NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Dicintai Manager yang dingin secara tiba-tiba padahal tidak mau buka hati buat siapa pun? Lalu dihantui oleh teror masa lalu sang kakak, bagaimana perasaan Ayuni selama bekerja di tempat barunya? Terlebih ternyata Manager yang perhatian dengan Ayuni memiliki rahasia besar yang membuat Ayuni hancur saat gadis itu telah memberikan hatinya. Bahkan beberapa teror dan hal tidak terduga dari masa lalu yang tidak diketahui terus berdatangan untuk Ayuni.

Kira-kira bagaimana Ayuni akan menghadapi semua itu? Dan masa lalu apa yang membuat Ayuni di teror di tempat kerjanya? Apa ada hubungannya dengan sang kakak?

Ikuti ceritanya untuk temukan jawabannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33. TEROR

...“Aku tahu kita berbeda....

...Hatiku dan hatimu pun tak sama....

...Tapi bolehkah ......

...Satu kali saja...

...Satu harapan saja aku berpikir...

...Kalau kau juga mencintaiku?...

Mataku menatap handphone dengan takut-takut. Entah sudah yang ke berapa kalinya aku mendapatkan pesan mengerikan seperti ini dari nomor tak dikenal. Ia terus menerorku dengan berbagai foto Kak Indra serta pesan-pesan yang membuatku bergidik ngeri. Tak peduli ketika aku berusaha untuk mengabaikannya, tapi tetap saja pesan itu selalu berhasil membuatku khawatir akan keadaan kakakku di luar sana. Sepertinya masalah ini terlalu serius untuk sekedar sebuah ancaman belaka.

Bukan melebih-lebihkan, tapi memang seperti itu kenyataannya. Kemarin malam ketika aku pulang bekerja, tepat di depan rumahku seseorang menaruh paket yang justru berisi burung mati bersimbahan darah. Sejak saat itu rasa takutku semakin jadi ditambah dengan berbagai pesan beruntun yang selalu datang. Aku pun belum memberitahu Dini dan Rini akan hal ini, tak ingin mereka sampai mengadu yang tidak-tidak kepada kakakku setelah aku berusaha keras menutupinya.

Aku tahu ini bodoh, tapi pengirim pesan yang kuduga adalah Pak Revan, sepertinya begitu menginginkan Kak Indra untuk datang padanya, dan tentu saja aku tidak akan membiarkan kakakku pergi menemui orang yang mungkin saja bisa mengambil nyawanya dengan mudah. Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi, apalagi Kak Indra adalah satu-satunya keluarga yang kupunya. Aku tidak ingin kehilangan orang yang dekat denganku lagi.

Dini dan Rini sepertinya berangkat lebih dulu, mereka sudah mengatakannya semalam karena pekerjaan mereka sepertinya cukup menumpuk dan harus segera diselesaikan.

Kulangkahkan kakiku menuju halte, menunggu bus yang selalu biasa kunaiki setiap pergi dan pulang kerja. Nampaknya hari ini terlihat sangat ramai, mungkinkah karena hari senin? Kuharap bus tidak akan sampai penuh sesak dengan orang yang buru-buru ingin sampai ke tujuan. Hari yang tenang kukira, sampai mataku menangkap sosok berjaket Hoodie dengan topi hitam dan masker yang terus menatapku sejak tadi.

Kucoba abaikan apa yang kulihat, berpikir kalau tidak akan ada hal yang aneh mengingat tempat ini ramai sekali orang. Mendapatkan kejadian serta teror yang kurang menyenangkan membuatku menjadi paranoid akan setiap orang yang ada di dekatku.

Ketika di dalam bus yang cukup ramai, mataku melirik ke arah sosok berjaket yang tadi sempat melihatku. Dan benar saja, orang itu beberapa kali melihat ke arahku seolah memerhatikan apakah aku masih di tempatku duduk saat ini atau tidak.

