Di SMA Triguna Jaya, kelas 11 IPS 5 dikenal sebagai "Kelas Terakhir." Diremehkan oleh murid lain, dianggap kelas paling terakhir, dan dibayangi stigma sebagai kelas "kurang pintar," mereka selalu dianggap sepele. Namun, di balik pandangan sinis itu, mereka menyimpan sesuatu yang tak dimiliki kelas lain: talenta tersembunyi, kekompakan, dan keluarga yang mereka bangun sendiri.
Ketika cinta segitiga, persaingan ambisi, dan prasangka mulai menguji persahabatan mereka, batas antara solidaritas dan perpecahan menjadi kabur. Apakah mereka bisa menjaga mimpi bersama, atau akan terpecah oleh tekanan dunia luar?
©deluxi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alona~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Antara Mimpi dan Tuntutan
...۪ ׄ ۪ 🎀 Disclaimer‼️: ׂ 𖿠𖿠...
...Semua cerita ini hanyalah cerita fiksi. Jika ada kesamaan dari nama, karakter, lokasi, tokoh, itu semua karena unsur ketidaksengajaan. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menulis. ...
...۪ ׄ ۪ 🌷 Happy Reading 🌷: ׂ 𖿠𖿠...
Malam itu, suasana rumah keluarga Wiratama begitu sunyi, tetapi terasa penuh ketegangan yang menusuk. Ruang makan yang biasanya hangat kini terasa dingin. Lampu gantung yang temaram hanya menambah kesan suram dalam percakapan yang belum dimulai.
Heera duduk di ujung meja makan dengan kepala tertunduk, jemarinya saling meremas, berusaha menenangkan diri yang sedang diliputi rasa takut. Matanya terlihat sedikit sembab, namun ia berusaha keras menutupinya.
Di hadapannya, Pak Darman duduk dengan punggung tegap. Wajahnya kaku, penuh wibawa, dan dingin. Sorot matanya yang tajam menatap Heera dengan ekspresi yang sulit diartikan—bukan sekadar kemarahan, melainkan kekecewaan yang dalam.
Suasana hening semakin mencekam. Hanya dentingan sendok yang sesekali beradu dengan piring yang terdengar, seolah menjadi satu-satunya suara yang mampu memecah keheningan itu.
Akhirnya, suara berat Pak Darman terdengar, memecah kesunyian dengan nada yang terkontrol, namun tegas.
“Jadi, benar kamu mengikuti lomba menari lagi, Heera? Dan bolos les selama ini?”
Heera menelan ludah, mengangguk pelan. Ia berusaha mengumpulkan keberanian, meski suaranya bergetar ketika akhirnya berbicara.
“Heera nggak bolos, Yah. Heera hanya izin sebentar. Latihan dance, kemarin penting karena mau ada kompetisi. Heera nggak pernah ninggalin pelajaran kok.”
Wajah Pak Darman mengeras. Suaranya tetap tenang, namun intonasinya berubah menjadi lebih menekan.
“Jangan membela diri, Heera. Nilai matematika kamu turun minggu lalu. Itu bukti kamu tidak fokus. Kamu pikir Ayah bekerja keras siang malam agar kamu bisa menari di panggung seperti anak kecil? Bukan untuk itu, Heera! Masa depan kamu adalah pendidikan, bukan sekadar hobi yang nggak ada gunanya.”
"Lihat, Bian. Dia mampu mengambil posisi kamu hanya dalam sekejap! Jangan sampai posisi kamu juara pertama paralel digantikan oleh dia!"
Heera semakin menunduk, matanya mulai memerah, namun ia tetap mencoba mempertahankan suaranya yang gemetar.
“Tapi, Yah. Aku juga belajar. Aku nggak pernah gagal ngerjain tugas. Aku suka dance, aku serius di sini. Bahkan, aku kemarin juara satu di lomba nasional.”
Pak Darman mendengus, lalu meletakkan sendoknya dengan sedikit lebih keras.
“Juara? Juara menari yang tidak berarti apa-apa, Heera! Apa dengan menari kamu bisa mendapatkan masa depan yang pasti? Apa itu menjamin kamu bisa membanggakan keluarga ini? Jangan naif! Hanya pendidikan yang bisa membawa kamu sukses!”
Suasana semakin tegang. Heera merasa dadanya sesak. Air matanya mulai menetes, tapi ia menahannya sekuat tenaga.
“Tapi aku juga bisa sukses dengan dance, Yah! Aku bisa seimbang, belajar dan menari. Aku janji, aku akan membuktikannya...”
Pak Darman menggeleng keras. Wajahnya memancarkan ketidaksetujuan yang dalam.
“Tidak ada pembuktian, Heera! Kamu akan ikut les tambahan mulai besok. Tidak ada lagi latihan menari yang mengganggu pendidikan kamu. Jika kamu benar-benar ingin membuat Ayah bangga, fokuslah pada akademik. Itu saja!”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Pak Darman bangkit dari kursinya. Ia merapikan berkas di meja, lalu melangkah pergi menuju kamarnya. Namun sebelum menutup pintu, ia menoleh dan mengucapkan kalimat terakhir yang membuat Heera benar-benar terpuruk.
