Pada tahun 2050, bumi dilanda kekeringan dan suhu ekstrem. Keitaro, pemuda 21 tahun, bertahan hidup di Tokyo dengan benteng pertahanan anti-radiasi. Namun, tunangannya, Mitsuri, mengkhianatinya dengan bantuan Nanami, kekasih barunya, serta anak buahnya yang bersenjata. Keitaro dibunuh setelah menyaksikan teman-temannya dieksekusi. Sebelum mati, ia bersumpah membalas dendam.
Genre
Fiksi Ilmiah, Thriller, Drama
Tema
1. Pengkhianatan dan dendam.
2. Kekuatan cinta dan kehilangan.
3. Bertahan hidup di tengah kiamat.
4. Kegagalan moral dan keegoisan.
Tokoh karakter
1. Keitaro: Pemuda 21 tahun yang bertahan
hidup di Tokyo.
2. Mitsuri: Tunangan Keitaro yang mengkhianatinya.
3. Nanami: Kekasih Mitsuri yang licik dan kejam.
4. teman temannya keitaro yang akan
muncul seiring berjalannya cerita
Gaya Penulisan
1. Cerita futuristik dengan latar belakang kiamat.
2. Konflik emosional intens.
3. Pengembangan karakter kompleks.
4. Aksi dan kejutan yang menegangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifky Aditia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: KEHIDUPAN DIHUTAN
Beruang besar itu terus berjalan Kelompok itu mencoba mengejarnya tanpa menimbulkan suara berlebihan.
Setelah berjalan selama hampir setengah jam, mereka tiba di sebuah area terbuka di tengah hutan. Di sana, dua pohon besar menjulang tinggi, cabang-cabangnya membentuk kanopi yang hampir sepenuhnya menutupi langit. Di antara dua pohon itu terdapat sebuah gua besar yang terlihat gelap dan menyeramkan.
Beruang itu berhenti di depan gua tersebut, matanya memandang pintu masuk dengan penuh kewaspadaan. Ia menggeram pelan, seolah memberikan peringatan.
"Jadi, ini tempat tinggal orang tuanya?" tanya kenta sambil menatap gua itu.
Keitaro mendekati beruang dan berjongkok di sampingnya. "Tidak apa apa, aku yakin orang tuamu memaafkan apapun kesalahanmu" bujuknya pelan
"Iya tenang saja, kemarin mereka menyelamatkanmu saat kamu dalam bahaya kan, jadi aku yakin orang tua mu masih menyayangimu" sambung Ayane.
Beruang itu mengangguk, meskipun terlihat sedikit ragu.
"Tapi aku punya firasat buruk tentang tempat ini," kata Reina sambil menggenggam senapan busurnya erat-erat.
"Semua firasat kita buruk," ujar Keitaro mulai berdiri "Tapi kita tetap harus membantu beruang kita."
Keitaro memberikan isyarat kepada timnya. "Kita masuk perlahan. Jangan lakukan gerakan yang dianggap mengancam. Kalau ada masalah, kita langsung mundur."
Mereka mulai memasuki gua dengan langkah hati-hati. Suara langkah kaki mereka bergema di dalam gua yang dingin dan lembap. Dinding gua dipenuhi lumut. Beruang Keitaro menoleh ke Keitaro, lalu menggeram pelan, seolah meminta mereka untuk mengikutinya lebih dalam.
"Apa maksudnya?" tanya Reina.
"Kita harus masuk lebih dalam," jawab Keitaro. "Tapi tetap waspada."
Mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti beruang itu ke dalam gua. Suasana semakin gelap dan mencekam. Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi tulang belulang dan sisa-sisa makanan. Di tengah ruangan, ada sesuatu yang menarik perhatian mereka, sebuah patung besar yang tampak kuno, berbentuk seperti manusia dengan kepala beruang.
"Apa-apaan ini?" gumam Ayane sambil melihat sekeliling.
Keitaro mendekati patung itu dengan hati-hati. "Ini sepertinya rumah mereka," ujarnya. "Tapi kenapa patung ini terlihat seperti manusia?"
Sebelum ada yang sempat menjawab, beruang mengaum keras, seolah memperingatkan sesuatu. Suara gemuruh mulai terdengar dari arah pintu masuk gua.
"Eh ada apa?" tanya Reina panik.
Shoji segera memeriksa. "Sepertinya ada sesuatu yang bergerak mendekati gua ini... dan itu besar!"
