Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Kasih Sayang, Tapi Racun!
Lalita tertegun selama beberapa saat, sebelum akhirnya membuang muka ke arah lain. Sungguh naïf dirinya karena telah berpikir bisa menyembunyikan semua hal dari Arfan. Jika di mana dia tinggal saat ini saja lelaki paruh baya itu bisa tahu, tentu yang lain juga tak akan luput dari pengawasan papanya itu. Tidak akan sulit bagi Arfan untuk menemukan fakta tentang kehamilannya, mengingat sudah beberapa kali ia memeriksakan kandungannya ke rumah sakit.
Helaan napas panjang akhirnya keluar dari mulut Lalita. Kalau sudah begini, tentu saja dia sudah tak bisa menyangkal lagi. Dia sudah ketahuan, tidak mungkin dirinya membuat alibi tak jelas. Bukannya berhasil mengelak, yang ada dia akan terlihat konyol di hadapan sang papa. Toh, selama yang tahu tentang kehamilannya bukan Erick, semuanya masih bisa dikatakan berada di dalam kendali.
“Sejak kapan Papa tahu?” tanya Lalita kemudian.
“Itu tidak penting, Lita. Yang penting sekarang kamu ikut pulang bersama Papa supaya Papa bisa menjagamu dari dekat,” sahut Arfan.
Sekali lagi Lalita menghela napasnya. Sejak dulu, dia selalu merasa tak nyaman setiap kali Arfan menunjukkan sikap overprotektif padanya. Hanya saja, selama ini dia tak pernah membantah ataupun protes. Itu karena Riani selalu mengatakan jika semua yang papanya itu lakukan demi untuk kebaikannya sendiri.
“Sudah aku bilang, aku tidak akan ikut pulang bersama Papa. Biarpun tempat ini terkesan sempit, tapi aku nyaman tinggal di sini. Aku juga merasa lebih tenang. Jujur saja, sepertinya aku tidak akan bisa tidur kalau pulang ke rumah Papa,” ujar Lalita kemudian.
Arfan berdecak. Dia bukanlah orang yang pandai membujuk, apalagi jika dirinya sudah terlanjur kesal.
“Jangan membuat Papa marah, Lita. Saat ini ada banyak hal yang mesti Papa pikirkan. Patuhlah seperti biasa!” Arfan mulai berseru dengan nada yang terdengar lebih keras daripada sebelumnya.
Jika itu dulu, Lalita pasti akan langsung menciut saat mendengar suara Arfan naik satu oktaf begitu. Tapi kini, dia tak merasa takut sedikit pun. Perempuan muda itu bergeming di tempatnya, tak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda kalau dirinya akan beranjak.
“Bukan hanya Papa yang sedang banyak pikiran, aku juga begitu. Makanya aku butuh tempat yang bisa membuatku merasa tenang.” Lalita menyahut dengan tanpa beban. “Lagipula, seperti yang Papa bilang tadi, sekarang aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa bertanggung-jawab pada diriku sendiri. Jadi Papa tidak perlu merasa khawatir.”
Mata Arfan tampak menatap tajam ke arah sang putri. Tak pernah sebelumnya Lalita membangkang seperti ini. Bahkan, sejak kecil putrinya itu selalu menurut dan tak berani menjawab setiap kata-katanya, apalagi dalam keadaan dirinya sedang merasa tak senang seperti sekarang ini.
“Apa yang coba kamu tunjukkan pada Papa dengan membantah kata-kata Papa seperti sekarang ini, Lita?” tanya Arfan kemudian pada putrinya itu.
Lalita balik menatap Arfan tanpa kata, sebelum kemudian seulas senyuman samar tersungging di bibirnya.
“Aku hanya ingin Papa tahu kalau aku ini benar-benar anak Papa,” sahut Lalita. Entah dari mana datangnya keberaniannya saat ini. Yang jelas, di hadapan papanya sekarang, dia tak mau menahan diri lagi seperti yang sudah-sudah. Lalita tak akan segan lagi memaparkan pemikirannya, meski itu mungkin akan membuat Arfan murka.
“Apa maksudmu?’ Arfan mengerutkan keningnya.
“Keras kepala dan egois, bukankah Papa seperti itu, kan? Sekarang Papa juga mesti menerima kalau putri Papa ini sebenarnya memiliki sifat yang sama seperti Papa. Selama ini, Mama yang selalu mengajarkan aku supaya tidak membantah Papa. Mama yang selalu membujukku supaya menuruti semua yang Papa inginkan. Mama juga selalu bisa meyakinkanku jika semua yang Papa lakukan demi untuk kebaikanku sendiri. Itulah kenapa aku tidak protes pada Papa sedikitpun meski seringkali Papa melakukan sesuatu yang membuat hatiku berontak,” sahut Lalita.
Arfan terlihat hendak mengatakan sesuatu menanggapi kata-kata Lalita barusan, namun suaranya seperti tertahan di tenggorokan saja.
