Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kewajiban kami
Happy reading guys :)
•••
Senin, 24 November 2025.
Satu bulan telah berlalu sejak Angelina dan Karina menemui Vanessa di dalam ruangan ICU. Sejak saat itu juga keadaan Vanessa semakin membaik, bahkan dokter yang menangani gadis itu sangat kagum dengan pemulihan dari tubuh Vanessa.
Saat ini, waktu menunjukkan pukul 14.00, di depan pintu ruangan yang bertuliskan 'Ruang Alamanda’ terlihat Angelina dan Karina yang sedang berdiri seraya mengukir senyuman tipis.
Angelina membuka pintu ruangan secara perlahan-lahan, takut membuat penghuni ruangan itu merasa terkejut.
Senyuman Angelina semakin melebar, kala melihat penghuni ruangan itu sedang mengobrol dengan seseorang seraya menampakkan senyuman manis.
Merasakan kehadiran Angelina dan Karina, membuat penghuni ruangan itu sontak mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk ruangan, dengan menunjukkan senyuman yang semakin manis.
“Ngel, Kar, sini,” panggil penghuni ruangan itu, seraya melambai-lambaikan tangan kanannya yang tidak terpasang dengan jarum infus.
Angelina dan Karina mengangguk, menutup pintu, lalu berjalan mendekati ranjang tempat penghuni ruangan itu sedang berada.
“Hai, gimana keadaan lu hari ini, Vee?” tanya Karina, setelah berada di sisi kiri ranjang.
“Keadaan aku baik, kok, Kar. Bahkan, kamu tau gak? Kalo beberapa hari lagi, aku udah dibolehin pulang, loh, sama dokter,” jawab Vanessa, masih terus mengukir senyuman yang sangat manis.
Mendengar jawaban Vanessa, membuat mata Angelina dan Karina sontak berbinar-binar serta melebar sempurna. Kedua gadis itu saling pandang, perasaan haru dan senang bercampur aduk di dalam diri keduanya.
“Yang bener, Van?” Angelina menggenggam tangan kanan Vanessa, menatap lekat sang sahabat dengan mata yang masih berbinar-binar.
Vanessa mengangguk, membalas genggaman tangan Angelina. “Iya, Ngel. Tadi pagi kata dokternya gitu. Kalo kamu gak percaya, kamu bisa tanya aja sama Kak Livy.”
Angelina sontak menoleh ke arah belakang, melihat Livy yang sedang duduk bersandar di sofa. “Yang dibilang sama Vanessa bener, Mbak?”
Livy mengangguk, bangun dari atas sofa, berjalan mendekati ranjang tempat Vanessa berada seraya menunjukkan senyuman tipis.
“Iya, bener. Kata dokter, progress kesembuhan Vanessa udah sampai delapan puluh lima persen, dan nanti kalau beberapa hari ke depan udah sampai sembilan puluh persen, Vanessa diperbolehkan untuk pulang. Tapi, dengan catatan, Vanessa masih harus istirahat dan gak boleh ngelakuin sesuatu yang berat,” jawab dan jelas Livy, seraya mengelus lembut puncak kepala Vanessa.
Air mata Karina perlahan-lahan mulai turun membasahi kedua pipi, senyuman bahagia terukir di bibir mungil milik gadis itu kala mendengar penjelasan dari Livy.
“Kar, kamu gak papa?” tanya Vanessa, merasa sangat khawatir dengan keadaan Karina saat melihat sang sahabat sedang menangis.
Karina dengan cepat mengangguk seraya menghapus air mata yang masih terus mengalir. “Gue gak papa, kok, Vee.”
“Kar, yang bener?” Raut wajah Vanessa telah berubah menjadi sangat khawatir.
Karina kembali mengangguk, lalu tersenyum lebar ke arah Vanessa. “Iya, gue gak papa, kok. Tadi, gue, tuh, cuma bahagia aja, karena akhirnya lu udah sembuh dan dibolehin buat pulang.”
Raut wajah khawatir Vanessa perlahan-lahan mulai menghilang, bergantian dengan raut kebahagiaan kala melihat senyuman lebar milik Karina. “Kar, Ngel, makasih banyak, ya, karena udah mau jadi sahabat terbaik aku. Dan makasih juga karena udah mau nemenin aku selama proses penyembuhan.”
Genggaman Angelina pada tangan Vanessa semakin mengerat. Ia juga memberikan elusan lembut di punggung tangan sang sahabat.
“Hei, gak usah bilang makasih. Ini udah kewajiban kami berdua buat selalu ada di sisi lu.” Angelina menoleh ke arah Karina yang sedang menghapus sisa-sisa air mata. ”Bener, kan, Kar?”