Oke, anggaplah aku memang paranoid saat ini. Tapi orang itu membuatku takut, mengingatkan akan penguntit yang pernah mengikutiku selama berminggu-minggu dulu. Selama di bus aku berdoa dalam hati agar apa yang kupikirkan salah dan orang itu tak sedang berniat buruk hanya karena beberapa kali melihat ke arahku dengan intens.

Begitu turun dari halte dekat kantor, kupercepat langkah. Sempat kulirik sebentar, dan kulihat orang itu ikut turun di halte yang sama denganku. Buru-buru kulangkahkan kaki dengan cepat bahkan nyaris berlari ketika ekor mataku menangkap sosok berjaket yang berjalan beberapa meter di belakangku.

Mungkinkah penguntit lagi? pikirku berkali-kali dengan rasa takut yang sudah menguar sempurna.

Padahal hari masih pagi, tapi jika benar orang itu penguntit, bukankah ia terlalu berani? Tapi jika aku berteriak kalau orang itu mengikutiku dan aku salah, aku hanya akan memermalukan diriku sendiri.

Namun mataku tak salah lihat, orang itu jelas masih berjalan mengikuti arahku berjalan juga. Pandangan matanya seolah tak lepas dari diriku yang masih berjalan begitu cepat. Beberapa kali kutengkok ke belakang untuk melihat apakah yang kulihat itu benar orang itu. Dan setiap kali menenggok rasa takut justru bertambah ketika orang itu benar-benar mengikutiku. Tak ada pilihan lain, aku berlari ketika kantor sudah di depan mata, buru-buru ingin segera masuk ke gedung itu dan mencari tempat aman.

Ketika aku melewati pagar kantor aku menengok kembali ke belakang dengan takut-takut. Benar saja kalau orang tadi berhenti tak jauh dari pagar, memandangiku penuh selidik. Dugaanku tentang penguntit terbukti benar, lagi-lagi ada orang yang mengikutiku. Apa yang harus kulakukan sekarang? Mungkinkah itu suruhan dari Pak Revan atau justru orang lain?

Kalut, pikiranku luar biasa kalut ketika membayangkan kejadian malam itu di halte dimana aku nyaris diculik kembali berputar di otakku.

BRUK!

“Ah, maaf. Saya nggak sengaja,” kataku saat tanpa sengaja menabrak orang di depanku. Aku terlalu memerhatikan orang yang berdiri di dekat pagar tersebut hingga aku tidak melihat kemana arahku jalan.

“Ada apa? Kamu keliatan takut,” suara yang kukenal menerobos pendengaranku, membuatku mau tak mau menoleh ke pemilik suara tersebut, sepertinya orang yang kutabrak barusan.

“Bo-Bos Juna?” Kulirik lagi ke arah pagar, dan kali ini orang tersebut sudah tidak ada. Kemudian aku kembali melanjutkan ucapanku pada Bos Juna yang masih menunggu jawabanku atas pertanyaannya tadi, “Nggak ada apa-apa, permisi.”

Dengan cepat kulangkahkan kakiku masih ke dalam gedung, meninggalkan Bos Juna yang sepertinya masih tidak puas dengan jawabanku barusan.

Kutarik napasku berkali-kali ketika berada di depan lift, berusaha menenangkan diri. Aku bahkan baru sadar kalau tanganku gemetar ketika merapikan rambut yang tidak lagi terlihat rapi seperti sebelumnya. Rasa takut kembali menyerangkku saat kuingat lagi sosok yang mengikutiku barusan, membuat kedua telapak tanganku berkeringat dingin membayangkan kalau-kalau orang itu akan kembali muncul ketika aku meninggalkan gedung ini. Kurasa aku harus pulang dengan Dini dan Rini bagaimanapun caranya hari ini, tak berani jika harus pulang seorang diri yang kemungkinan akan kembali bertemu dengan orang tersebut.

