Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Pesanan yang bolu pisang itu dari handphone kamu, ya?."
"Bukan, ini teman pabrik. Anaknya mau khitan. Belum ada yang pesan kalau lewat handphone."
Laila mengangkat.
"Tapi kalau rasanya tidak sesuai yang diinginkannya bagaimana?."
"Tadi yang aku makan itu sudah sangat sempurna."
"Jam berapa sudah harus saya antar."
"Nanti biar aku antar saja."
Arman sudah pulang sebelum magrib. Tapi setelah magrib akan ke rumah itu lagi untuk belajar dan bermain bersama Halwa dan Salwa. Hanya sesekali saja Karena keterbatasan tenaga dan waktu, maka dengan sangat menyesal Ibu Laila menghentikan les kedua putrinya untuk sementara waktu.
Tapi syukurnya ada Arman yang selalu mau membantunya, meluangkan waktu dari pekerjaannya dan di pabrik untuk mengajari anak-anak membuat kerajinan dari kertas origami. Hanya seminggu dua kali saja.
Dari kejauhan Pak Dadang datang sudah mematikan mesin kendaraan bermotor roda duanya. Mendekati Arman dan anak-anak yang memang belajar di teras.
"Salwa, Ibu kamu ada?."
"Ada di dalam."
"Tolong panggil."
"Iya" Salwa bergegas ke dalam memanggul Ibunya.
Salwa kembali keluar bersama sang Ibu.
"Ada apa Pak Dadang."
"Kata Linda kalau masih ada pisangnya digoreng lagi."
"Yang tadi sudah habis?."
"Iya, tapi masih banyak yang mau beli. Makanya kalau ada digoreng saja."
"Ada, Pak Dadang."
"Setengah jam lagi aku ambil."
"Iya."
"Tidak usah ke sini lagi, Pak Dadang. Biar saya antar saja. Di kampung sebelah yang di lapangan besar itu 'kan?." Arman ikut bisa suara, menawarkan tenaganya.
"Ya sudah tidak apa-apa."
Pak Dadang pun pamit.
Laila segera ke dapur dan tanpa sepengetahuannya Arman mengikuti
"Maaf aku lancang, tapi aku mau membantu."
Tidak perlu, lebih baik kamu di depan saja. Temani Salwa dan Halwa."
"Kamu risih kalau kita seperti ini?."
"Sejujurnya iya, karena saya tidak terbiasa. Maaf, ya."
"Oke, aku paham." Arman pun segera keluar sambil menyesali tindakan bodohnya yang dapat mempersulit hidup Laila.
Tidak banyak yang bisa digoreng Laila dalam waktu tiga puluh menit, hanya dapat dua puluh saja. Arman segera mengantarnya. Sesampainya Arman di sana, Teh Linda sudah melambaikan tangan. Arman segera menghampirinya. Dan seketika pisang goreng pun langsung habis di depan Arman. Laki-laki itu tersenyum. Laila memang membutuhkan orang-orang yang mau menjual makanannya.
"Laris manis ya, Teh?."
"Alhamdulillah, tapi memang pisang goreng Laila enak. Walau sudah dingin tapi tetep kriuk, manisnya itu pas. Apalagi bolu paling cepat habisnya. Kue yang lainnya juga enak" Jawab Teh Linda sembari bebenah karena mau langsung pulang.
"Iya."
"Besok aku mau bawa yang banyak kalau Laila bisa membuat banyak. Dua hari ini tidak pernah sampai selesai filmnya."
"Iya, nanti kita bicarakan sama Laila."
Teh Linda mengangguk. Dan mereka beriringan pulang dengan motor masing-masing.
Setibanya di rumah Laila, Teh Linda langsung menyerahkan semua uang hasil penjualan. Malam ini Teh Linda mendapatkan banyak dari malam kemarin. Perempuan itu juga meminta dibawakan banyak jualan di hati terakhir pemutaran film layar tancap.
"Bisa buat kue lebih banyak dari kemarin?." Tanya Arman setelah Teh Linda dan Pak Dadang pulang.
"Saya usahakan" jawab Laila. Tapi kemungkinannya akan sama dengan kemarin karena itu pun dimulai dari subuh sampai Teh Linda mengambilnya.
