Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik Terendah (2)
"Assalamualaikum. Bu, aku pulang." Aku mengucap salam ketika masih berada di gawang pintu rumah.
Aku kemudian berjalan memasuki kamar ibuku. Terlihat, ibu sedang tertidur.
Yah, aku bisa memakluminya, karena ibu memang sedang menahan rasa sakit yang diderita.
Seandainya, aku bisa mengurangi rasa sakit ibu. Sayang sekali, aku tak bisa berbuat banyak. Yang bisa kulakukan saat ini adalah belajar yang rajin, agar bisa sukses dan membahagiakan ibu.
"Bu, aku pulang pagi karna hari ini ada rapat di sekolah," ujarku lebih kepada diri sendiri, karena ibuku yang masih terlelap dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.
"Maaf, aku harus nunda beli obatnya karna tadi terpaksa beli buku. Aku butuh buku itu buat persiapan ujian," ucapku lirih sembari memandangi tangan ibuku yang sudah berkeriput dan terlihat sangat kurus.
Aku sedih. Kuharap, aku bisa segera membahagiakan ibu sebelum keriput di kulitnya semakin bertambah.
"Ibu, bertahanlah sebentar lagi. Aku pasti bisa bawa Ibu pergi ke tanah suci," ucapku sambil menggenggam tangan ibuku yang terasa dingin.
Aku kemudian terdiam cukup lama. Aneh. Ibuku tak kunjung bangun ataupun menggeliat, ketika aku menggenggam tangannya. Padahal, ibuku biasanya mudah terbangun hanya karena suara pintu yang terbuka di saat aku atau Kiky pulang sekolah.
Jantungku serasa berhenti berdetak ketika aku menyentuh sebelah pipi ibuku dengan lembut, dan dapat kurasakan kulitnya yang terasa dingin. Saat itu juga, aku langsung keluar rumah dan berteriak kepada para tetangga yang terlihat oleh pandanganku. Aku benar-benar sedang kalut.
"Pak! Tolongin ibu saya. Tolong bawa ke rumah sakit. Ibu saya tak sadarkan diri." Aku menghampiri seorang bapak-bapak dan meminta bantuannya.
"Di mana ibu kamu?!" tanya bapak-bapak yang kumintai tolong itu, terlihat panik.
"Di dalem kamar, Pak," jawabku sembari mengikuti langkah bapak itu ke dalam rumah. Aku juga melihat beberapa tetangga yang mulai mengerubungi rumahku.
"Ini, Ibu kamu kayaknya-" Ucapan bapak itu segera kupotong.
"Pak, ayo cepet kita bawa ke rumah sakit! Buruan, sebelum terlambat!" Aku tetap bersikeras. Dan bapak itu pun, akhirnya menuruti perkataanku barusan.
Saat ini, aku benar-benar sedang panik dan kalut sehingga tidak bisa berpikir jernih.
Ketika sebuah mobil milik salah seorang tetangga sudah disiapkan, aku dan beberapa tetangga lain pun segera menaiki mobil, ikut mengantar ibu ke rumah sakit.
Selama perjalanan, aku tidak berhenti mengucap doa dalam hati. Kini, ibuku sedang tergeletak dengan kepala yang berada dipangkuanku. Aku tidak berani menyentuh tubuh ibuku, barang sedikitpun. Aku takut jika nantinya aku malah membuat keadaannya semakin memburuk, karena telah menyentuhnya sembarangan.
Aku berusaha keras menahan suara tangisku yang tidak terbendung. Aku menggunakan jilbab sebagai penutup wajah, agar air mataku tidak menetes ke bawah sehingga dapat membasahi wajah seseorang yang paling aku cintai di dunia ini.
'Bagaimana ini? Aku harus bagaimana?'
Setelah sampai di rumah sakit, ibuku langsung dibawa ke dalam ruang gawat darurat. Dan aku hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk, di depan kamar UGD tersebut. Kaki dan tanganku terus bergetar, sebab kegusaranku. Meski begitu, aku harus bertahan dan menguatkan hati.
'Iya, mari terus berdoa yang terbaik.'
Ketika melihat seorang dokter telah keluar dari ruang tempat ibuku diperiksa, aku otomatis segera berjalan menghampirinya.
