Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08 - My Wife
"Ehm kenapa? Apa masih ada yang ingin dibicarakan?"
"Tidak ada, kamu cukup diam saja ... aku juga sambil kerja."
Tanpa bisa berkata-kata, Nadin tercengang dibuatnya. Bagi seseorang yang belum sekalipun menjalin hubungan dengan lawan jenis seperti dia, jelas bingung ketika Zain enggan mengakhiri panggilan padahal tidak ada lagi pembicaraan yang berarti di antara mereka.
Jika sekadar saling tatap-tatapan begini untuk apa, begitu pikir Nadin dalam hati. Hanya di dalam hati, dan mana mungkin berani dia lontarkan secara langsung karena memang keberaniannya belum sebesar itu.
Terpaksa, mau tidak mau dia harus menurut. Hitung-hitung menemani suami kerja sebagaimana yang kerap diajarkan uminya, mana tahu jadi pahala. Tidak sebentar, Nadin mulai merasa jengah dan tidak nyaman lagi duduk hingga memilih naik ke atas tempat tidur.
Kebetulan memang sudah mengantuk, Nadin menguap beberapa kali, tapi berusaha dia tutupi hingga tak terlalu kentara. Namun, mata yang semakin lama semakin sayu itu jelas tertangkap oleh Zain di seberang sana.
"Tidurlah, sudah jam sembilan."
Nadin mengangguk, dia tak sanggup lagi untuk menjawab ucapan Zain. Sudah dia tahan sejak tadi, bahkan dia tak sadar jika kini tengah bicara via telepon, bisa dibilang dia sudah setengah tertidur.
Selelah itu dirinya, padahal tadi siang tidak terlalu lelah. Yang dia rapikan juga biasa saja, mungkin memang karena tubuhnya masih lemah, ditambah kekenyangan dan hal semacam ini adalah obat tidur alami paling mujarab.
Ngantuknya Nadin tidak bercanda, biasanya dia tidak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala, tapi malam ini dia benar-benar tak berdaya. Waktu seolah berjalan begitu cepatnya, rasanya belum lama memejamkan mata, tapi kumandang Azan sudah terdengar menelisik indera mendengaran Nadin.
Tak pernah Nadin merasakan tidur sebegitu nyenyaknya, dia menguap lebar sembari mengumpulkan nyawa. Sesekali dia menggeliat, Nadin menatap gawainya yang kini mati, besar kemungkinan kehabisan daya.
Dan penyebabnya seketika Nadin ingat, dia mengerjap pelan dan mulai berpikir macam-macam. "Semalem sudah kumatiin, 'kan?"
"Rasanya sih sudah." Tanya sendiri, jawab sendiri, Nadin tak begitu peduli kejadian sebenarnya dan memilih untuk beranjak ke kamar mandi segera.
Rutinitas Nadin takkan banyak berbeda, tidak terlalu repot sebagaimana pengantin baru lainnya, tepatnya belum saja. Rasanya tak begitu berbeda seperti masih sendiri, begitu bangun Nadin mandi pagi dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang hamba di awal hari.
Kegiatannya memang sedikit monoton, polanya sama persis sejak awal kuliah hingga kini memasuki semester empat. Nadin amat teratur, hanya saja kekurangannya kerap makan sembarangan, baik itu waktu maupun makanannya.
Sebelum jam delapan pagi dia sudah siap untuk pergi, tidak lupa sarapan selembar roti yang sudah kadaluarsa sejak dua hari lalu. Tak apa, selagi belum jamuran dimakan saja, begitu prinsip Nadin yang memang terlahir dari keluarga dengan ekonomi menengah kebawah.
Andai Zain tahu, entah akan sepanjang apa ocehannya. Kemarin sore saja dia bicara panjang lebar lantaran Nadin sempat mengatakan ingin makan mie instan untuk makan malannya, apalagi kali ini.
Karena itulah, Nadin menghabiskannya sebelum Zain pulang. Selama ini tidak ada hal buruk terjadi sekalipun yang dia konsumsi sembarangan, paling ya sakit perut biasa dan bisa Nadin atasi dengan sendirinya.
"Kuliah, Nad?"
"Iya, Bu ..."
