Ji An Yi adalah seorang gadis biasa yang mendapati dirinya terjebak di dalam dunia kolosal sebagai seorang selir Raja Xiang Rong. Dunia yang penuh dengan intrik, kekuasaan, dan cinta ini memaksanya untuk menjalani misi tak terduga: mendapatkan Jantung Teratai, sebuah benda mistis yang dapat menyembuhkan penyakit mematikan sekaligus membuka jalan baginya kembali ke dunia nyata.
Namun, segalanya menjadi lebih rumit ketika Raja Xiang Rong-pria dingin yang membencinya-dan Xiang Wei, sang Putra Mahkota yang hangat dan penuh perhatian, mulai terlibat dalam perjalanan hidupnya. Di tengah strategi politik, pemberontakan di perbatasan, dan misteri kerajaan, Ji An terjebak di antara dua hati yang berseteru.
Akankah Ji An mampu mendapatkan Jantung Teratai tanpa terjebak lebih dalam dalam dunia penuh drama ini? Ataukah ia justru akan menemukan sesuatu yang lebih besar dari misi awalnya-cinta sejati yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
Keesokan harinya, Ji An kembali dengan tekad yang bulat. Meskipun peringatan dari Permaisuri Yang Xi masih terngiang di telinganya, ia tidak berniat menyerah begitu saja. Ji An yakin bahwa jika ia cukup sabar dan tulus, perlahan Raja Xiang Rong akan melihat usahanya.
Pagi itu, Ji An memutuskan untuk membawa sarapan istimewa ke ruang kerja Raja Xiang Rong. Kali ini, ia membuat sendiri hidangan bubur jamur dengan kaldu ayam yang kaya rasa, ditemani teh herbal hangat untuk membantu menenangkan pikiran Raja yang pasti sedang lelah dengan urusan negara.
Ketika ia tiba di ruang kerja, Ji An mengetuk pintu dengan lembut.
“Masuk,” suara dalam Raja Xiang Rong terdengar datar seperti biasa.
Ji An membuka pintu dengan hati-hati dan melangkah masuk. Seperti sebelumnya, Raja Xiang Rong sedang tenggelam dalam dokumen-dokumen di mejanya. Ia hanya melirik sekilas ke arah Ji An sebelum kembali fokus.
“Kau lagi?” katanya dengan nada dingin. “Apa kau tidak lelah melakukan ini setiap hari?”
Ji An tersenyum tipis, meletakkan nampan di atas meja kecil. “Yang Mulia, hamba hanya ingin memastikan Anda memulai hari dengan baik. Sarapan penting untuk menjaga kesehatan.”
Raja Xiang Rong menatapnya tajam. “Kesehatanku bukan urusanmu, Ji An Yi.”
Namun, alih-alih merasa tersinggung, Ji An tetap tenang. Ia membuka tutup mangkuk bubur dan aroma harum langsung memenuhi ruangan. “Kalau begitu, anggap ini sebagai tugas kecil dari hamba untuk menunjukkan rasa hormat kepada Yang Mulia.”
Raja Xiang Rong diam beberapa saat, lalu mengambil sendok. Ia mencicipi bubur itu tanpa ekspresi, tetapi Ji An melihat sekilas perubahan di matanya.
“Kau cukup pandai memasak,” ujar Xiang Rong akhirnya, meskipun nadanya tetap datar.
Ji An tersenyum, meskipun tahu pujian itu hanya setengah hati. “Terima kasih, Yang Mulia. Jika Anda menyukainya, hamba akan membuatkan lagi lain kali.”
“Tidak perlu,” balas Xiang Rong cepat. “Aku tidak butuh perhatianmu. Jangan berpikir bahwa ini akan mengubah apapun.”
Ji An menundukkan kepala, menyembunyikan rasa frustrasinya. “Hamba mengerti, Yang Mulia.”
Ketika ia berbalik untuk pergi, Raja Xiang Rong tiba-tiba berkata, “Ji An Yi.”
Ji An berhenti, berbalik dengan harapan kecil di hatinya.
“Berhati-hatilah,” kata Raja Xiang Rong pelan, suaranya nyaris seperti peringatan. “Semakin sering kau melakukan ini, semakin banyak mata yang mengawasimu.”
Ji An terkejut mendengar nada perhatian dalam suara itu. “Hamba akan berhati-hati, Yang Mulia,” jawabnya pelan sebelum meninggalkan ruangan.
Di luar, Ji An menarik napas panjang. Meskipun Raja Xiang Rong masih bersikap dingin, ada sesuatu dalam kata-katanya tadi yang membuat Ji An merasa bahwa usahanya, sedikit demi sedikit, mulai membuahkan hasil. Namun, ia juga sadar bahwa bahaya di istana semakin nyata, terutama dengan Permaisuri Yang Xi dan Putra Mahkota Xiang Wei yang sama-sama memperhatikan setiap langkahnya.