“Ayuni? Nggak masuk?” suara sama seperti sebelumnya lagi-lagi tertangkap telinga, menyadarkanku kalau pintu lift sudah terbuka sejak tadi dan Bos Juna sudah berada di dalam seraya menahan pintu agar tidak tertutup.

Dengan pikiran yang masih kalut aku masuk ke dalam lift tanpa memandang sang pria yang sepertinya terus memandangiku sejak tadi.

Kutautkan jari-jariku satu sama lain, berusaha menghilangkan gemetar yang masih mendera. Bisa kudengar suara napasku yang kasar, memberitahu dengan jelas kalau rasa takut masih menggerayangi walau tidak sehebat tadi.

“Kamu baik-baik aja? Apa terjadi sesuatu?” tanya Bos Juna yang sepertinya terganggu dengan caraku bernapas tadi.

“Saya baik-baik aja, nggak ada masalah apapun,” dustaku.

“Tapi kamu keliatan ketakutan dari tadi.” Entah perasaanku saja atau nada suaranya memang terdengar khawatir. Tidak, tidak. Kurasa aku terlalu banyak berhalusinasi mengingat baru saja aku dihadapkan oleh seorang penguntit.

“Saya rasa Anda salah,” kataku dengan nada cukup tak bersahabat.

“Kalau saya salah, terus kenapa dari tadi kamu gemetar kayak gitu? Muka kamu juga pucet kayak abis liat hantu,” tanyanya yang membuatku tak mengerti sebenarnya apa mau pria satu ini.

“Apa pun yang terjadi sama saya sepertinya itu bukan urusan Anda, Bos,” tukasku.

Beruntung pintu lift sudah terbuka, menandakan kalau aku sudah sampai pada lantai dimana ruanganku berkerja berada. Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku langsung bergegas keluar dari lift.

Ruangan masih cukup sepi, hanya terlihat Mbak Dewi yang menjadi orang pertama datang. Segera kupergi ke mejaku, mendudukkan diri di kursi beroda dan terdiam untuk beberapa saat. Aku harus menyingkirkan segala pikiran buruk yang menggangguku mengingat ada begitu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.

Kubuka ponselku saat kudengar suara pesan masuk.

Masih tidak mau memberitahu Indra? Jangan salahkan aku kalau orang yang mengikutimu hari ini akan membawamu padaku.

Ciut. Nyaliku ciut begitu kubaca pesan tersebut.

Jadi benar kalau ada orang yang mengikutiku tadi. Mataku sungguh tidak salah kalau pria berjaket dengan topi dan masker yang ia kenakan tadi memang mengikutiku sejak di halte. Atau bahkan sejak aku keluar dari rumah?

Keringat dingin mengalir di tubuhku, membuatku kembali tenggelam akan rasa takut yang sebelumnya sudah sempat menghilang. Kutaruh handphone-ku ke atas meja dengan suara keras, tak peduli jika benda itu hancur.

Sebenarnya apa masalah yang terjadi dengan Kak Indra sampai ada yang terobsesi seperti ini?! batinku berteriak frustrasi.

Sebuah tangan terulur, menaruh segelas air putih di atas mejaku saat rasa takut menghantamku kuat-kuat saat ini.

“Minum, buat diri kamu tenang,” kata Bos Juna yang terus memandangiku dengan tatapan penuh penilaian.

Kulakukan apa yang ia suruh, karena aku memang membutuhkannya. Kutengguk habis air yang ia berikan, kemudian menghela napas panjang untuk membuat diriku tenang seperti yang ia katakan—tenang.

“Kalau nggak mau menjadi urusanku, maka berhentilah bersikap seperti orang sekarat. Kalau sakit nggak perlu masuk kerja. Jangan mencari perhatian orang lain dengan memasang wajah ketakutan seperti bocah,” kata Bos Juna yang kemudian melangkah pergi menuju ruangannya berada.

