Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
“Ragna! Apa yang kau lakukan?! Kau selalu membully Silvi tanpa alasan yang jelas!” Teriakan seorang pria menggema di koridor sekolah, membuat langkah Althea terhenti. Gadis itu menoleh, alisnya berkerut saat melihat kerumunan siswa yang berkerumun tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan rasa penasaran, Althea mendekati kerumunan itu. Sambil menahan senyum iseng, ia menepuk bahu seorang siswa terdekat. “Hei, ada apa di sini?” tanyanya dengan nada santai.
“Katanya, Ragna, siswi kelas sebelah membully Silvi, yang ternyata crush dari kakak kelas kita, Raymond. Drama cinta segitiga, nih.” Jawaban siswa itu penuh semangat, seolah menonton adegan sinetron live.
Mata Althea langsung berbinar mendengar penjelasan itu. "Ah, targetku sedang syuting drama gratis rupanya!" pikirnya sambil tersenyum lebar. “Terima kasih infonya!” katanya ceria, tak lupa mengedipkan mata sebelum menonton keributan yang sedang berlangsung.
Dia mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam dengan ekspresi puas. Namun, perhatiannya teralihkan ketika matanya menangkap sosok Ragna. Gadis itu berdiri dengan sikap tenang, wajahnya dihiasi ekspresi dingin dan senyum tipis yang menusuk. Kecantikannya tak biasa—berbeda dengan para tokoh utama dalam cerita cinta remaja. Justru, aura misteriusnya mengingatkan Althea pada antagonis wanita dari manhwa dan novel yang sering dia baca.
“Wah... dia kayak villain boss yang berkelas,” gumam Althea pelan, matanya terpaku pada Ragna. Senyum tipis gadis itu membuat bulu kuduknya merinding, tapi entah kenapa terasa... familiar.
“Positif thinking aja. Dia pasti cuma menikmati drama receh ini,” pikirnya sambil mematikan ponselnya dan memasukkan kembali ke sakunya. Althea menarik napas panjang sebelum berbalik, meninggalkan kerumunan dan kembali menuju kelas. Namun, bayangan wajah Ragna terus membayang di pikirannya. Ada apa dengan gadis itu? batinnya penasaran.
✨
Saat bel istirahat berbunyi, Althea memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Suasana hening dan aroma buku yang khas menyambutnya, tapi fokusnya langsung tertuju pada sosok gadis yang berdiri di antara rak buku. Itu Ragna. Althea mengenali rambut hitam legam yang mengkilat dan aura dingin yang terpancar dari postur tubuhnya.
Dengan degup jantung yang sedikit lebih cepat dari biasanya, Althea memutuskan untuk mendekatinya.
“H-Hai,” sapa Althea, suaranya sedikit ragu.
Ragna menoleh perlahan, menatapnya dengan mata hijau gelap yang dingin, penuh ketenangan yang hampir intimidatif. Wajahnya seperti tokoh antagonis dari novel—terlihat sempurna dan nyata, seperti karakter yang baru saja "dikeluarkan" dari halaman buku.
“A-aku Althea dari kelas X D. Kamu Ragna, kan?” Althea mencoba memperkenalkan diri sambil menenangkan kegugupannya.
“Ya, aku Ragna dari kelas A,” jawab Ragna singkat dengan nada datar.
Mata Althea langsung berbinar. “Kyaa~! Kau cantik sekali! Kau tahu, kau benar-benar mirip dengan tokoh antagonis sempurna dari cerita yang diangkat langsung ke dunia nyata!” serunya histeris, tanpa bisa menahan rasa kagumnya.
“Psst! Jangan berisik!” Penjaga perpustakaan langsung menegur, membuat Althea memucat seketika.
“S-sorry!” bisik Althea sambil membungkuk meminta maaf.
Namun, begitu pandangannya kembali ke arah Ragna, dia kembali menatap gadis itu dengan antusias. “Aku serius, kau benar-benar terlihat seperti tokoh favoritku!” bisiknya, kali ini dengan suara yang lebih pelan.
