NovelToon NovelToon
Bunga Yang Layu Di Hati Sahabat

Bunga Yang Layu Di Hati Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: icha14

Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat


Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.

Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.

Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

doa Sasa

Setelah hampir satu jam di arena bermain, akhirnya Dinda dan Alif mulai kelelahan. Wajah mereka yang tadi penuh tawa kini dihiasi kantuk. Alif bahkan sempat menguap beberapa kali sambil menggandeng tangan Nia.

“Mau pulang, Bu,” ujar Dinda dengan suara kecil sambil meraih tangan Nia.

“Iya, kita pulang sekarang,” jawab Nia lembut sambil menatap ke arah Sasa dan Ibu Salwa. “Udah, yuk. Kayaknya semua udah capek juga.”

Mereka berjalan perlahan menuju area parkir. Sasa, yang biasanya banyak bicara, kali ini hanya diam sambil memeluk tas belanjanya. Pandangannya terlihat kosong, melayang-layang ke tempat lain.

Saat masuk ke dalam mobil, Dinda dan Alif langsung merebahkan diri di jok belakang. Tidak lama, suara napas teratur mereka terdengar, tanda kalau keduanya sudah tertidur. Nia menyetir dengan tenang, sementara Ibu Salwa duduk di sampingnya, sibuk membuka-buka ponselnya.

Di kursi belakang, Sasa menatap ke luar jendela, memandangi gemerlap lampu jalan yang perlahan berubah menjadi gelap saat mereka keluar dari pusat kota. Pikirannya kembali ke pertemuannya dengan Tari tadi di Hypermart. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantui, seolah ada sesuatu yang tertinggal di hatinya.

“Kak Caca sekarang kerja di kota B...”

Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Sasa. Ia tahu kota B adalah tempat dinas Arman selama satu bulan ini. Pikiran tentang kemungkinan Arman bertemu dengan Caca membuat hatinya bergemuruh.

“Sa, kamu kenapa dari tadi diem aja?” tanya Nia tiba-tiba, memecah keheningan di dalam mobil.

Sasa tersentak. “Nggak, Kak. Aku cuma capek aja.”

“Capek atau lagi mikirin sesuatu?” lanjut Nia sambil tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana.

Sasa memaksakan senyum. “Iya, Kak. Capek aja.”

Namun Nia tidak terlalu percaya. Sebagai kakak, ia mengenal Sasa dengan baik. Tapi karena tidak ingin memaksa, Nia memilih untuk membiarkannya.

Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan. Sesekali suara dengkuran kecil Alif terdengar, membuat suasana sedikit lebih ringan. Namun di dalam hati Sasa, badai kecil terus berkecamuk.

---

Kepulangan yang Sunyi

Begitu mereka tiba di rumah, Nia langsung menggendong Alif yang masih terlelap, sementara Dinda berjalan sempoyongan dengan mata setengah tertutup. Ibu Salwa membawa tas belanjaan, sedangkan Sasa mengikuti mereka dengan langkah pelan.

“Masuk dulu, Sa. Nanti Ibu bantu simpan belanjaannya,” ujar Ibu Salwa sambil melirik Sasa, yang terlihat lebih pucat dari biasanya.

Sasa hanya mengangguk dan langsung menuju kamarnya. Begitu pintu kamar tertutup, ia melepaskan tasnya ke lantai dan duduk di tepi tempat tidur. Kepalanya terasa berat, penuh dengan pikiran-pikiran yang tidak ia inginkan.

Ia mencoba mengingat kembali wajah Tari. Betapa miripnya Tari dengan Caca, baik dari ekspresi, cara bicara, bahkan senyumnya. Itu semua membangkitkan kenangan lama yang sudah berusaha ia kubur dalam-dalam.

Ia mengambil ponselnya dan membuka galeri foto. Jari-jarinya berhenti di sebuah foto lama—foto dirinya bersama Arman di hari pernikahan mereka. Saat itu, senyum mereka terlihat bahagia, seolah tidak ada yang bisa mengganggu kehidupan mereka. Tapi sekarang, keraguan kecil mulai tumbuh di hatinya.

“Arman...” bisiknya pelan.

Ia ingin mempercayai suaminya. Ia tahu, setelah kejadian di masa lalu, Arman telah berusaha keras membangun kembali kepercayaan itu. Tapi kenyataan bahwa Arman dan Caca sekarang berada di kota yang sama membuat pikirannya sulit tenang.

Sasa mencoba menelepon Arman, tapi tidak ada jawaban. Ia menatap layar ponselnya yang kosong, merasa semakin gelisah.

Mess yang Sunyi dan Pikiran yang Gelisah

Pukul 15.30, suara dering telepon membangunkan Sasa dari tidur singkatnya. Ia membuka mata perlahan, melihat layar ponsel yang menyala dengan nama "Arman" terpampang di sana. Jantungnya langsung berdegup lebih cepat. Dengan sedikit gugup, ia menggeser layar untuk menjawab.

