Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.
Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Tertegun
Acara makan malam akhirnya dimulai setelah Declan memberikan sambutan resmi. Makan malam ditemani oleh alunan musik yang sangat indah dan menyejukkan pendengaran.
Sophia dan Govin duduk di meja utama yang terletak di dekat air mancur, didampingi Declan sebagai tuan rumah. Meja itu dihias dengan lilin elegan dan bunga segar yang memancarkan aroma lembut. Di sekeliling mereka, meja-meja kecil lainnya dipenuhi oleh anggota keluarga dan tamu yang hadir, masing-masing sibuk menikmati makanan dan obrolan ringan.
Selepas makan malam, acara berlanjut dengan sesi bincang santai. Declan memanfaatkan momen ini untuk membawa Sophia dan Govin berkeliling kediaman keluarga Voss.
Declan, Govin, Sophia, termasuk Xander, dan beberapa pengawal berhenti di depan sebuah potret besar mendiang Ethan Voss yang tergantung di dinding utama. Foto itu memancarkan aura karisma seorang pemimpin yang disegani. Declan memanfaatkan momen itu untuk menggiring percakapan ke arah yang ia rencanakan.
"Tuan Govin, Nona Sophia," ujar Declan, "aku tidak pernah mengetahui bahwa ayahku memiliki hubungan baik dengan pemilik Phoenix Vanguard di masa lalu. Aku terkejut saat keponakanku, Evelyn memberitahuku soal itu. Ayahku benar-benar sosok pemimpin yang layak dicontoh."
Declan melirik Xander sekilas, rasa bencinya meluap meski ia berusaha menyembunyikannya di balik senyuman kecil. Di matanya, kehadiran Xander malam ini adalah noda dalam jamuan yang ia desain dengan sempurna. Meski sudah berganti status dan berpenampilan mewah dan gagah, tetap saja Xander adalah sampah tak berguna untuknya. Pria itu terus mengikuti Govin ke mana pun.
"Aku merasa tersanjung bisa mengantar Nona Evelyn yang merupakan cucu dari mendiang Tuan Ethan kembali ke rumahnya," ujar Govin, menatap foto Ethan dengan hormat.
"Kami justru yang merasa sangat tersanjung karena kebaikan Anda, Tuan Govin." Declan bisa bernapas lega karena Govin sama sekali tidak membahas tindakan tak sopannya dan beberapa anggota keluarga kemarin siang.
Declan menatap dingin Xander sekilas. Ingin rasanya ia memaki dan mengusir pria itu agar tidak menganggu perbincangannya saat ini. Akan tetapi, ketika mengingat ucapan Govin kemarin, ia harus menahan diri sekuat mungkin. Sejujurnya ia dan keluarga Voss tidak mengetahui jika Govin dan Xander akan ikut hadir.
"Tuan Declan, kau pemimpin yang luar biasa. Membawa perusahaan keluarga dari masa krisis menuju kemajuan seperti sekarang bukanlah hal yang mudah." ujar Sophia seraya kembali berjalan.
"Kau benar, Sophia. Aku bisa merasakan semangat yang sangat membara dari perkataan Tuan Declan. Aku harap kita bisa bekerja sama di waktu yang akan datang, Tuan Declan. Aku tidak sabar untuk melihat terobosan baru apa yang akan kau lakukan."
"Aku akan sangat menyambut baik hal itu, Tuan," sahut Declan, "kami memiliki anggota keluarga yang mumpuni dalam berbagai bidang. Meski keluarga kami masih tergolong kelas menengah di kota Skyline, tapi kami sangat menjungjung tinggi profesionalisme dan etos kerja yang sangat tinggi terhadap tujuan. Aku dengan senang hati akan menjelaskan detail perusahaan keluarga Voss jika Anda berdua memberikanku kesempatan."
Govin tertawa hambar. Declan hanya tersenyum sebagai basa-basi.
"Semangat Anda patut diacungi jempol, Tuan Declan." Govin menepuk pelan bahu Declan. “Kita bisa membicarakan masalah itu lain kali. Untuk sekarang, mari kita nikmati acara malam ini dengan suka cinta."