Ragna hanya mengangkat sebelah alis, menatap Althea dengan ekspresi sulit ditebak sebelum akhirnya menghela napas pelan. “Apa kau selalu seperti ini?” tanyanya dengan nada dingin, namun ada sedikit rasa ingin tahu di matanya.
“Ehm... hanya kalau aku bertemu seseorang yang keren sepertimu!” jawab Althea sambil menyeringai lebar, tanpa sadar sudah memasukkan Ragna ke dalam daftar idola barunya.
Ragna memiringkan kepalanya sedikit, menatap Althea dengan campuran kebingungan dan rasa ingin tahu. "Aku keren? Kau yakin kau tidak salah orang?" tanyanya dengan nada datar namun sedikit menguji.
"Tentu saja tidak!" sahut Althea cepat, matanya berbinar penuh semangat. "Kau memiliki aura antagonis yang... bagaimana ya? Elegan, misterius, dan memukau! Aku bahkan merasa seperti sedang berbicara dengan tokoh utama dari cerita-cerita favoritku!"
Ragna menatap Althea sejenak, lalu mengangkat bahu. "Aku tidak tahu apakah itu pujian atau penghinaan, tapi... terima kasih, kurasa."
Althea terkekeh kecil, merasa lebih santai sekarang. "Jangan khawatir, itu pujian! Ah, ngomong-ngomong, aku ingin bertanya... Apa kau sering di perpustakaan ini? Maksudku, ini pertama kalinya aku melihatmu di sini."
Ragna melirik buku yang sedang dipegangnya, kemudian kembali menatap Althea. "Aku memang sering ke sini. Tapi mungkin aku lebih sering menghindari perhatian orang lain."
Althea mengangguk-angguk, mencoba mencerna maksud Ragna. "Oh, jadi kau tipe yang suka menyendiri dan menjauh dari keramaian, ya? Itu keren juga. Seperti karakter anti-hero dalam cerita-cerita yang aku baca!"
Ragna menghela napas, tetapi kali ini sudut bibirnya sedikit terangkat. "Kau benar-benar penuh energi, ya? Rasanya seperti kau bisa bicara tanpa henti sepanjang hari."
"Ah, itu pujian lain, kan? Kan?" Althea menatap Ragna dengan harapan, membuat gadis itu mendesah lagi, tetapi tidak menolak.
Sebelum percakapan mereka berlanjut, bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Althea mendesah kecewa, tetapi dia tersenyum cerah. "Ragna, kita harus ngobrol lagi lain waktu! Aku yakin kita akan jadi teman yang seru!"
Ragna hanya menatapnya, lalu mengangguk pelan. "Kita lihat saja nanti," jawabnya singkat sebelum berjalan pergi.
Althea berdiri di tempatnya, senyumnya makin lebar. "Aku yakin ini awal dari sesuatu yang menarik," gumamnya, sebelum bergegas kembali ke kelas dengan langkah ringan.
✨
Reina dan Ellios berjalan santai menyusuri jalanan kota yang mulai redup oleh senja. Suasana lengang hanya diwarnai oleh lalu-lalang kendaraan umum yang sesekali berhenti untuk menurunkan penumpang.
Perjalanan mereka diselimuti keheningan. Namun, langkah mereka terhenti ketika sekelompok preman tiba-tiba muncul dan menghalangi jalan.
"Wah, wah... Lihat ini! Ada pasangan lewat," ejek salah satu preman dengan suara serak, diiringi tawa kasar teman-temannya.
"Hei, bung. Pacarmu lumayan cantik. Bagaimana kalau kau kasih dia ke kami saja?" ledek yang lain sambil mendorong Ellios hingga sedikit tersandung.
Salah satu preman mendekati Reina dengan senyum meremehkan, mencolek dagunya. "Cantik, gimana kalau kau bersenang-senang dengan kami?"
Reina hanya tersenyum kecil. "Boleh," jawabnya manis.
Namun, sebelum mereka sempat tertawa puas, suara benturan keras terdengar.
'DUAKH!'
Salah satu preman terlempar beberapa meter hingga meringkuk kesakitan di jalan. Semua mata tertuju pada Reina yang sedang menurunkan kakinya dengan santai.
