.
"Hana Said."
Hana langsung memasuki ruangan tersebut setelah namanya di sebut.
Hati yang tadi dag-dig-dug sedikit lega setelah mendengar yang memanggilnya adalah seorang perempuan.
Tampaklah dokter Bela menyambutnya dengan senyum. "Apa kabar Hana?" ucap dokter tersebut.
"Alhamdulillah Dokter, saya baik. Hanya nak periksekan luka yang terkadang terase tak nyaman." jawab Hana, ia pun duduk berhadapan dengan sang dokter.
"Oh, baiklah." Dokter Bela mulai melakukan pemeriksaan. Tak hanya itu, ia juga membersihkan luka Hana, lalu kembali membalutnya.
"Adakah obat untuk menghilangkan bekas luka, Dok?" tanya Hana.
"Ada, tapi sepertinya di apotik sedang habis. Atau begini, Hana beli saja di apotik dekat hotel Mitra Utama. Di sana semua obat-obatan tersedia."
Hana pun mengangguk.
Ternyata, dia tidak bertemu dengan dokter yang mirip suaminya itu. Dia tersenyum tipis sambil berjalan, merasa aneh dan juga konyol sudah berharap dapat melihat wajah sang suami lagi.
Hana berjalan lebih cepat, tidak mau berlama-lama dan berharap yang macam-macam. Ia ingin segera pulang dan istirahat, kepalanya sudah merasa lebih enteng setelah lukanya di bersihkan oleh dokter Bela.
Tiba di halaman rumah sakit. Hana membuka tasnya mencari kunci mobil yang baru saja di belinya itu, namun tidak di temukan.
"Macam mane ni?" Hana bergumam, lalu kembali mengecek tas miliknya.
Hari sudah sangat siang, namun Hana tak juga menemukan kunci mobilnya, sudah bertanya kepada tukang parkir, dan juga dokter Bela pun tetap tidak ada. Ia mengeluh sambil memandangi mobilnya dari samping, sesekali ia memijat kepalanya.
"Kamu kehilangan sesuatu?" tanya seseorang yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.
Hana pun menoleh, dan cukup terkejut. "Dokter." gumamnya gugup.
Seorang pria muda itu kemudian menyerahkan kunci mobil yang di cari-cari Hana.
Lagi-lagi Hana di kejutkan oleh perasaan, dia pikir orang yang memberikan kuncinya adalah Adrian, tapi ternyata bukan.
Hana melajukan mobilnya lagi menuju jalan pulang. Ia menggeleng akan kelakuannya yang mengharapkan bertemu wajah Rayan, tapi pulang dengan kesia-siaan.
Sedangkan di rumah Rosa, gadis itu menunggu sang kakak ipar dengan cemas.
"Ngapain kamu Ros? Kayak setrikaan panas." Mak Romlah yang baru saja pulang dari belanja bersama anak perempuannya itu menatap Rosa dengan heran.
"Nggak ngapa-ngapain." jawab Ros, singkat. Ia tak memperdulikan tetangganya itu.
"Kamu nungguin Hana ya?" tanya Titin, anak Mak Romlah yang merupakan seorang biduan. Pakaiannya selalu seksi dengan riasan menor, ia pun duduk di depan rumahnya, sengaja ingin berbicara dengan Rosa.
Rosa pun mendelik, lalu menjawab. "Ya."
"Kok dia masih di sini aja sih Ros, emangnya di Malaysia dia tidak punya keluarga?" tanya Titin, sebenarnya ia sangat penasaran dengan Hana, hanya saja tak memiliki celah untuk mendekatinya, apalagi mencari info tentang dia. Kalaupun tahu sedikit, itu juga dari Bu Susi, ibu mertua Hana bercerita sekedarnya kalau di tanya.
"Ada atau enggak bukan urusan kamu." kesal Rosa, ia terus menatap jalanan menunggu Hana.
"Ya, aku cuma heran, masih betah aja dia tinggal di rumah mu." Titin terus saja menyerocos.
"Ya karena dia adalah istri dari kakak ku. Istri Mas Rayan yang amat dia cintai." Rosa menekan kata-katanya agar Titin tak lagi usil.
Titin mencebik, ia benci sekali mendengar kalimat terakhir yang di katakan Rosa. Titin jadi ingat kalau dulu ia pernah menyatakan cinta kepada Rayan, tapi di tolak dengan alasan belum ingin pacaran. Dan setelah dewasa, Titin pun kembali menyatakan cintanya, tapi Rayan malah memilih Hana yang jauh di sana. Cinta yang di tolak, seumur hidup masih terasa sakitnya.
Tak lama kemudian sebuah mobil berwarna putih memasuki halaman rumah Rosa. Gadis itu tersenyum senang, terlebih lagi sang kakak ipar membuka pintu dan keluar dari sana.
"Kak Hana!" Rosa berteriak, berlari dan langsung memeluk Hana.
"Senang tak?" tanya Hana, menunjuk mobil baru yang baru saja dikendarainya.
"Senang lah." kata Rosa, namun ia segera menggandeng Hana masuk ke dalam.
"Gimana? Apakah sudah bertemu dengan dokter Adrian?" tanya Hana dengan tak sabar.
Hana menoleh, ternyata bukan mobil yang membuatnya tak sabar, tapi Adrian.
"Tak." jawab Hana singkat, ia menuju kamarnya. Meninggalkan wajah adik yang terdiam kecewa.
"Kok bisa nggak ketemu ya? Kan ini jadwalnya Adrian." Rosa berpikir keras sambil bergumam sendiri.
"Tidak usah macam-macam Ros. Jangan membuat kakakmu berharap akan sesuatu yang tidak pasti."
Ternyata sang ibu baru saja pulang dari perkebunan itu mendengar gumaman nya. Perempuan yang sudah tua itu menatap tak suka kepada Rosa, tak biasanya.
💞💞💞💞
#quoteoftheday..