Keitaro segera memberikan perintah. "Siapkan senjata! Apa pun yang datang, kita harus siap menghadapinya."
Suara gemuruh semakin keras, tanah di bawah kaki mereka bergetar, dan udara di sekitar mereka terasa tebal. Keitaro melirik beruang yang berdiri di sampingnya, tubuhnya tegang seperti ketakutan.
"Kenapa dia? Baru kali ini aku melihatnya ketakutan seperti ini," bisik Ayane dengan suara gugup, sambil menatap Keitaro.
Keitaro menatap ke dalam kearah jalan keluar, mendengar langkah-langkah berat yang semakin mendekat. Aura mengancam yang memancar dari bayangan itu membuat seluruh tubuhnya siaga. "Ambil posisi, jangan biarkan kita terjebak.
Kenta, Shoji, dan aku di depan, Ayane, Reina, kalian tetap di belakang."
Mereka semua bergerak ke posisi masing-masing, meski ketegangan terlihat jelas di wajah mereka. Kenta dan Shoji bersiap dengan senjata berat mereka, sementara Ayane dan Reina menggenggam senapan busur mereka dengan tangan gemetar.
Langkah-langkah berat semakin dekat, gemuruh yang ditimbulkannya membuat dinding gua bergetar. Bayangan besar mulai muncul di ujung kegelapan, perlahan menampakkan dirinya.
"Apa itu...?" suara Kenta terdengar bergetar saat matanya membelalak.
Di depan mereka, dua makhluk besar muncul. Tubuhnya hampir dua kali lipat lebih besar dari beruang yang mereka kenal. Bulu hitam tebal menutupi tubuh mereka, sementara cakar tajamnya menggoreskan suara gemerisik pada lantai batu gua. Tatapan matanya bersinar merah darah, memancarkan aura yang membuat tubuh siapa pun gemetar.
"Makhluk itu... benar benar lebih besar dari beruang yang kita kenal," Shoji berkata dengan nada serius, memindai tubuh mereka. "Apa ini... induk dari beruang itu?"
Ayane tampak lemas, wajahnya pucat. "I-itu beruang yang kami lihat dulu," gumamnya.
Beruang keitaro mendekat lalu menundukkan kepalanya dengan hormat kearah dua beruang besar itu.
Keitaro memperhatikan setiap gerakan mereka dengan cermat, menyadari bahwa makhluk itu tidak langsung menyerang. Sebaliknya, ia hanya mengamati mereka, seolah mencoba mengerti kehadiran mereka.
"Apa yang mereka lakukan?" tanya Reina dengan suara rendah.
"Mungkin mereka sedang berkomunikasi," jawab Keitaro. "Beruang itu mungkin ingin membuktikan dirinya kepada induknya. Kita harus memberi mereka ruang."
Tiba-tiba, makhluk besar itu mengeluarkan suara yang lebih dalam dan lebih berat, yang seperti menggema di seluruh gua. Keitaro merasa perutnya mual mendengar suara itu, tapi dia tetap bertahan, menunggu dengan sabar.
Beruang Keitaro mengeluarkan suara lembut, seolah menjawab makhluk itu. Keitaro merasakan getaran kuat yang mengalir melalui tubuhnya. Ada kedamaian dalam suara itu seperti sebuah permintaan maaf yang tulus.
Makhluk besar itu mengangguk, matanya yang merah bersinar lebih terang, seolah memberi restu permintaan maafnya.
"Mereka sudah menyelesaikan masalah mereka," kata Keitaro pelan. "Itu artinya, kita tidak perlu bertarung."
beruang besar yang tampak seperti ibunya mendekatkan tubuhnya ke beruang keitaro, lalu menjilat punggungnya dengan lembut, seolah memberi perhatian dan kasih sayang. sementara Beruang besar yang terlihat seperti ayahnya hanya berdiri diam, menyaksikan itu.
"Jadi, dia benar-benar... ayahnya?" tanya Reina, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
"Sepertinya begitu," jawab Keitaro, meskipun ia sendiri merasa bingung. "Beruang ini sudah tumbuh, dan sekarang mereka berbaikan dengan induknya. Mungkin mereka akan bertahan hidup bersama di hutan ini."
Namun tiba tiba muncul sosok dari kegelapan
yang membuat Keitaro dan yang lain terkejut.