"Dok, Ibu saya harus dioperasi atau bagaimana? Kalau harus operasi, tolong segera laksanakan saja. Untuk masalah biaya, saya bisa usahakan. Jangan khawatir," ucapku secara beruntun tanpa jeda.
Dokter itu kemudian menepuk pundakku pelan. Raut wajahnya juga terlihat mencurigakan.
"Begini. Apapun yang akan saya katakan, kamu harus siap mendengarnya." Perkataan dokter di hadapanku ini membuatku bingung.
'Kenapa aku harus menyiapkan diri?'
"Maaf, ibu kamu sudah meninggal, bahkan sebelum dibawa ke rumah sakit ini. Melihat kamu yang masih memakai seragam, pasti karena tidak ada orang di rumah, jadi tidak ada yang tahu. Yang sabar, ya? Setiap yang bernyawa, memang sudah sewajarnya kembali kepada sang Pencipta-" Aku segera berlari ke dalam ruang tempat ibuku berada, tanpa mempedulikan perkataan dokter tadi.
Sebenarnya, sejak tadi pun, aku sendiri juga sempat memikirkan kemungkinan buruk itu. Namun, aku segera menepisnya jauh-jauh dari pikiranku.
Tangan ibu memang sudah dingin dan terasa kaku, ketika aku menyentuhnya saat masih di rumah. Padahal, aku masih sangat berharap kalau ibuku hanya sekedar pingsan dan bisa kembali bangun sambil tersenyum manis, menyambut kepulanganku dari sekolah.
Aku menatap jasad ibuku yang telah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit. Aku sudah bisa menangis dengan bebas sekarang. Lagi pula, ibuku juga tidak akan pernah menyadari suara tangisanku, kan? Malahan, aku berharap kalau suara tangisanku ini bisa membangunkan ibu.
Hancur. Rasanya aku sudah benar-benar hancur. Ini semua salahku yang selalu telat membelikan obat. Aku juga tidak memberikan makanan yang bergizi pada ibuku yang selama ini menderita stroke. Seharusnya, ibuku tidak mengkonsumsi makanan yang sembarangan.
Bodoh! Aku sungguh bodoh! Untuk apa aku berada di dunia ini sendirian? Kalau mau pergi, seharusnya ibu mengajakku juga. Padahal, aku bisa bertahan di keadaan sulit ini berkat ibu. Dan kini, seseorang yang menjadi alasanku tetap kuat menjalani hidup di dunia, sudah tiada.
Pihak rumah sakit telah mengurus jenazah ibuku. Mereka mengatakan, kalau jenazah ibu akan segera diantarkan ke rumah.
Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana respon adikku. Setelah pulang sekolah, Kiky akan disambut dengan ibu yang hanya tersisa raganya saja.
'Maaf, Ky. Aku tidak berada di sana untuk menenangkanmu.'
Pikiranku sedang kosong. Aku tadi bahkan beribadah dalam perasaan enggan. Aku berdoa sambil mengeluh kepada Tuhan.
'Kenapa? Kenapa ujian terus-menerus datang padaku? Apa harus segitunya? Aku pun, juga bisa merasa lelah.' Begitulah keluhanku.
Berjalan tanpa arah dan berakhir di sebuah jembatan yang tampak menarik pandanganku.
Ketika hari semakin sore, jalanan semakin terasa sepi dan sunyi. Sampai akhirnya, aku pun merasa bosan. Aku sudah bosan hidup seperti ini dan tak punya tujuan hidup lagi setelah kepergian ibuku.
Pikiran dan hatiku terasa hampa. Aku sudah berada di titik terendah dalam hidupku.
~
"Jangan bilang anda-" Psikolog yang menangani Beta terkejut, sehingga tak sanggup malanjutkan kata-katanya.
"Memangnya, apa yang sedang anda pikirkan?" Beta bertanya dengan ekspresi dan nada datar seperti biasa. Ia seakan sedang meminta psikolog itu untuk menebak.