Karina mengangguk, sisa-sisa air matanya telah menghilang. Ia memegang tangan Angelina dan Vanessa yang masih saling menggenggam satu sama lain. “Iya. Angel bener, Vee. Lu gak usah bilang terima kasih, karena ini udah jadi kewajiban kami berdua sebagai sahabat lu.”
Kedua mata Livy perlahan-lahan mulai mengeluarkan air, mendengar dan melihat kepedulian kedua gadis di sampingnya ini kepada Vanessa bener-bener membuat ia merasa sangat bersyukur, lantaran sang calon adik ipar akhirnya mendapatkan beberapa orang sahabat sejati.
Masih terbayang jelas di benak Livy, saat beberapa bulan lalu ia mendengar kabar dari Galen kalau Vanessa mendapatkan perundungan dari seseorang yang sudah gadis itu anggap sebagai seorang sahabat baik.
Kala itu, Livy benar-benar sangat marah, apalagi saat dirinya melihat foto Vanessa yang benar-benar sangat menyedihkan. Ia bahkan saat itu sampai bersumpah, akan membuat orang itu merasakan hal yang dirasakan oleh Vanessa beribu-ribu kali lebih menyakitkan.
Akan tetapi, niat dan sumpah itu perlahan-lahan mulai menghilang ketika Galen dengan sangat sabar menenangkan dirinya.
Mengingat hal itu, Livy terkekeh kecil dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipi. Menurutnya kejadian dahulu berbanding terbalik sekali dengan sekarang. Jika dahulu dirinya yang merasa sangat emosi, kini kebalikannya, Galen, lah, yang ada di posisi dirinya dahulu.
“Kakak, Kakak kenapa?” tanya Vanessa, saat melihat wajah Livy sudah dipenuhi oleh air mata.
Mendengar pertanyaan Vanessa, membuat Livy dengan cepat menghapus air matanya, lalu menunjukkan senyuman lebar hingga kedua matanya tertutup. “Kakak gak papa, kok, Dek.”
Vanessa menatap lekat wajah Livy, merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh calon kakak iparnya itu. “Kakak, yang bener, ih?”
Livy mengangguk. “Iya, Kakak gak papa. Oh, iya, Dek. Kakak izin keluar dulu, ya, ada sesuatu yang mau Kakak beli.”
Vanessa mengembuskan napas panjang, merasa Livy sedang menghindari pertanyaan yang dirinya berikan. “Iya. Tapi, jangan lama-lama, ya, nanti aku kangen, loh.”
Livy terkekeh kecil saat mendengar perkataan Vanessa. Ia mengelus lembut rambut calon adik iparnya itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan bagian dalam ruang alamanda.
Livy menutup pintu ruangan, lalu berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
Langka kaki Livy sontak terhenti, melihat Galen yang sedang berjalan dari arah depan dengan raut wajah yang sangat tidak mengenakkan.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Livy, saat Galen telah berada di hadapannya.
Galen tidak menjawab pertanyaan Livy, melainkan hanya menatap sendu perempuan itu, lalu memberikan pelukan erat ke tubuh sang tunangan.
Livy membalas pelukan yang diberikan Galen dengan kening mengerut, lalu memberikan elusan lembut di punggung lebar milik sang tunangan.
“Hei, kamu kenapa? Kenapa muka kamu musam gitu? Sini, cerita ke aku, siapa tau aku bisa bantu nyelesain masalah yang sedang kamu hadapi.”
Galen menyembunyikan wajah di rambut panjang Livy, mencium aroma khas milik perempuan itu. “Aku bingung harus mulai dari mana.”
“Banyak banget, ya, masalah yang lagi kamu hadapi?” tanya Livy, masih terus mengelus lembut punggung Galen, “Kita ke kantin, yuk, kamu cerita di sana sambil makan siang. Kamu pasti belum makan siang, kan?”
Galen mengangguk pelan, tetapi masih terus memeluk erat tubuh Livy, seakan enggan untuk berpisah dengan perempuan yang telah menjadi tunangannya itu.
“Hei, lepasin dulu pelukannya. Masa mau ke kantin kayak gini?” Livy mengacak-acak rambut Galen.
“Masih mau meluk kamu,” gumam Galen, menghirup dalam aroma wangi khas sang tunangan.
Livy terkekeh kecil saat mendengar gumaman Galen. “Nanti peluk lagi setelah kamu selesai makan siang, oke?”
Galen diam beberapa detik, kemudian mengangguk pelan, dan perlahan-lahan mulai melepaskan pelukan pada tubuh Livy.
“Nah, gitu, dong. Gemesin banget, sih, tunanganku ini.” Livy tersenyum lebar dengan kedua tangan mencubit pelan pipi Galen.
Galen melepaskan cubitan Livy, menggenggam tangan kanan perempuan itu, lalu membawanya berjalan menyusuri koridor yang mengarah ke kantin rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, Galen lebih banyak diam, membuat Livy merasakan bosan.