Declan mengangguk dengan gugup saat Govin menepuk bahunya. "Tentu saja, Tuan. Acara malam ini sepenuhnya untuk dinikmati."
Govin lalu berbalik, memandang para pengawal yang berdiri di dekatnya. "Nikmatilah acara ini. Aku yakin keamanan tempat ini sudah diperhatikan dengan baik, bukan begitu, Tuan Declan?"
"Tentu saja, Tuan." Declan tersenyum ketika Xander mulai menjauh. "Semua orang bisa menikmati pesta dengan suka cita dan perasaan aman."
Xander melangkah menuju ruang utama acara, diikuti oleh beberapa pengawal. Mereka berjalan beriringan hingga mencapai pintu, di mana Xander berhenti sejenak dan memandang pengawalnya.
“Kalian membaurlah dengan yang lain,” katanya. “Aku tahu siapa keluarga Voss. Mereka tidak akan berani melukaiku secara fisik.”
Pengawal di belakangnya mengangguk. “Baik, Tuan.”
Setelah itu, Xander berjalan ke arah meja hidangan untuk mengambil minuman. Matanya menyusuri ruangan yang penuh dengan kilauan lampu kristal dan tawa orang-orang yang berbincang hangat. Suasana ini membuatnya teringat pada malam ketika dirinya terusir dari keluarga Voss—malam yang penuh penghinaan dan rasa sakit. Namun, hidup ternyata memberikan kejutan. Dari titik terendah, ia justru menemukan identitas sejatinya.
Sambil meneguk minuman pelan, Xander menatap cincin di jarinya. Simbol kecil itu mengingatkannya akan kekuatan dan posisi yang kini ia miliki. Tiba-tiba, seseorang menabraknya dengan kasar, membuat minumannya hampir tumpah.
“Ah, maafkan aku, Tuan Pengawal.” Raven tertawa, mengambil gelas dari meja. “Tubuhmu terlalu besar sampai aku kesulitan bergerak.”
Victor, yang berdiri di dekatnya, ikut tertawa. Dengan tangan bersandar di meja, ia menatap Xander dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan. Dalam hati, Victor merasa iri—Xander, pria yang dulu dianggap rendah, kini tampil gagah dengan pakaian mewah, sudah menaiki mobil Eclipse Valoria, dan bahkan mendampingi tokoh penting seperti Govin dan Sophia. Xander mendapatkan pencapaian luar biasa dalam waktu singkat.
“Kau tahu, sampah tetaplah sampah meski dibalut pakaian mewah sekalipun,” ejek Victor sembari menatap hina Xander.
Xander melirik sekilas ke arah pengawalnya yang terlihat ingin bertindak. Dengan gerakan tangan, ia memberi isyarat agar mereka tetap di tempat. la mengabaikan ocehan Raven serta Victor dan memilih untuk menikmati minumannya.
“Pesta ini akan jauh lebih sempurna jika kau tidak hadir untuk mengacaukannya,” tambah Raven dengan senyum sinis. “Jangan kira karena kau punya pekerjaan, aku akan menghormatimu. Bagiku, kau tetaplah sampah yang sudah mencemari keluarga Voss. Dosa-dosamu tidak akan terhapus dengan mudah.”
Victor terkekeh. “Gaji seorang pengawal seperti dirimu pasti tidak ada apa-apanya dibanding penghasilan kami sebagai pengusaha. Biar kutebak, mungkin hanya lima sampai sepuluh ribu dolar per bulan? Dan kau pasti tinggal di asrama kecil bersama para pengawal lain. Benar benar menyedihkan.”
Raven tertawa lebih keras. “Gajiku sepuluh kali lipat lebih besar dari penghasilanmu. Selain itu, tempat tidurku sangat nyaman sehingga setiap kali aku bangun aku meresa sangat bugar dan segar. Jadi, jangan pernah besar kepala dan bertingkah di depan kami meski kehidupanmu sudah sedikit berubah."
Setelah puas mencibir, Raven dan Victor mulai melangkah pergi. Namun suara Xander yang tenang namun jelas menghentikan langkah mereka.
“Gajiku lima ratus ribu dolar per bulan, jika kalian ingin tahu,” ucap Xander santai, dengan senyum tipis di wajahnya.