“Halo?” suaranya serak karena baru bangun.

“Sa, aku udah sampai di mess,” suara Arman terdengar tenang di seberang. “Baru aja beres-beres barang, sekarang lagi istirahat sebentar.”

“Oh... Alhamdulillah,” jawab Sasa pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. “Capek nggak, Mas? Perjalanannya lancar?”

“Capek sih, tapi nggak apa-apa. Perjalanannya lancar, kok. Tadi nyempetin makan dulu di rest area, jadi nggak terlalu lapar sekarang.”

Sasa mengangguk meski Arman tak bisa melihatnya. Suara suaminya yang biasanya membuatnya tenang kini terasa jauh. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terusik, seolah ada jarak tak terlihat yang membentang di antara mereka.

“Mas... di sana gimana? Mess-nya nyaman?” tanyanya, berusaha terdengar santai.

“Ya lumayan. Standar lah, namanya juga fasilitas dinas. Tapi bersih, nggak terlalu ramai juga. Aku sekamar sendiri,” jawab Arman sambil terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kamu gimana, Sa? Di rumah nggak apa-apa?”

Sasa menarik napas dalam-dalam. Ia ingin menjawab dengan jujur, ingin menceritakan tentang pertemuannya dengan Tari dan kegelisahan yang ia rasakan sejak tadi. Tapi ia ragu. Apa ini saat yang tepat untuk membicarakannya?

“Aku baik, Mas. Tadi habis jalan-jalan sama Kak Nia, anak-anak, sama Ibu,” ujarnya akhirnya, memilih untuk tidak membebani Arman dengan pikirannya.

“Oh, bagus kalau gitu. Tapi kamu jangan capek-capek, ya. Ingat, sekarang kamu nggak cuma mikirin diri sendiri. Ada dedek bayi juga yang harus dijaga.”

“Iya, Mas,” jawab Sasa sambil tersenyum tipis, meski hatinya masih berat.

Obrolan mereka berlangsung beberapa menit lagi, membahas hal-hal ringan seperti rencana Arman selama dinas dan kegiatan Sasa di rumah. Namun, setelah telepon berakhir, Sasa justru merasa semakin kosong.

Doa dalam Keheningan

Setelah menutup telepon, Sasa meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur. Tapi kegelisahan masih menempel erat di hatinya. Ia melirik jam dinding—sudah hampir pukul 16.00. Dadanya berdebar saat ia menyadari sesuatu.

"Astaghfirullah, aku belum salat Ashar," gumamnya pelan.

Tanpa menunggu lebih lama, Sasa bangkit dari tempat tidur. Ia mengambil mukena yang tergantung di balik pintu kamar, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk berwudu. Aliran air dingin yang menyentuh kulitnya terasa menyegarkan, seolah-olah membasuh sebagian beban pikirannya.

Setelah berwudu, ia berdiri di atas sajadah dengan tenang. Takbiratul ihram ia ucapkan dengan khusyuk, dan perlahan hatinya mulai terasa lebih ringan. Di setiap rakaat, ia berusaha memusatkan pikirannya kepada Allah, memohon ketenangan yang selama ini terasa sulit diraih.

Usai memberi salam, Sasa mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Suaranya pelan, hampir tak terdengar. Tapi setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah cerminan dari isi hatinya yang tulus.

"Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di hati hamba-Mu. Aku memohon dengan sepenuh hati, jauhkan rumah tangga kami dari segala hal buruk, dari fitnah dan kesalahpahaman. Berikan kesehatan untukku dan bayi yang sedang aku kandung. Lindungi Arman di tempat kerjanya, ya Allah. Berikan ia kekuatan dan kelancaran dalam pekerjaannya."

Air mata perlahan mengalir di pipinya. Sasa melanjutkan doanya, berharap apa yang ia panjatkan bisa sampai kepada Sang Pemilik Hati.

"Aku ingin menjadi istri yang kuat, ya Allah. Tapi terkadang aku takut... takut kehilangan, takut terluka. Berikan aku keyakinan untuk percaya kepada Arman. Dan jika ada sesuatu yang buruk, tunjukkan jalannya agar kami bisa menyelesaikan semuanya dengan baik."

Setelah selesai berdoa, Sasa tetap duduk di atas sajadah. Ia menarik napas panjang, merasa sedikit lebih tenang. Namun, bayangan pertemuannya dengan Tari di Hypermart tadi siang kembali muncul di benaknya. Wajah Tari—atau lebih tepatnya, wajah yang begitu mirip dengan Caca—terus menghantui pikirannya.

1
Ani Aqsa
ceritanya bagus.tp knapa kayak monoton ya agak bosan bacanya..maaf y thor
Lili Inggrid
lanjut
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Wuih, nggak sabar lanjutin!
Android 17
Terharu sedih bercampur aduk.
Mắm tôm
Suka banget sama karakter yang kamu buat thor, semoga terus berkembang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!