Perempuan itu mengalihkan pandangan ke sekeliling, mencari sebuah topik obrolan agar sang tunangan dapat melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapi.
Livy membuka obrolan saat menemukan sesuatu yang sangat menarik dan mungkin akan membuat Galen juga tertarik. Namun, respons dari Galen tidak seperti yang dirinya harapkan, cowok itu hanya mengangguk, berdeham, dan mengatakan sepatah kata sebagai jawaban.
Melihat dan mendengar respons dari Galen, membuat Livy sontak memanyunkan bibir, merasa sedikit bete karena gagal membuat sang tunangan menjadi lebih baik.
Livy tidak lagi bersuara dan membuka obrolan. Saat ini, ia hanya memberikan elusan lembut di lengan dan punggung tangan Galen.
Beberapa menit berlalu, Galen dan Livy telah berada di dalam kantin rumah sakit. Mereka berdua memesan beberapa menu makanan, sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di salah satu meja yang terletak dekat dengan jendela.
“Mau peluk lagi?” tanya Livy, menatap Galen yang sedang melihat ke arah luar melalui jendela.
Mendengar pertanyaan Livy, membuat Galen sontak mengalihkan pandangan ke arah sang tunangan, dan mengangguk pelan.
“Ya, udah. Sini, kalo mau peluk.” Livy merentangkan kedua tangan ke arah Galen, memberikan kode kepada cowok itu agar masuk ke dalam pelukannya.
Galen bangun dari tempat duduk, berjalan menghampiri Livy, mendudukkan tubuhnya di samping perempuan itu, lalu masuk ke dalam pelukan sang tunangan.
Livy mengelus lembut rambut belakang Galen. “Mau cerita sekarang gak? Sambil nunggu makanannya datang.”
Galen mengangguk pelan, memperbaiki posisi kepalanya, mencari tempat ternyaman di tubuh Livy.
“Jadi, kamu lagi mikirin apa? Lagi ada masalah apa yang nimpa kamu?” tanya Livy, suaranya sangat pelan dan lembut.
“Tentang orang-orang yang udah buat Vanessa jadi kayak gini,” gumam Galen, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Livy.
Livy mengerutkan kening bingung. “Kenapa sama mereka? Bukannya mereka semua udah masuk ke penjara, ya?”
Galen mengangguk pelan. “Iya, tapi aku ngerasa bukan mereka semua dalangnya. Aku ngerasa, mereka cuma orang-orang suruhan aja.”
“Jadi, dalangnya belum ketangkap, Yang?” tanya Livy, tubuhnya perlahan-lahan mulai bergetar, merasa takut akan keamanan dari Vanessa.
Galen kembali mengangguk pelan, melepaskan pelukannya pada Livy saat merasakan getaran dari tubuh sang tunangan.
Galen menangkup wajah Livy, menatap perempuan itu dengan sangat lekat. “Sssstt, kamu gak usah ikut mikirin hal itu, serahin semuanya ke aku sama om Raka.”
Livy memegang tangan kanan Galen yang masih menangkup wajahnya. “Aku khawatir sama keamanan Vanessa, Yang. Kalau dalangnya belum ketangkap, pasti dia akan terus berusaha buat nyakitin Vanessa. Aku takut Vanessa kenapa-napa.”
“Aku juga takut akan hal itu, tapi kamu gak usah khawatir. Aku sama om Raka saat ini lagi mikirin gimana caranya buat nemuin dan nangkap dalang dari ini semua. Dan untuk keamanan Vanessa, om Raka udah punya solusi, dia akan nyuruh beberapa orang yang dia kenal buat jagain Vanessa sama Angelina selama kami berdua masih terus berusaha buat nemuin dalangnya,” jelas Galen panjang lebar.
“Walaupun kayak gitu tetep aja aku khawatir, gimana kalau kita pindahin aja Vanessa ke sekolah yang lebih aman?” saran Livy, menatap Galen dengan sangat sendu.
“Dan misahin dia dengan Angel dan Karin? Kamu yakin mau misahin mereka bertiga?” tanya Galen, “Kita gak tau, loh, di sekolah yang baru nanti Vanessa bisa dapat temen sebaik mereka berdua atau gak.”
Livy diam, merutuki dirinya karena telah memiliki pemikiran untuk memindahkan Vanessa ke sekolah baru, dan tidak memikirkan perasaan sang calon adik ipar jika harus berpisah dengan Angelina dan Karina.
“Sayang, percaya sama aku, ini adalah pilihan yang paling baik. Walaupun aku harus pusing dan bahkan sampai gila karena nyari dalangnya, aku gak papa. Yang penting, Vanessa aman dan bisa hidup bahagia,” ujar Galen, memberikan elusan lembut di kedua pipi Livy.
To be continued :)