“Ayah melakukan ini karena peduli. Ingat itu, Heera.”
Pintu kamar tertutup. Sunyi kembali mendominasi ruangan.
Heera hanya bisa menunduk, air matanya tak mampu lagi dibendung. Ia menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan, tubuhnya bergetar hebat. Rasanya seperti seluruh dunia sedang menekan dirinya dari segala arah.
Ibunya, Dhara, mendekat dengan suara yang jauh lebih lembut. Ia mengusap punggung Heera dengan penuh kasih sayang.
“Heera, sudah, Ayahmu keras bukan karena ingin menyakitimu. Dia hanya ingin yang terbaik untukmu. Turuti saja, Nak. Ibu yakin, suatu saat nanti kamu akan mengerti maksud Ayah.”
Heera hanya mengangguk lemah. Namun, dalam hatinya, ada perasaan terjebak yang tidak bisa diungkapkan.
Ia ingin membanggakan ayahnya. Ia ingin menjadi anak yang berprestasi. Tapi mengapa harus dengan cara mengorbankan apa yang ia cintai?
...🌷 🌷 🌷...
Pagi harinya, suasa kelas IPS 5 seperti biasa dipenuhi kekacauan yang khas. Suara ribut, gelak tawa, dan kelakuan absurd seolah menjadi rutinitas wajib di kelas mereka.
"WOY, WOY, ADA YUDA DI DALAM LEMARI, BAN*SAT! HAHHAHA!" teriak Sandi heboh sambil ngakak keras.
Ternyata, si Yuda ini memang beneran ngumpet di dalam lemari peralatan kelas. Entah bagaimana ceritanya, yang jelas sekarang dia gak bisa keluar gara-gara terkunci di luar.
"ANJ*NG, BUKA PINTUNYA BEG*! SUMPAH GUE PENGAP NIH! SANDI, RADEN, HANIF, HAIKAL, BUKA BANGS*T!"
Haikal, Hanif, Sandi, dan Raden bukannya membuka pintu lemari, mereka malah merekam untuk bikin story instagram mereka.
"KATANYA MAU MAIN PETAK UMPET, KO MAU KELUAR SIH?!" ucap Haikal.
Jia yang daritadi sibuk mengabsen anak-anak kelas di bangkunya, langsung bangkit dengan wajah cape. "Ya allah, kelas ini kenapa kaya kebun binatang sih. Haikal, bukain pintunya, itu kasian Yuda nanti kehabisan nafas!"
Mendapat teguran dari sang mama, mau tak mau Haikal membuka pintu lemari dengan terpaksa.
"ANJ*R! LAMA BANGET SI LO PADA BUKANYA?! GUE PENGAP NI ANJ*R!" bentak Yuda sambil ngusap wajahnya.
"Mama! Liat nih, masa dede di giniin sih?" Yuda mengadu pada Jia. Seperti yang dijelaskan dalam part pertama, Yuda ini bocil Jia, apa-apa ngadu ke Jia, makanya gak heran.
"Makanya jangan bandel! Ngapain sih lo pake acara masuk ke dalam lemari segala? Udah tau tubuh lo gede!" bukannya membela sang bocil, ia malah berucap ketus, membuat seisi kelas menertawakannya.
"Hahahah, mampus lo, Yud!"
DI bagian belakang, ada Jildan, Juan, Sherly, Kalisha, dan Nade lagi joget tiktok dengan heboh, gara-gara anak cowo yang selalu lupa gerakan.
"KANAN DULU, BEG*! BARU KIRI!"
"IYA ANJ*R GUE LUPA!"
Di tengah kekacauan itu, ada satu orang yang berbeda dari biasanya. Heera, yang biasanya ikut ketawa dan nimbrung, justru diam di kursinya, memandangi jendela dengan tatapan kosong. Tangannya terlipat di atas meja, dan wajahnya terlihat sendu.
Hanna, yang duduk di samping Heera, nyenggol pelan. "Ra, lo kenapa? Dari tadi diem aja? Biasanya ikut ketawa."
Heera hanya menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Han. Cuma lagi capek aja.”
Namun Hanna tahu, ada sesuatu yang disembunyikan. "Seriusan? Kalau ada apa-apa cerita aja. Jangan dipendem sendiri, Hee.”
Heera menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia harus berbagi, tapi luka dari semalam masih begitu menyesakkan.
“Nanti ya, Han. Kalau gue udah siap cerita, gue bakal cerita.”
Dan untuk pertama kalinya, kelas yang penuh kekacauan itu terasa begitu sunyi... setidaknya bagi Heera. Karena dalam hatinya, ada pertarungan besar yang belum selesai.
...🌷 🌷 🌷...
...Aku gak bakalan bosan bosan mengingatkan kalian, jangan lupa tinggalkan jejak ya, seperti vote, komen, dan tambahkan ke favorit kalian ya😉🌷...
...Sampai ketemu di part selanjutnya 🌷...
...ִ ׄ ִ 𑑚╌─ִ─ׄ─╌ ꒰ To be continued ꒱ ╌─ׄ─۪─╌𑑚 ۪ ׄ...