> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Tanpa Cinta: Bagian 8
Bagian 8: Cahaya di Tengah Kegelapan
Malam itu, aku masih merasa hangat memikirkan festival kampus. Gantungan kunci berbentuk hati yang kuberikan pada Sayuri terasa seperti simbol kecil, meskipun aku tahu itu hanya benda sepele. Tetapi, ada sesuatu tentang hari itu yang membuatnya terasa berbeda, seperti langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar.
Namun, takdir selalu punya cara untuk menguji harapan.
Ponselku tiba-tiba bergetar. Aku mengangkatnya dari meja belajar, membaca pesan yang baru masuk.
> [Pengumuman Kampus]: Kebakaran terjadi di Asrama Timur pukul 21:45. Penghuni asrama telah dievakuasi dengan selamat. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.
Asrama Timur? Jantungku langsung berdebar. Itu tempat tinggal Sayuri, bukan?
Aku segera mengambil jaketku dan berlari ke luar, tanpa peduli dinginnya udara malam. Pikiran tentang Sayuri memenuhi kepalaku. Dia tidak apa-apa, kan?
Ketika aku sampai di asramanya, suasana dipenuhi cahaya merah berkedip dari mobil pemadam kebakaran. Mahasiswa berkumpul di sekitar area evakuasi, sebagian besar tampak bingung dan khawatir.
Aku mencari-cari sosok Sayuri di antara kerumunan. Butuh beberapa menit sebelum aku menemukannya duduk di bangku dekat ambulans, wajahnya pucat dengan selimut melilit tubuhnya.
“Sayuri!” panggilku, berlari ke arahnya.
Dia menoleh perlahan, dan meskipun dia tampak baik-baik saja secara fisik, ada sesuatu yang hampa di matanya.
Malam itu, dingin terasa lebih menusuk dari biasanya. Aku masih bisa mencium aroma asap tipis yang terbawa angin dari arah asrama timur, tempat tragedi kecil itu terjadi.
Sayuri berjalan di sampingku, langkahnya pelan seperti orang yang kehilangan arah. Dia memegang selimut pinjaman dari tim evakuasi, tetapi bahkan itu tidak bisa menutupi gemetar tubuhnya.
Aku melirik ke arahnya, hati terasa sesak melihatnya seperti ini. Dia selalu terlihat kuat, percaya diri, dan sedikit licik. Tapi sekarang dia seperti bayangan dari dirinya yang biasa.
“Sayuri…” Aku memecah keheningan.
Dia menoleh sedikit, tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Kau… benar-benar baik-baik saja?” tanyaku hati-hati.
Dia tersenyum kecil, meskipun aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. “Aku baik-baik saja, Takuto-kun. Aku hanya… lelah.”
Aku tidak percaya sepenuhnya, tapi aku tidak ingin memaksanya berbicara lebih banyak. “Ayo ke tempatku. Kau bisa istirahat di sana malam ini.”
...****************...
Saat kami tiba di kamarku, aku langsung mengeluarkan selimut cadangan dan memberikannya padanya. “Ini. Gunakan saja tempat tidurku. Aku bisa tidur di kursi.”
Dia memandangku lama, lalu tertawa kecil. “Kau terlalu baik, Takuto-kun. Kau tahu, aku sebenarnya tidak suka berutang budi pada siapa pun.”
Aku mendengus, mencoba menyembunyikan rasa gugupku. “Ini bukan soal utang budi. Membantu orang yang kesusahan adalah hal yang wajar bukan? Apalagi kau temanku.”
Dia duduk di tepi tempat tidur, menghela napas panjang. “Kalau begitu… terima kasih.”
Aku mengangguk, lalu duduk di atas kursi di seberang kamar. Kami terdiam selama beberapa saat, hanya mendengarkan suara jam dinding yang berdetak pelan.
“Apa semua barangmu… habis?” tanyaku akhirnya.