"Ups, kakiku licin," ucapnya dengan senyum polos, membuat para preman merah padam.
"Beraninya kau!" salah satu dari mereka berteriak sambil melayangkan tamparan ke arahnya.
'DUAKH!'
Sebelum tangan itu sempat menyentuh Reina, Ellios sudah lebih dulu melayangkan tendangan ke arah preman itu, membuatnya tersungkur di trotoar.
Ellios menatap para preman yang tersisa dengan pandangan tajam. "Kalian nggak lihat seragam kami?" tanyanya, memancing perhatian mereka.
Mata para preman mengarah ke pakaian mereka. Blazer hitam dengan kemeja merah marun, celana hitam untuk laki-laki, rok pendek dengan celana panjang terjahit untuk perempuan, dan pin emas berlogo daun momiji hitam di dada.
Seragam Demon High School.
Para preman langsung menyadari siapa yang sedang mereka hadapi. Namun, bukannya mundur, mereka malah semakin terpancing.
"Hajar mereka!" perintah salah satu dari mereka, dan baku hantam tak dapat dihindari.
Reina dan Ellios langsung bergerak. Ellios membungkukkan tubuhnya, memungkinkan Reina melompat ke punggungnya untuk melayangkan tendangan memutar yang menghantam dua preman sekaligus.
'BRUGH!'
Tubuh mereka terhempas keras. Beberapa preman lain mencoba menyerang, tapi Ellios sudah lebih dulu melayangkan pukulan ke arah mereka. Reina menyusul dengan tendangan kuat, membuat lawan-lawannya tersungkur satu per satu.
Dalam beberapa menit, hanya tersisa dua preman yang berdiri dengan napas tersengal. Mereka saling pandang sebelum akhirnya menyeret teman-temannya yang pingsan dan melarikan diri.
"Duh, kabur. Padahal aku baru pemanasan," cibir Reina sambil meregangkan tangannya.
Ellios menatap gadis itu sejenak. Melihat bagaimana Reina melawan preman dengan tenang dan efisien membuatnya berpikir. Dia ingin menjalin aliansi dengan gadis itu.
"Reina," panggil Ellios tiba-tiba.
Reina menoleh, mendapati Ellios memegang kedua tangannya dengan tatapan serius. Wajahnya mendadak terasa panas.
"Ya?"
"Maukah kau menjalin aliansi denganku?"
Reina terdiam sejenak dan membaca pikiran pemuda itu. Setelah merasa tidak ada yang mencurigakan, gadis itu mengangguk sambil tersenyum kecil. "Baik. Lagipula, kita memang cocok."
Ellios tersenyum tipis. Tanpa berkata lebih, mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka, kali ini dalam keheningan yang lebih nyaman.
✨
Leon yang baru saja pulang dari ladang, menyeka keringat di dahinya sambil melangkah mendekati rumah. Dari kejauhan, dia melihat Althea berjalan dengan langkah ringan seperti orang yang baru jatuh cinta. Alis Leon menukik curiga, apalagi ketika gadis itu tiba-tiba menyadari kehadirannya dan langsung memeluknya erat.
“Ayah, aku mencintaimu!” seru Althea penuh semangat, sebelum melesat menuju rumah sambil bersenandung riang, meninggalkan Leon yang berdiri terpaku dengan wajah bingung.
“Apa yang baru saja terjadi?” gumamnya sambil memandang punggung putri angkatnya yang menjauh.
Tak lama kemudian, Reina muncul dari arah lain. Wajahnya sedikit berantakan, dengan noda debu di pipinya, dan lengan kirinya terlihat berdarah.
Leon langsung menatapnya tajam. “Kau terluka? Itu darah di lenganmu?”
Reina melirik lengannya sejenak, lalu mengangkat bahu santai. “Iya, Yah. Cuma goresan kecil. Aku sudah minta maaf ke tembok yang kutabrak, kok.”
Leon memijat pelipisnya. “Tembok? Kau bertarung dengan siapa? Tukang bangunan?”
