Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diskusi Kok Bareng Hantu
"Aaaaaaaaa!" teriak Junaidi dan Rumi dengan tangan yang melambai-lambai meminta tolong. Tapi, tak ada sesiapapun yang menolong.
"Jun, gua kira lu udah ada rencana, kenapa jadi gini?" protes Rumi seraya memperhatikan Junaidi yang menggeleng.
"Gua kira bisa dibicarakan, bicara baik-baik cari solusi, Rum!" sahut Junaidi dan apa yang dipikirkan Junaidi membuat Rumi merasa frustasi, bagaimana tidak jika Junaidi mengajaknya ngobrol lebih dulu kalau yang dihadapi ini bukanlah manusia.
"Gob*ok, dia hantu bukan manusia, ngapain diajak diskusi!" Rumi menjawab dengan setengah menangis.
Lalu, datang seorang pria tampan, dia adalah tangan kanan direktur membuat Melati seketika menghilang. "Kalian ngapain?" tanyanya seraya memperhatikan Junaidi dan Rumi yang terlihat seperti sedang merayap di lantai.
Tak merasakan cekalan dari Melati lagi membuat keduanya segera bangun, mereka merapikan penampilannya yang awur-awuran. "Bukan apa-apa, Pak," jawab Rumi yang kemudian mengangguk, setelah itu, mereka pun pamit dengan Rumi yang menarik lengan Junaidi.
Singkat cerita, sekarang mereka sudah ada di parkiran dan Junaidi yang sedang memakai helmnya itu menatap ke arah lantai dua di mana ada Melati yang sedang memperhatikan mereka dari balkon.
Lalu, Rumi yang memberikan kunci motornya itu mengagetkan Junaidi. "Lu yang bawa motor, lutut gua masih gemeteran, coo!" ucapnya dan Junaidi pun tak menolak.
"Lu tau nggak, sebenernya ada yang lebih serem dari Melati, dia hitam, tinggi dan besar," ungkap Junaidi seraya tetap fokus mengendarai sepeda motornya.
Pluk! Rumi memukul helmnya dari belakang. "Nggak usah ngasih tau gua, gua nggak mau tau!" desisnya dengan begitu kesal.
Ya, menghadapi Melati saja belum beres, kenapa sudah harus ada sosok lain dan kabarnya lebih menyeramkan. Rumi benar-benar frustasi.
"Gua ngajak lu kerja tuh biar hantu pada pergi, bukan biar pada datang, Jun!" protes Rumi kemudian. Lalu, motor matic itu tiba-tiba saja berhenti mendadak saat ada yang sedang menyebrang membuat Rumi harus sedikit maju mengikuti pergerakan motor.
"Apaan, sih, lu. Nggak kira-kira," protes Rumi seraya membenarkan posisinya duduk.
"Ya, maaf. Tadi ada nenek-nenek nyebrang," sahut Junaidi, seketika membuat Rumi merasa merinding karena dia tak melihat apapun.
"Ya udah, berhentinya jangan lama-lama, udah capek banget gua," ungkap Rumi seraya melingkarkan tangannya di pinggang Junaidi.
"Ini, lepasin. Gua masih normal, jijai!" Junaidi melepaskan tangah Rumi dari pinggangnya.
"Katanya mau jagain Hana, gini aja lu takut, payah, lu!" gerutu Junaidi yang sekarang sudah mengendarai motornya lagi dan Rumi yang benar-benar sudah lelah tak meladeni cuitan calon kakak iparnya itu.
Sekarang, mereka sudah sampai di kos, Rumi mengeluarkan uangnya dari tasnya, dia menunjukkan itu pada Junaidi yang sekarang sedang melepaskan kaos kakinya, duduk lesehan di lantai.
"Ingat, duit ini udah kita dapatkan, sekarang kita harus pikirin gimana caranya nyingkirin tuh hantu perempuan, Jun!" Rumi menepuk-nepukan uang tersebut di tangannya, menatap Junaidi mengajaknya berpikir keras.
"Udah, mikirnya lanjut ntar aja, sekarang gua mau mandi dulu, udah lengket badan gua," sahut Junaidi yang kemudian mengambil handuknya di belakang pintu.
"Kalau beli makanan gua titip, ingat jangan beli di warung seberang jalan!" pesan Junaidi sebelum benar-benar pergi.
"Cie, yang mata batinnya kebuka, ada gunanya juga, lu!" sahut Rumi seraya terkekeh dan entah sejak kapan obrolan Rumi juga Junaidi bocor, kabar warung seberang menggunakan penglaris kini sudah tersebar luas membuat pemilik warung tersebut merasa was-was.
