Demi menyelamatkan perekonomian keluarganya, Herlina terpaksa menikah dengan Harlord, seorang CEO muda yang tampan, namun terkenal dengan sifat dingin dan kejam tanpa belas kasihan terhadap lawannya.
Meski sudah menikah, Herlina tidak bisa melupakan perasaannya kepada George, kekasih yang telah ia cintai sejak masa SMA.
Namun, seiring berjalannya waktu, Herlina mulai terombang-ambing antara perasaan cintanya yang mendalam kepada George dan godaan yang semakin kuat dari suaminya.
Harlord, dengan segala daya tariknya, berhasil menggoyahkan pertahanan cinta Herlina.
Ciuman Harlord yang penuh desakan membuat Herlina merasakan sensasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Entah kenapa aku tidak bisa menolaknya?" Herlina terperangah dengan perasaannya sendiri. Tanpa sadar, ia mulai menyerahkan diri kepada suami yang selalu ia anggap dingin dan tidak berperasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Y, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Kediaman orangtuanya Herlina.
Liana dan Herman sedang sibuk mempersiapkan makan malam. Aroma bumbu rempah yang harum memenuhi udara. Di atas kompor, sebuah wajan berisi sayuran tumis sedang bergoyang-goyang, sementara nasi putih sudah matang di rice cooker. Liana, dengan cekatan, memasukkan irisan bawang ke dalam wajan, sementara Herman menambahkan sedikit garam.
"Uang belanja masih ada sisa Ma-?" tanya Herman, matanya tak lepas dari sayuran yang sedang ditumis.
Liana mengangguk pelan, wajahnya serius. "Iya Pa-, tenang saja, sayuran yang mama dan Herlina tanam di teras belakang tumbuh subur, ayam-ayam kita juga bertelur tiap hari."
"Tapi ayam kita tinggal sisa 3, bulan lalu sudah kita potong satu kan," ujar Herman, memijit pelipisnya, setiap hari ia merasa cemas karena kondisi perekonomian keluarga kecilnya.
Karena adanya perkembangan model-model trend pakaian yang terus maju saat tahun 80-an, perusahaan konveksi milik Herman ayahnya Herlina, mengalami kebangkrutan.
Produk-produk dari luar negeri yang masuk kedalam negeri, membuat produk dalam negeri jadi tidak laku, akhirnya pun hutang perusahaan semakin menumpuk, para karyawan pabrik terpaksa di PHK, sampai-sampai tidak ada lagi uang yang tersisa.
Herman terpaksa menjual gedung pabrik miliknya membayar gaji san pesangon para pekerjanya. Mau tak mau ia pun harus bisa bertahan dengan jualan keliling dari rumah ke rumah menjual sisa-sisa produk konveksi di pabriknya, itu semua demi menyicil hutang perusahaan sekaligus biaya hidup sehari-hari.
Namun setelah hampir setahun menjalani kehidupan seperti ini, semakin lama semakin terasa sulit bagi Herman, karena umurnya sudah tidak lagi muda.
Sejak kemarin Herman hanya memikirkan satu-satunya cara untuk menyelamatkan perekonomian keluarganya. Ia berencana menikahkan Herlina putri kesayangannya yang tunggal kepada seorang pengusaha kaya raya yang masih lajang.
Herman berhenti mengaduk wajan sejenak, meletakkan sendok kayu di atas meja. "Aku ingat ada teman bisnisku yang punya kenalan pengusaha muda kaya raya di kota ini."
Mendengar itu Liana menatap suaminya, "Mana mungkin Herlina mau di nikahkan secara paksa, kita sudah pernah bicarakan soal ini, anak kita terlalu cinta sama si George yang tidak bekerja itu." celetuk Liana, sambil kembali memotong sayuran.
Herman mengernyitkan dahi. "Tidak ada cara lain lagi, kita harus paksa putri kita. Besok aku akan menemui rekan bisnisku supaya dia bisa memperkenalkan aku dengan pengusaha muda itu!" ucap Herman penuh tekad.
Liana menatap Herman, lalu tersenyum tipis. "Sebenarnya aku tidak suka cara ini, tapi tidak ada salahnya juga kita coba, setelah besok kamu berhasil menemui pengusaha muda itu, aku akan coba membujuk putri kita."
Herman mengangguk. "Terimakasih sayang, semoga ini memang jalan satu-satunya untuk kita keluar dari situasi yang sulit, aku tidak mau sampai harus menjual rumah peninggalan orangtuaku ini." ucapnya lirih.
Liana pun tersenyum, kemudian lanjut menumis sayuran. "Aku akan selalu mendukungmu suami ku, kalau begitu tolong panggilkan Herlina, supaya dia bantu kita menyiapkan makan malam." ucap Liana.
Sejenak Herman mengecup pipi istrinya, lalu membuka celemek dan menggantungnya, kemudian berjalan dari dapur menuju kamar Herlina.
Tok... Tok... Tok...
"Herlina, ayo kita makan malam." panggil Herman.
Namun, tidak ada jawaban. Herman menundukkan kepalanya, sedikit bingung.
"Hmm, apa dia sudah tidur karena terlalu banyak menangis?" gumam Herman.
"Herlina?" suara Herman sedikit lebih keras.
"Ayo keluar, makan malam sudah mau siap."
Namun, tidak ada suara menyahut sama sekali. Dengan hati yang mulai cemas, Herman memutar kenop pintu dan masuk.
Cekrek.
Herman terkejut kamar putrinya tampak kosong. Ternyata tak ada siapapun di dalam.
Herman berjalan menuju meja belajar Herlina. Di atasnya, ada secarik kertas yang terlipat rapi. Ia membuka kertas itu dengan tangan gemetar, membaca tulisan tangan putrinya.
"Papa, aku minta maaf. Aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Aku harus pergi untuk memperjuangkan cintaku. Mama dan Papa tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja bersama George. Terima kasih untuk segalanya. Herlina."
Selesai membaca, Herman langsung meremas secarik kertas yang ditinggalkan putrinya.
"HER... LI... NA... !!!" teriak Herman dengan geram.
.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
#TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA ❤️❤️❤️
**Jangan lupa meninggalkan jejak kebaikan dengan Like, Subscribe, dan Vote ya...~ biar Author makin semangat menulis cerita ini, bentuk dukungan kalian adalah penyemangat ku...😘😘😘**