Aku hanya memandang kepergian pria itu dengan rasa tak percaya. Seperti bocah? Mudah sekali ia bicara seperti itu tanpa tahu betapa ketakutannya aku saat ini. Jika memang ingin membantu tidak perlu mengatakan hal sekejam itu di saat aku sendiri sudah cukup gila menghadapi semua teror sialan ini. Tidak bisakah ia sehari saja mengabaikanku tanpa membuatku sakit hati?!

Setelah mendengar pernyataan menyakitkan itu, aku hanya diam seribu bahasa hingga ruangan dipenuhi rekan-rekan kerjaku. Beberapa kali Mbak Dewi meminta bantuanku untuk mencari referensi artikel yang sedang ia garap sejak kemarin. Hanya itu pekerjaan yang kulakukan selama dua jam, tak berniat mengeluarkan satu kata pun untuk meminta pekerjaan lebih atau hal lainnya yang bisa kulakukan.

“Ayuni?!” suara menggelegar yang kukira tidak akan kudengar hari ini justru memenuhi ruangan, membuat semua orang menatap ke arahnya.

“Berisik,” tegurku pada Andre.

“Jangan masang muka serem gitu donk, Kakak bawaiin cokelat nih,” kata Andre seraya memberikan satu cokelat dengan bungkus yang cukup manis.

“Idih, mau banget dipanggil kakak. Terus kenapa cuma satu, tanggung amat,” gerutuku.

“Kamu nggak tahu? Tuh cokelat objek pemotretan majalah kita minggu ini loh. Diimpor dari Italia, harganya satu dua juta,” kata Andre penuh kebanggan karena bisa mengambil cokelat mahal tersebut.

“Uwoo, apa iya?!” Aku menatap cokelat yang ada di tanganku dengan pandangan kagum. Serius harga satu cokelat ini semahal itu?!

“Pfftt!” Andre menahan tawa melihatku.

Aku menatap Andre ketika ia mulai tertawa, bingung.

“Ayuni, Ayuni, kamu mau aja dibohongin sama si Andre,” kata Mbak Dewi yang sepertinya mendengar obrolanku dengan Andre sejak tadi.

“Jadi lo bohong!” seruku pada Andre dengan suara yang memenuhi ruangan. Bukan hal umum lagi keributan yagn kubuat seperti ini karena kejahilan Andre.

“Lo polos banget sih, Yun,” ujar Andre yang tertawa lepas melihat raut kesalku padanya. Berurusan dengan Andre lebih menakutkan dibandingkan berurusan dengan Rini dan Dini dalam hal seperti ini.

“Kamu juga kapan dewasanya, Andre? Seneng bener gangguin Ayuni. Kalau suka bilang aja sana,” goda bak Dewi yang justru menambah panas ruangan.

“Aku udah bilang suka sama dia loh Mbak, tapi dia bilang aku terlalu ganteng jadi dia minder, gimana dong?” celetuk Andre yang langsung kutimpuk dengan pena di atas mejaku.

Seluruh ruangan tertawa mendengar ucapan Andre, menggelengkan kepala dengan kelakukan Andre yang tidak sesuai dengan usianya. Bahkan Bobby yang mendengar bilang agar aku bisa sabar menghadapi segala kelakuan Andre yang gila.

Tapi berkat kegilaan Andre, seolah perasaan burukku hari ini menguap begitu saja entah kemana. Tak jarang aku beradu argumen dan melemparkan ejekan pada Andre setiap kali pria itu memulai tingkah gilanya yang sudah stadium akhir.

Entah kenapa pria gila itu selalu seperti obat untukku. Seolah selalu tahu kapan aku membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku dari sesuatu yang mengganggu hingga membuatku down.

1
Amelia Putri
cerita x berptur tentang itu2 saja.tidak ada ujung pangkal x.dan permasalahan pun tidak ada jalan keluar x.seakan ceritanya stak di tempat
kalea rizuky
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
kalea rizuky
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!