“Karena Mama, aku tumbuh menjadi anak manis seperti yang Papa harapkan, padahal sebenarnya ada banyak hal yang tak sesuai dengan keinginan hatiku. Karena Mama juga, aku belajar bagaimana menjadi sosok yang lembut dan penuh kasih sayang. Papa yang membawa Mama dan membuat Mama menjadi ibuku. Papa juga yang membuatku bergantung pada Mama sejak aku kecil hingga aku dewasa. Lalu sekarang, dengan mudahnya Papa minta aku kembali di rumah yang penuh dengan kenanganku bersama Mama, sedangkan saat ini aku tidak tahu nasib Mama di luar sana seperti apa. Papa ingin membuatku merasa tertekan?” Lalita menambahkan dengan mata yang mulai memerah.
“Bukankah sekarang kamu sudah tahu kalau dia bukan ibu kandungmu? Lalu kenapa kamu sampai membangkang pada Papa seperti ini hanya demi perempuan asing itu?” Arfan kembali bertanya. “Asal kamu tahu saja, dia melakukan semuanya untukmu juga tidak gratis. Papa membayarnya dengan semua kemewahan yang dinikmatinya selama tinggal di rumah kita sebagai mamamu.”
Lalita tertawa. Bersamaan dengan itu, setetes air mata jatuh membasahi pipinya, tapi cepat-cepat dia seka.
“Inilah kenapa aku belum mau kembali ke sisi Papa meskipun urusan perceraianku nantinya selesai. Papa masih saja menganggap diri dan tindakan Papa benar, tanpa memikirkan perasaan orang lain. Bahkan, perasaanku saat ini pun tidak terlalu Papa pedulikan. Yang Papa tahu hanya cara menekan orang yang ada di sekitar Papa agar semuanya berjalan sesuai dengan yang Papa inginkan.” Lalita bergumam dengan nada sendu.
“Cukup, Lita. Papa tahu kalau sekarang kamu masih terkejut karena semua kenyataan yang ada. Tapi karena kamu sudah terlanjur tahu, maka mau tidak mau kamu mesti menerimanya. Kenyataannya, Papamu yang egois ini adalah satu-satunya orang tuamu serta keluargamu, sedangkan Riani hanyalah perempuan rendahan yang gila harta dan sanggup melakukan apa saja demi hidup mewah, termasuk mengasuh anak orang lain dengan penuh kasih sayang dan mengabaikan anak kandungnya sendiri,” ujar Arfan dengan berang.
Sekali lagi Lalita menatap ke arah Papanya itu. Hatinya benar-benar terasa sedih. Sekarang dia baru menyadari jika Papanya ini bukan hanya angkuh, tapi juga tak berperasaan.
“Memangnya berapa banyak uang Papa yang dibawa kabur oleh perempuan yang Papa sebut rendahan dan gila harta itu? Berapa banyak dia mencuri harta Papa selama ini Seberapa banyak aset yang dia kumpulkan diam-diam untuk memperkaya diri sendiri?” tanya Lalita kemudian dengan nada tajam.
“Tidakkah Papa tahu dengan yang namanya ketulusan, Pa? Bahkan jika Papa tak memiliki apa-apa sekalipun Mama pasti akan tetap memperlakukan aku sama, karena beliau menyanggupi permintaan Papa untuk membesarkanku bukan karena harta dan kemewahan yang Papa tawarkan, tapi karena bagi Mama, Papa adalah malaikat penolong yang begitu mulia. Bahkan dari cara Mama menatap Papa pun sudah terlihat betapa besar perasaan Mama untuk Papa.”
Arfan mengerutkan keningnya. Lelaki paruh baya itu tampak tak mengerti dengan apa yang Lalita katakan.
“Aku meminta Papa untuk mencari tahu keberadaan Mama bukannya memaksa Papa untuk membawa Mama kembali. Tapi setidaknya, Papa memiliki belas kasih pada orang yang telah mengabdikan diri pada Papa selama ini. Asal Papa tahu, satu-satunya alasan kenapa Mama rela melakuan apa saja untuk Papa adalah karena Mama mencintai Papa. Sama seperti aku yang menerima perlakuan Erick selama ini karena cinta. Hanya saja, aku lebih beruntung karena bisa mengendalikan perasaan itu setelah tahu kalau perasaanku bertepuk sebelah tangan, sehingga aku tidak menjadi bodoh berkepanjangan.”
Arfan masih tak mengatakan apapun. Raut wajahnya terlihat kaku dan tak terbaca. Sungguh, mendengarkan pemaparan Lalita tadi, dia seperti mendengar sebuah kabar jika saat ini matahari telah terbit dari ufuk barat.
“Jika Papa bisa mengubah pemikiran Papa, terutama tentang Mama. Aku akan mempertimbangkan untuk kembali pulang ke rumah Papa. Tapi jika Papa memilih untuk terus berpikiran picik seperti sekarang, aku sungguh minta maaf karena aku tidak akan pernah kembali ke sisi Papa sampai kapanpun. Aku tidak ingin anakku kelak akan menerima kasih sayang menyimpang seperti yang selama ini Papa berikan padaku, karena yang seperti itu sejatinya bukan kasih sayang, Pa, tapi racun!”
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/