Raven dan Victor spontan berhenti dan langsung berbalik, wajah mereka menunjukkan keterkejutan.
Xander menatap mereka dengan pandangan datar, menahan tawa di dalam hati. Sebenarnya, ia tidak digaji—karena ia lah yang menggaji ribuan orang di bawah kekuasaannya. Ia pernah mendegar jika dalam satu detik seluruh perusahaan yang berada dalam kekuasannya memberikan penghasilan sekitar lima juta dolar. Sebuah angka yang sangat fantastis.
Aku mendapat fasilitas untuk menunjang kehidupan pribadi dan pekerjaanku, seperti apartemen, rumah yang luas serta kendaraan pribadi." Xander menyimpan
"Itu pasti hanya bualanmu semata!" Victor berteriak dengan suara tertahan.
"Kau pasti bergurau," ujar Raven tidak terima, "bagaimana mungkin kau bisa...."
"Apa kalian lupa kalau aku bekerja di Phoenix Vanguard?" Xander tersenyum puas melihat wajah kesal Raven dan Victor. "Perusahan keluarga kalian tentu tidak sebanding dengannya dalam berbagai sisi manapun. Aku rasa kalian tahu hal itu."
Xander berjalan meninggalkan Raven dan Victor yang menatapnya penuh kebencian. Ia mengawasi keadaan sekeliling, tak peduli dengan tatapan merendahkan dari anggota pria keluarga Voss. Melewati kumpulan wanita di salah satu meja, Xander bisa melihat jika mereka menatapnya dari atas hingga bawah.
Saat melewati ruangan, pandangan Xander terusik oleh sekumpulan wanita keluarga Voss yang duduk mengelompok di salah satu meja. Beberapa dari mereka menatapnya dengan campuran rasa penasaran dan kekaguman. Sebagian lain buru-buru mengalihkan pandangan ketika mata Xander berbalik ke arah mereka.
Xander berhenti seraya menoleh pada kumpulan wanita itu. Sebagian dari mereka segera menoleh ke sisi lain, sedang sisanya memandangnya dengan tatapan dingin.
"Di mana Evelyn?" Xander berjalan mengelilingi ruangan hingga akhirnya tiba di pintu keluar. la melihat Evelyn tengah berjalan seorang diri ke arah taman.
Senyum kecil terulas di bibirnya. Dengan langkah agak tergesa-gesa, ia mengejarnya, tetapi saat akan memanggil, gerakan cepat dari sisi kanan membuatnya berhenti tiba-tiba.
Bruk!
Tubuh seorang wanita bertabrakan dengannya. Xander hanya bergeming, tapi lawannya, Selene, terhuyung ke belakang. Hak sepatu tinggi yang dikenakannya tergelincir di atas lantai, membuat tubuhnya nyaris terjatuh.
Dengan reflek, Xander mengulurkan tangan, menarik tubuh Selene dengan cekatan hingga kembali berdiri tegak. Tangannya secara tak sengaja memegang pinggang dan tangan wanita itu.
"Terima..." Selene hendak mengucapkan terima kasih, tapi suara Xander memotongnya.
"Kau tidak apa-apa, Selene?" tanyanya dengan nada lembut, matanya menatapnya dengan perhatian.
Selene tertegun. Ia menatap wajah Xander yang begitu dekat. Garis rahangnya yang tegas, tatapan tajam yang dalam, dan aroma parfum maskulin yang menggoda menciptakan sensasi aneh di dadanya. Sebagai kolektor parfum, ia langsung mengenali kualitas wangi yang dikenakan Xander—elegan dan mahal.
"Xander..." gumamnya pelan, tidak mampu mengalihkan pandangan dari pria di depannya. Jantungnya berdetak begitu keras, membuatnya sulit berpikir jernih.
Kedekatan mereka berlangsung beberapa detik yang terasa seperti selamanya, sampai suara familiar memecah keheningan.
“Xander,” ujar Evelyn saat tidak sengaja menoleh ke arah pintu ruangan.
terlalu drama
terlalu naif
tak realistis
iq jongkok
out aja,.