"Anda benar-benar wanita yang kuat. Anda bisa bertahan sampai detik ini pun, pasti dengan usaha yang tidak mudah." Ucapan psikolog itu berhasil membuat Beta sedikit menyunggingkan senyumnya. Namun, jika tidak melihatnya dari dekat, senyuman itu tak akan tampak.
"Kata-kata yang anda lontarkan barusan, adalah kalimat pujian favorit saya. Dan anda benar. Saya memang sekuat itu. Saat itu, saya memang sempat berniat untuk bunuh diri. Tapi, untung saja segera tersadarkan."
"Keputusan yang sangat tepat," ujar sang psikolog dengan lembut.
"Karena saat itu, saya juga teringat pada Kiky. Sejak ibu saya meninggal, kami hanya memiliki satu sama lain. Namun, setelah itu pun, hidup tetap berjalan dengan tidak mudah. Saya dan adik saya juga harus tetap tabah sembari mempersiapkan ujian sekolah. Setelah lulus, saya berambisi untuk bisa kuliah di tempat yang bagus dan bergengsi. Saya harus menjual kisah menyedihkan kepada pihak kampus dan dengan bangga mengatakan bahwa saya merupakan seorang sebatang kara yang hidup tanpa ayah dan ibu. Tak lupa, saya juga memamerkan rumah bak gubuk yang kami tinggali demi bisa mendapat beasiswa. Dan akhirnya berhasil. Saya diterima masuk kampus favorit. Tapi." Beta menjeda ceritanya. Wajahnya tampak sedih. Sang psikolog memperhatikan mimik wajah pasiennya itu dengan saksama.
"Ada satu syarat dari pihak kampus. Saya harus tinggal di asrama agar bisa mendapat beasiswa itu. Dan saya harus memutuskan untuk memilih antara kuliah, atau seorang adik." Beta tiba-tiba tertawa kecil.
"Omong-omong, Kiky itu sangat baik dan juga lelaki yang kuat. Dia hanya bisa tersenyum lebar dengan melambaikan tangan padaku, sambil mengatakan kalau dirinya akan baik-baik saja, ketika kami akan berpisah." Setelah tadi tertawa, kini Beta tiba-tiba menangis. Emosinya benar-benar tidak stabil ketika ia mengingat masa lalunya.
Sang psikolog berharap, agar Beta tetap kuat bercerita, meski harus mengingat hal yang buruk. Semua demi hasil analisis yang harus dibuatnya.
Beta mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Saya dengan tega, meninggalkan adikku sendiri yang juga baru saja menjadi seorang yatim piatu. Saya memang kakak yang sangat tidak berguna. Dan saya sendiri sebenarnya sangat tahu kalau Kiky tidak akan baik-baik saja tanpa saya, meski dia terlihat tersenyum ketika kami berpisah. Di mata saya, itu bukanlah sebuah senyuman, melainkan sebuah tangisan yang bersembunyi di balik bibir yang melengkung ke atas. Saya menyesal. Seharusnya, dulu saya sedikit mengajarinya cara memasak, agar dia bisa bertahan hidup di dunia yang keras ini." Beta kembali meneteskan air matanya. Dan kini lebih deras dari pada sebelumnya.
Psikolog yang bersama dengan Beta hanya bisa terdiam tanpa mengatakan apapun, selama beberapa saat.
Hening. Beta melamun dalam keheningan, dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya.
"Kenapa anda melakukannya?" Suara sang psikolog akhirnya berhasil memecah keheningan yang terjadi di ruangan tempat mereka berdua berada saat ini.
Beta melirik ke arah psikolog itu sekilas, sembari menatap pin nama pada jas putih yang sedang dikenakan oleh wanita yang berusia lebih muda darinya tersebut.
"Karena saya membencinya," jawab Beta ambigu. Pertanyaan dari psikolog itu juga sebenarnya cukup ambigu. Namun, Beta merasa sudah mengerti ke mana arah pembicaraannya.
"Saya benci pada orang yang selama hidupnya terlihat sangat nyaman dan damai, di saat saya malah harus bersusah payah demi bisa bertahan hidup. Saya iri. Hidup sungguh tidak adil, kan?" Sang psikolog tidak berkomentar apapun, ketika Beta tiba-tiba terdengar seperti sedang melontarkan sebuah pertanyaan padanya.
~