Bukan hanya was-was, pemilik warung itu juga memantau Junaidi dan Rumi yang sudah beberapa hari ini tak pernah lagi berbelanja di warungnya. "Oh, jadi mereka pindah belanja ke tempat lain? Tapi, nggak seharusnya juga mereka buat gosip, atau kita pilih mereka jadi tumbal? Kita ambil Junaidi dulu yang terlihat polos, bagaimana?" tanya pria paruh baya yang sekarang sedang memperhatikan Rumi dari warungnya.
Rumi yang sedang berjalan kaki itu merasa diperhatikan, dia pun menoleh ke arah warung tersebut dan dia melihat tatapan datar dari pemilik warung yang terlihat hanya kepalanya saja dari kaca warungnya. "Ngapain dah dia ngliatin gua kaya gitu? Apa gua punya utang? Perasaan enggak, deh," gumam Rumi dalam hati.
Merasa sungkan, Rumi kembali fokus ke jalannya, saat dia kembali dia melihat Junaidi dan teman kos lainnya sedang baku hantam tidak jauh dari kamarnya. "Ada apa, ini?" tanya Rumi yang mulai ikut berkerumun. Dia melerainya.
"Busuk, lu!" geram Junaidi pada pria yang baru saja mendapatkan bogem mentahnya.
"Kalau mau nyebar gosip, nggak usah lu bawa-bawa nama gua sama sahabat gua!" bentak pria berkalungkan handuk tipis itu seraya menunjuk wajah pria yang sedang menatapnya tajam.
"Gosip apa, sih?" tanya Rumi seraya menatap Junaidi dan yang ditatap itu menyingkirkan tangannya dari lengannya.
Sementara itu, penghuni kos yang lainnya mulai membubarkan diri saat Junaidi berteriak, "Bubar!"
"Awas, lu!" ancam Junaidi seraya menunjuk wajah pria yang sepertinya menyimpan dendam terhadapnya.
Sekarang, mereka sudah kembali ke kamar masing-masing dan Junaidi melemparkan handuknya ke kasur lepek dengan kesalnya. "Kayanya, kita harus pindah dari sini, Rum!" ucapnya seraya menatap Rumi yang masih di pintu kamar.
"Ada apa, sih? Gosip apa? Kita digosipin menyimpang gitu?" tanya Rumi dengan pikiran absurdnya dan yang ditanya menggeleng.
"Gua lagi jalan ke kamar mandi, nggak sengaja denger anak kamar nomer tujuh belas lagi gosipin warung depan tapi bawa-bawa nama kita, Rum!" ungkapnya dan Rumi sekarang tau kenapa pemilik warung menatapnya begitu tajam tadi.
"Kayanya gosip itu udah sampai ke pemilik warung, deh. Soalnya, tadi dia liatin gua kaya gitu, aneh pokoknya!" timpal Rumi seraya bergidik merinding.
Kemudian, mereka dikagetkan oleh pemilik warung yang membawa pasukannya, dia menggebrak pintu kamar Junaidi dan Rumi yang masih terbuka.
Brak! Mereka yang di dalam kamar pun terkejut bukan main.
"Oh, jadi ini yang sebarin gosip!" geram pria berkumis itu seraya menatap Junaidi dan Rumi.
"Astaga, apa lagi ini, cobaan hidup kenapa ada terus, yak?" tanya Junaidi dalam hati. Lalu, dia pun angkat bicara.
"Ada apa ini, Pak? Saya nggak gosipin bapak, apalagi nyebarin gosip," tukas Junaidi, dia membela diri dan memang tak pernah bergosip apapun. Hanya saja, beberapa waktu lalu ada yang tak sengaja mendengar obrolan Junaidi dan Rumi, dia lah yang menyebarkan gosip tersebut.
"Alah, mana ada maling ngaku, kalian tau, gara-gara gosip nggak bener dari kalian, warung saya sekarang sedikit sepi!" bentak pemilik warung lagi, amarahnya berkobar dan bagaimana pun caranya dia harus bisa mendapatkan rambut Junaidi dan Rumi untuk membalas dendam.
"Walau saya menjelaskan seperti apapun itu, sepertinya bapak nggak akan percaya," jawab Junaidi lagi.
"Kami mohon maaf, Pak. Kalau bapak nggak suka sama kami, kami akan pindah secepatnya!" timpal Rumi dan sekarang dia mendapatkan tamparan keras dadi pemilik warung.
Plak! Bukan hanya perih, panas dan membekas, karena ternyata ada sebagian dari kulitnya yang lecet itu menempel di cincin batu akik pria sangar tersebut.
"Baiklah, saya terima maaf kalian asalkan kalian cepat pindah dari sini!" Bentaknya, setelah mendapatkan apa yang diinginkan sekarang rombongan itu pergi dari kos pria tersebut.
Namun, bagaimana nasib Rumi setelah ini?