*****
Sebelum shalat subuh Arman sudah berada di teras rumah Laila. Laki-laki membawa kompor empat tungku dan langsung dipasangkan gas berukuran besar dua buah supaya tidak membahayakan. Ada juga panci kukusan dan kuali berukuran besar.
Sebentar Arman meninggalkan teras karena panggilan terhadap kewajibannya. Untung saja ada surau yang tidak jauh dari rumah Laila.
Tidak sampai dua puluh lima menit Arman berada di surau, kini laki-laki itu sudah kembali lagi. Sudah ada Laila dan kedua anaknya di teras.
"Kamu yang bawa ini semua?." Walau tidak tahu tapi Laila dapat pastikan kalau semua ini sangat mahal harganya.
"Iya, supaya membantumu."
"Sebenarnya tidak perlu seperti ini. Semampu saya saja, saya tidak ingin memaksakan kalau memang tidak ada dan tidak bisa."
"Kamu tidak tahu ada begitu banyak orang di sana yang menyukai makanan buatan kamu. Sudah seperti lautan manusia, sebab datang dari kampung-lampung lain juga. Apalagi malam ini terakhir pemutaran film layar tancapnya. Kemarin saja pisang goreng langsung habis."
"Kalau tidak begini saja, nanti kalau sudah tidak terpakai aku ambil lagi. Bagaimana?."
Laila tampak berpikir, memang ini yang sangat dibutuhkan selain tenaganya. Karena yang paling memakan waktu ya untuk mengukus. Karena keterbatasan kompor dan panci kukus.
"Setelah buat bolu pisang pesanan teman aku baru aku bawa lagi semua ini."
Laila mengangguk.
Disisa waktu dua jam sebelum berangkat ke pabrik, Arman menyematkan diri membantu Laila. Mengukus kue kacamata dan kue nagasari. Laila sendiri berada di dapur membuat adonan bolu pisang.
"Aku harus kerja, sebentar lagi Teh Linda ke sini membantu kamu."
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Arman mengendarai motor motornya meninggalkan rumah Laila. Masih saja ada yang menggunjing tapi suaranya sudah tidak se-vokal dulu. Kini mereka hanya berbisik-bisik saja. Tapi bukan Teh Yayuk lagi yang memimpin karena perempuan itu sedang berada di rumah orang tuanya yang sakit.
"Dasar ya laki-laki mah sama saja, tidak boleh ada perempuan menganggur langsung disikat saja."
"Tapi kayanya cuma Pak Arman deh yang mau dekat dengan Laila. Laki-laki sini sudah pada takut kena sialnya. Masa iya Pak Arman tidak takut sial, ya?."
"Mungkin laki-laki kota seperti Pak Arman tidak percaya yang begitu-begitu."
"Bisa jadi."
"Tapi Pak Arman sudah punya pacar belum sih?."
"Yang aku dengar punya tunangan di kota asalnya."
"Ya wajarlah, Pak Arman orangnya tampan. Di pabrik juga jadi rebutan."
"Iya sih sangat tampan malahan."
Selang setengah jam dari kepergian Arman, Teh Linda datang dengan sepeda motornya. Teh Linda langsung naksir kompor Laila.
"Teh Linda mau bantu Ibu, ya?." Salwa keluar dari rumah, menaruh beberapa panci kosong di dekat kompor.
"Iya, Ibu mana?."
"Ada di dapur."
"Masuk saja, tadi Ibu pesannya seperti itu."
"Ya sudah, ayo masuk sama kamu!."
"Iya, Teh Linda."
Teh Linda langsung diajak ke dapur. Membantu Laila sesuai arahan dari perempuan berhijab putih polos itu.
"Maaf ya, Teh Linda. Saya jadi nyuruh-nyuruh."
"Tidak apa-apa, Laila. Lagi pula aku tidak tahu harus bantu apa. Jangan sungkan bilang saja."
"Iya, Teh. Terima kasih."
Hening untuk beberapa saat, keduanya begitu fokus pada pekerjaan yang tidak sepele itu. Tapi entah kenapa Teh Linda merasa senang bisa ikut terlibat langsung membantu Laila.
"Laila."
"Iya."
"Kamu masih muda, tidak ingin menikah lagi?."
Bersambung.....
jangan lupa dateng aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
jangan lupa mampir di beberapa karyaku ya😉