Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB TIGA
"Tyas pulang, Pak!"
Setelah perjalanan kurang lebih 4 jam dengan bus yang sedikit macet, Tyas sampai di kota kelahirannya malam hari, menemui Ridwan sang ayah.
Rayyan ikut serta karena memaksa, di sepanjang perjalanan tadi, mata pemuda itu hanya tertuju pada wajah Tyas seorang.
Rayyan juga bisa cepat akrab dengan Dimas dan Fakhri yang padahal baru saja dia kenal beberapa jam yang lalu.
Sebelum shalat isya, Tyas sempatkan memeriksa ayahnya yang masih terbaring di ranjang sederhananya. "Bapak..."
"Nduk."
Lelaki tua itu terbangun dan langsung tersenyum, mata kecil keriputnya menyipit, itu yang membuat pengkhianatan Ervan semakin menyedihkan bagi Tyas.
Penyakit ayahnya memang masih bisa ditangani dokter. Tapi untuk disembuhkan banyak yang mengatakan tidak bisa sembuh.
Paru kronis termasuk penyakit yang serius, kebanyakan penderita kurus seperti Ridwan karena terlalu sering batuk. Napasnya pun berbunyi, cukup miris.
"Tyas pulang."
"Calon suami kamu mana?"
Bibir Tyas seketika mencebik sendu, Ervan tidak akan datang, Ervan sudah bahagia dengan Laras, entah sejak kapan mereka berselingkuh, yang pasti Tyas tak mungkin kembali pada Ervan lagi.
Bayangan pernikahan sederhana bersama Ervan, kini menguap. Tak lagi berbekas walau hanya secerca.
"Kamu ke Jogja buat nyusulin calon mantu Bapak kan, Nduk?" tanya Bapak.
"Jelas, Pak!" Dimas masuk kamar dengan sebaris senyum manisnya. "Calon mantu Bapak ada di luar, tenan Pak, ganteng banget!"
"Dimas!" Tyas menegur.
Rayyan bukan pacarnya apa lagi calon suaminya. Mereka hanya kebetulan bertemu dan sore tadi Tyas tak punya banyak daya untuk menolak Rayyan ikut ke sini.
Namun, bukan lantas Tyas setuju untuk memperkenalkan orang asing pada ayahnya yang sedang sakit serius ini. Ervan yang lima tahun dia kenal saja berselingkuh, apa lagi pemuda yang tidak Tyas tahu seluk beluknya.
"Namanya Mas Rayyan, orangnya baik, tadi Dimas dikasih jam tangan bagus!" Dimas masih menggebu-gebu saking bangganya.
Ridwan lalu menatap penuh harap wajah cantik putrinya. Putri yang dia dapat dari menikahi kembang desanya, tapi sayang istri cantiknya telah pergi karena tak sanggup menjalani hidup serba susah bersamanya.
Sekarang, Tyas dan Dimas dia besarkan seorang diri. Tapi semenjak sakitnya sudah tidak bisa diajak bekerja lagi, Tyas yang menggantikannya mencari nafkah dengan mengajar les di beberapa tempat.
Sementara ini Tyas tak punya pekerjaan tetap, hidupnya ke sana kemari menerima apa pun jenis pekerjaannya.
Serabutan saja, terkadang mencuci pakaian, terkadang membantu perias pengantin, asal halal dan berkah apa saja Tyas lakukan.
Untuk biaya sekolah Dimas, Tyas hanya mengandalkan bansos dan beasiswa Dimas saja. Selebihnya, Dimas menerima walau hanya diberikan sedikit uang jajan.
"Bener Nduk?" Ridwan memastikan.
"Bu..."
"Mas Rayyan, sini masuk!" Dimas yang gerak cepat karena tak sabar melihat ekspresi wajah bahagia ayahnya.
Pintu kamar itu terbuka seiring dengan masuknya Rayyan.
Manik hijau pemuda kota itu menyisir seluruh ruangan sederhana Tyas dengan segelepar rasa kagum yang terseruak di dadanya. Ternyata masih ada bidadari secantik Mbak Tyas yang tinggal di tempat sesederhana ini.
"Pak," sapa Rayyan. Pemuda itu berjongkok lalu tersenyum pada Ridwan yang seketika ikut tersenyum karena bahagia.
Setelah sekian lama menanyakan jodoh Tyas, akhirnya malam ini dia rela wafat. Ridwan hanya kasihan pada Tyas yang menjadi tulang punggung keluarga.
Setidaknya sebelum wafat, Ridwan ingin ada seseorang yang tulus dan bertanggung jawab yang mau menemani Tyas mengurus Dimas.