Gawat, Sarmila -- sang pemilik kost menghalau jalan Nadin hingga dia sedikit gelagapan. Tidak lain dan tidak bukan, jelas saja alasannya karena khawatir wanita itu menanyakan tentang Zain.
Demi apapun, Nadin berharap jika wanita itu tidak melihat kedatangan mereka kemarin. "Nad, yang kemarin datang ke kost siapa? Kakak kamu ya?"
"Hah? Yang mana, Bu?" Tak ingin bunuh diri, jelas Nadin berusaha menyelamatkan diri lebih dulu.
Bu Sarmila mengullum senyum, dia mendekat dan menggenggam pergelangan tangan Nadin tanpa Nadin tahu apa tujuannya. "Pakai ditutup-tutupin lagi, yang kemarin datang sama kamu loh, Nad."
"Oh bukan," jawab Nadin, dia hendak jujur awalnya, tapi Bu Sarmila justru membuatnya seketika ingin berbohong sungguhan.
"Orang jelas-jelas kalian mirip ... pakai dijawab bukan, Nad. Ibu sudah punya suami loh, kok takut sih?"
"Mirip?" Kening Nadin berkerut, dia tercengang bukan karena berniat menutup-nutupi tentang Zain, tapi ucapan Bu Sarmila seketika merasuk dalam pikirannya.
"Iya, sekilas mirip."
Baguslah jika di matanya mirip, jadi tidak ada keraguan dan Nadin tidak perlu memberikan penjelasan panjang lebar nantinya. "Kata orang sih begitu, tapi kata umi kami tidak begitu mirip," jawab Nadin sekenanya, sebagai penutup karena dia ingin segera berlalu dari hadapan wanita itu.
Tanpa peduli Bu Sarmila yang masih terus penasaran tentang sosok Zain, Nadin memilih pergi dengan alasan sudah terlambat. Padahal sebenarnya belum, masih ada waktu satu jam lagi sebelum jam belajarnya dimulai.
Sekalipun dia jalan kaki, sebenarnya masih santai. Akan tetapi, dia yang khawatir lantaran Bu Sarmila mendadak ingin mengantar, memilih naik ojek pangkalan yang kebetulan sudah stay di depan gang.
"Bikin kaget, bisa-bisanya cuma lihat sekali lewat langsung minta jodohin anaknya," gerutu Nadin kesal sendiri, dia menoleh demi memastikan bahwa wanita itu tidak mengejarnya.
"Hah? Apa, Mbak?! Es lilin Saodah?!"
"Enggak!! Bukan ngomong sama bapak!! Terus saja!!"
.
.
"Makasih, Pak, kembaliannya ambil saja."
"Hadeuh, memang ongkosnya segini, kembalian apaan."
Mimpi apa Nadin semalam sampai ditemukan dengan orang aneh yang merusak pagi indahnya. Tidak lagi bisa berkata-kata, Nadin hanya bisa menghela napas pelan sebelum kemudian melangkah memasuki pintu gerbang.
Belum juga tiba, ponselnya kembali bergetar dan pagi ini Nadin tidak menduga untuk menerima panggilan dari sang suami, khawatir jika nanti dibentak lagi.
"Assalamualaikum, Nadin."
Teduh sekali, pagi ini dia tidak marah-marah, Nadin sampai tidak percaya jika yang kini bicara dengannya ialah Zain Abraham, pria bengis yang menjelaskan materi saja seolah menekan mental.
Tidak jauh berbeda dengan yang Zain tanyakan seperti tadi malam, jelas hal pertama yang dia utamakan ialah mempertanyakan sarapan atau tidaknya. Usai tuntas masalah itu, dia juga memastikan saat ini Nadin ada dimana, bersama siapa, bagaimana perginya dan ya hal-hal kecil semacam itu dia tanyakan semua.
"Masuklah, nanti aku hubungi lagi ... have a good day, my wife," ucapnya sebagai salam penutup yang membuat Nadin tercengang, bahkan untuk menjawab saja seolah tak punya tenaga.
Bukan sengaja mengabaikan, tapi dia tidak bisa membalas hingga ketika sambungan teleponnya terputus, Nadin terlihat bingung. "Aduh, aku harus gimana? Apa telpon bal_"
"Nadin!!"
.
.
- To Be Continued -