Dia mengangguk pelan sembari memainkan gantungan kunci yang kuberikan tadi dengan jemarinya. “Ya. Tidak ada yang tersisa. Foto keluarga, buku catatan, semua hal kecil yang penting bagi hidupku…” Dia berhenti sejenak, menunduk. “Rasanya seperti bagian dari diriku juga ikut terbakar.”
Aku menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. “Ah… maaf. Maaf telah bertanya. Maaf karena aku tidak bisa membantu apa-apa."
Dia menatapku, senyumnya kembali muncul. “Jangan merasa bersalah, Takuto-kun. Ini bukan salahmu.”
“Tapi tetap saja…” Aku berhenti, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Kau tidak harus menanggung semuanya sendirian.”
Dia tertawa kecil, meskipun ada nada getir di balik tawanya. “Hmm... kau ini. Kau selalu seperti ini, ya? Ingin menjadi pahlawan.”
Setelah beberapa saat, aku bangkit untuk membuat dua cangkir teh. Ketika aku kembali, dia masih duduk di tempat yang sama, memandangi lantai seolah-olah mencari sesuatu yang hilang.
“Kau tahu…” katanya pelan sambil menerima cangkir teh dariku. “Aku tidak pernah benar-benar merasa nyaman menunjukkan sisi lemah diriku kepada orang lain.”
Aku duduk di kursi di depannya, menatapnya dengan serius. “Kenapa?”
Dia terdiam lama, lalu akhirnya berkata, “Karena aku tidak ingin terlihat lemah. Dunia ini tidak memberi kita ruang untuk kelemahan, Takuto-kun.”
Aku mengerutkan kening. “Tapi itu bukan berarti kau harus menyimpan semuanya sendirian. Kadang, menunjukkan kelemahan adalah tanda kekuatan juga.”
Dia tersenyum tipis, meskipun matanya terlihat lelah. “Mungkin kau benar. Tapi tetap saja, aku merasa itu sulit.”
Aku tidak tahu kenapa, tapi kata-katanya membuatku ingin melindunginya lebih dari sebelumnya. “Sayuri, kau tidak harus menghadapi ini sendirian. Kau bisa meminta bantuan padaku."
Dia menatapku lama, seolah-olah mencoba membaca niatku. Lalu, dia mengangguk pelan. “Terima kasih, Takuto-kun.”
Malam itu, aku duduk di meja belajarku, mencoba menyibukkan diri dengan tugas, sementara Sayuri berbaring di tempat tidurku. Tapi setelah beberapa menit, aku mendengar suaranya.
“Takuto-kun.”
Aku menoleh. Dia sedang menatap langit-langit, matanya terlihat sayu. “Apa kau pernah merasa bahwa kau tidak tahu siapa dirimu sebenarnya?”
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaannya. “Kadang. Tapi aku rasa itu bagian dari hidup. Kita semua terus mencari tahu siapa kita sebenarnya.”
Dia menghela napas. “Aku merasa seperti hidupku penuh kebohongan. Aku terus berpura-pura menjadi seseorang yang bukan sepenuhnya aku.”
“Apa maksudmu?” tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.
Dia tertawa kecil, meskipun ada nada pahit di dalamnya. “Ah, lupakan saja. Itu cuma pemikiran larut malam.”
...****************...
Ketika aku akan kembali ke mejaku, dia tiba-tiba berkata, “Takuto-kun, terima kasih.”
Aku berhenti, menoleh padanya. “Untuk apa?”
“Untuk semuanya,” katanya pelan. “Untuk berada di sini, untuk mendengarkan, dan untuk membuatku merasa bahwa aku tidak sepenuhnya sendirian.”
Aku merasa hangat mendengar kata-katanya, meskipun aku tahu ini hanya langkah kecil. Tapi malam itu, aku merasa bahwa dinding di antara kami mulai runtuh sedikit demi sedikit.
aku mampir ya 😁