Tidak muluk muluk. Harta bisa dicari bersama, yang penting jodohnya Tyas baik, bisa bertanggung jawab, itu saja keinginan Ridwan untuk putrinya.
"Jadi kapan kalian nikah?" tanya Ridwan.
"Pak!" Tyas menegur.
"Lebih cepat lebih baik." Rayyan mungkin gila, tapi jika ini yang terbaik kenapa tidak? Toh mereka satu keyakinan, apa lagi?
Berbeda dengan Tyas yang tak menganggap pernikahan main-main. "Pak, Tyas harus ngomong dulu sama Mas ini ya," pamitnya.
"Bapak istirahat lagi saja." Tyas menyelimuti Ridwan, lalu menarik lengan Rayyan untuk dibawa keluar kamar.
Keduanya saling menatap, Tyas berusaha beri pengertian, jika mereka tidak akan pernah membohongi siapa pun perihal hubungan.
"Kan udah saya bilang, kita nggak saling kenal, jadi tolong jangan main- main sama ucapan kamu, Mas!" tegur Tyas.
Rayyan menyengir, sambil menyodorkan tangannya pada Tyas. "Kalo gitu kita kenalan, saya Rayyan Asgar, saya tinggal di Jogja, kuliah semester dua di UGM," katanya.
"Baru semester dua?" Tyas tersentak mendengar informasi barusan. Setinggi ini bocah ini, tapi masih baru semester dua.
"Memang kenapa?" sela Rayyan.
"Jadi berapa umur kamu?" tukas Tyas, bila dilihat seksama, Rayyan memang masih terlihat bocah, dan sepertinya anak ini anak orang berada karena memiliki softlens yang persis aslinya.
"Masuk sembilan belas tahun," ngaku Rayyan.
"Ya Tuhan," kejut Tyas. Bocah sembilan belas tahun berdrama mau menikahinya? Yang benar saja Tuhan! "Kamu masih jadi beban orang tua, sudah berani lamar saya? Kamu pikir nikah selawak itu?"
"Setahu saya menikah itu menjauhkan kita dari perbuatan zina." Rayyan menyengir.
"Nggak pantes kamu ngomong gitu, saya tahu itu modus kalian para cowok!" sergah Tyas.
"Jadi Mbak nggak mau nikah sama saya?"
"Ini calon kamu Tyas?" Pertanyaan yang mengalihkan atensi Tyas dan Rayyan. Di ruang tamu yang kecil itu berdiri lima orang perempuan dan dua laki-laki.
Salah satu dari mereka ada Mbak sepupu Tyas, ibu dari Laras yang sekarang ini sedang ada di Jogja bersama Ervan kekasihnya.
"Jangan jangan anak ini cuma mau numpang zina di sini ya?!" tuduh pria paruh baya itu.
"Astaghfirullah, enggak," sanggah Tyas.
"Mereka mau menikah!" Ridwan yang mendengar ribut-ribut buru-buru keluar meski dengan gerakan tertatih, Tyas segera membantu ayahnya duduk di kursi kayu.
"Kalian jangan suka fitnah!" kata Ridwan.
"Emang siapa yang mau nikahin gadis miskin kayak Tyas Pakde?" Wanita itu keponakan Ridwan tapi entah punya dendam apa, tidak pernah terlihat suka pada Tyas.
"Wong pacar Tyas bukan ini! Dulu bukan ini, saya pernah lihat, pacarnya bukan ini!"
"Bener Tyas?" Ridwan memastikan dengan menatap sendu sang putri. Tyas bingung, entah harus menjawab dengan apa, yang pasti raut sedih bapak membuatnya pilu.
"Mmmh."
"Saya pacarnya, Pak, saya yang mau nikahin Tyas, bahkan kalo boleh, malam ini juga saya nikahin Tyas!" Rayyan menjawab gagah.
"Orang tua kamu mana kalo begitu?" cecar sepupu Tyas menyelidik. Dia yakin betul kalau pacar Tyas bukan orang ini, tapi Ervan.
"Orang tua saya..." Rayyan bingung harus menjawab apa, karena dia sendiri takkan mungkin melibatkan kedua orang tuanya.
Dia putra bungsu dari empat bersaudara, kedua Abang dan satu kakaknya masih belum ada satu pun yang menikah. Rayyan takkan mungkin tiba-tiba mengabarkan bahwa dia mau menikah.
Bukan pernikahan, orang tuanya justru akan mengirimnya ke luar negeri bahkan mungkin pesantren. "Mereka masih di luar negeri."
Rayyan tidak berbohong, karena Papa dan Mamanya memang sedang ada di luar negeri untuk urusan bisnis keluarga.
"Oalah, jadi kamu anaknya TKW?"