Reina menyeringai tipis. “Bukan, Ayah. Aku cuma lari mengejar musuh, dan temboknya muncul tiba-tiba di depanku.”
Leon menghela napas panjang, menatap Reina seolah mencari kesabaran yang entah hilang di mana. “Bagus. Sekarang kau bahkan bisa kalah dari benda mati.”
“Tapi aku menang melawan musuhnya, kan?” Reina menjawab dengan nada bangga sambil menunjuk dirinya sendiri. “Jadi hitungannya impas.”
Leon menatap gadis itu lama, sebelum menghela napas panjang. “Aku butuh aspirin. Dan mungkin vodka.”
Reina tertawa kecil sambil mengikutinya masuk ke rumah. “Santai aja, Ayah. Setidaknya aku nggak kehilangan nyawa, kan?”
Leon hanya menggerutu pelan, “Kalau begini terus, mungkin aku yang bakal kehilangan nyawa lebih dulu.”
Setelah masuk ke dalam rumah, Leon mendapati Althea duduk di sofa dengan wajah yang masih berbinar. Gadis itu memegang ponselnya erat-erat, sesekali tersenyum seperti sedang memikirkan sesuatu yang menyenangkan.
Leon menatap Althea yang tampak melayang di awang-awang. “Althea, kau jatuh cinta atau dapat warisan mendadak?”
Althea menoleh dengan senyum lebar. “Ayah, tebak apa yang terjadi hari ini! Aku bertemu seseorang yang luar biasa.”
Leon menatapnya curiga sambil duduk di kursi. “Luar biasa bagaimana? Jangan bilang kau bertemu idola K-Pop yang tersesat.”
“Bukan!” Althea menjawab sambil melompat berdiri. “Aku bertemu Ragna. Dia... dia seperti tokoh antagonis favoritku! Wajahnya sempurna, auranya dingin, dan... dan... aku merasa seperti pemeran pendukung yang jatuh cinta pada antagonis utama!”
Leon menatap putrinya lama, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Jadi, kau jatuh cinta pada seseorang hanya karena dia mirip tokoh jahat di cerita?”
“Bukan tokoh jahat, Ayah, tokoh antagonis! Ada bedanya!” Althea membela diri dengan penuh semangat.
Reina yang baru masuk dengan segelas air untuk Leon, ikut mendengar percakapan itu. “Tunggu, kau bilang jatuh cinta? Apa dia tahu kau ada?”
Althea menyipitkan mata. “Tentu saja dia tahu! Aku bahkan sudah memperkenalkan diri di perpustakaan tadi. Dia ramah, meskipun... agak datar.”
“Datar seperti papan?” sindir Reina.
“Bukan, lebih seperti... misterius.” Althea mengabaikan ejekan Reina sambil kembali duduk di sofa, memeluk bantal dengan penuh perasaan.
Leon menggeleng, mengambil gelas yang dibawa Reina, dan meneguk airnya. “Dengar, Althea. Kalau kau benar-benar ingin mengenalnya lebih jauh, jangan terlalu... berlebihan. Kau itu terkenal suka melebih-lebihkan hal.”
“Ayah, aku tidak melebih-lebihkan! Ragna itu benar-benar seperti karakter dari novel! Kau harus bertemu dengannya. Mungkin kau akan mengerti kenapa aku kagum.”
“Tidak, terima kasih. Hidupku sudah cukup sibuk dengan kalian berdua. Aku tidak butuh drama baru.” Leon bangkit dan berjalan menuju dapur.
Reina duduk di sofa, menatap Althea dengan tatapan mengejek. “Jadi, kapan kau akan melamar dia, Nona Pendukung?”
Althea melempar bantal ke arah Reina. “Diam! Aku hanya kagum, bukan mau menikah dengannya.”
Reina tertawa kecil sambil menahan bantal yang dilemparkan Althea. “Kalau begitu, semoga beruntung jadi fans setia antagonis idamanmu.”
Sementara itu, Leon hanya bisa menghela napas panjang dari dapur. “Tuhan, tolong beri aku kekuatan menghadapi dua bocah ini.”