---
Ji An tak hentinya kembali membawa sarapan untuk Raja Xiang Rong. Kali ini, ia memilih sesuatu yang sederhana—roti panggang dengan madu dan secangkir teh jahe hangat. Saat ia mengetuk pintu, Raja Xiang Rong mempersilahkannya masuk dengan nada datar seperti biasa.
Ketika Ji An meletakkan sarapan di meja, Raja Xiang Rong memandangnya dengan alis yang sedikit terangkat.
“Kau datang lagi?”
“Hamba tidak akan menyerah, Yang Mulia,” jawab Ji An dengan nada penuh tekad.
Raja Xiang Rong memandangnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca isi pikirannya. “Apa sebenarnya tujuanmu, Ji An Yi? Kau tahu aku tidak mudah dipengaruhi oleh tindakan kecil seperti ini.”
Ji An terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara lembut, “Hamba hanya ingin Yang Mulia tahu bahwa hamba ada di sini. Meskipun hanya sekadar memastikan Anda makan dengan baik.”
Xiang Rong mendengus kecil, meskipun matanya tidak lagi setajam sebelumnya. “Tindakanmu ini hanya akan membuat lebih banyak orang memusuhimu, kau sadar itu, bukan?”
“Hamba sadar,” jawab Ji An, “tetapi hamba juga tahu bahwa keberadaan hamba di sini bukanlah untuk membuat semua orang senang. Yang Mulia, jika hamba tidak melakukan apa-apa, bukankah itu sama saja dengan menyerah?”
Raja Xiang Rong terdiam, tampaknya sedikit terkejut dengan jawaban Ji An.
Namun sebelum ia sempat merespons, pintu ruang kerja terbuka tiba-tiba. Permaisuri Yang Xi masuk tanpa izin, wajahnya dingin seperti es.
“Yang Mulia,” sapanya sambil memberikan pandangan tajam kepada Ji An. “Apa saya mengganggu sesuatu?”
Raja Xiang Rong memijat pelipisnya dengan kesal. “Apa keperluanmu, Yang Xi?”
Permaisuri melirik ke arah makanan yang dibawa Ji An, lalu tersenyum tipis penuh sindiran. “Oh, tidak ada. Saya hanya khawatir suami saya terlalu sibuk dan lupa makan. Tapi rupanya ada orang lain yang sudah lebih dulu memikirkan hal itu.”
Ji An menundukkan kepala, mencoba menghindari konfrontasi langsung, tetapi Permaisuri Yang Xi terus memandangnya dengan tatapan menusuk.
“Ji An Yi, aku ingin bicara denganmu. Di luar,” kata Permaisuri Yang Xi dengan nada perintah.
Raja Xiang Rong mendongak. “Yang Xi, ini tidak perlu.”
“Tentu saja perlu, Yang Mulia,” jawab Permaisuri sambil tersenyum kecil. “Aku hanya ingin memastikan semua orang tahu batasan mereka.”
Ji An menggigit bibirnya, tetapi ia tidak punya pilihan selain mengikuti Permaisuri Yang Xi keluar dari ruangan.
---
Di koridor, Permaisuri Yang Xi berhenti dan berbalik menghadap Ji An.
“Aku sudah cukup bersabar denganmu, Ji An Yi,” katanya dingin. “Apa sebenarnya yang kau inginkan dari suamiku?”
Ji An mencoba menjawab dengan tenang, meskipun hatinya berdebar kencang. “Hamba hanya ingin membantu Raja. Tidak lebih.”
“Bohong,” potong Permaisuri. “Kau pikir aku tidak melihat apa yang kau coba lakukan? Kau ingin merebut perhatiannya. Tapi aku akan memberimu peringatan terakhir: berhenti sekarang, atau aku tidak akan segan-segan membuatmu menyesal.”
Ji An menatap Permaisuri dengan mata penuh tekad. “Hamba tidak berniat merebut apa pun dari Yang Mulia. Tapi jika Yang Mulia merasa terancam oleh keberadaan hamba, bukankah itu berarti ada sesuatu yang kurang dari hubungan Anda dengan Raja?”
Wajah Permaisuri Yang Xi memucat mendengar kata-kata itu. “Beraninya kau...”
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Putra Mahkota Xiang Wei muncul di koridor, melihat kedua wanita itu dengan ekspresi penasaran.
“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
Ji An hanya menunduk, sementara Permaisuri Yang Xi segera menguasai dirinya kembali. “Tidak ada, Putra Mahkota. Hanya diskusi kecil antara aku dan Ji An Yi.”
Xiang Wei menatap keduanya dengan minat yang sulit disembunyikan. “Diskusi? Menarik. Sayang sekali aku terlambat. Tapi jangan khawatir, aku akan memastikan suasana tetap damai.”
Ji An merasa lega dengan kehadiran Xiang Wei, meskipun ia tahu situasinya belum benar-benar aman. Di dalam hatinya, ia bertekad untuk terus bertahan, apa pun yang terjadi.