Kirana, wanita berusia 30 an pernah merasa hidupnya sempurna. Menikah dengan pria yang dicintainya bernama Arga, dan dikaruniai seorang putri cantik bernama Naya.
Ia percaya kebahagiaan itu abadi. Namun, segalanya berubah dalam sekejap ketika Arga meninggal dalam kecelakaan tragis.
Ditinggalkan tanpa pasangan hidup, Kirana harus menghadapi kenyataan pahit, keluarga suaminya yang selama ini dingin dan tidak menyukainya, kini secara terang-terangan mengusirnya dari rumah yang dulu ia sebut "rumah tangga".
Dengan hati hancur dan tanpa dukungan, Kirana memutuskan untuk bangkit demi Naya. Sekuat apa perjuangan Kirana?
Yuk kita simak ceritanya di novel yang berjudul 'Single mom'
Jangan lupa like, subcribe dan vote nya ya... 💟
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 35 - Pertemuan tak terduga
Ep. 35 - Pertemuan tak terduga
🌺SINGLE MOM🌺
Langit mulai redup ketika Kirana menggandeng tangan Naya dan bersiap meninggalkan pemakaman.
Namun langkah mereka terhenti ketika sebuah suara yang tak asing terdengar dari belakang.
“Loh, itu siapa? Oooh... Ternyata kamu. Dikira siapa?." Suara sinis itu keluar dari seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal. Hilda, mertua Kirana, yang berjalan mendekat diikuti dua putrinya, Mira dan Lila.
Saat menoleh, seketika Kirana membeku. Ia tidak menyangka pertemuan yang tidak di inginkan ini akan terjadi di tempat yang seharusnya membawa ketenangan.
Adapun Naya yang merasa cemas, ia segera bersembunyi di belakang Kirana sambil menggenggam erat ujung bajunya.
Ketiganya berhenti tepat di depan Kirana. Hilda menatap Kirana dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menilai. “Ternyata kamu bisa hidup layak juga. Aku pikir kamu sudah melarat entah di mana,” ujarnya dengan penuh ejekan.
Kirana yang mengenakan kacamata hitam, hanya berdiri diam tanpa menanggapi. Namun sorot ketidaksenangannya tidak bisa disembunyikan meskipun di balik lensa.
“Kenapa diam? Sudah lupa cara berbicara, ya? Atau terlalu sibuk dengan kehidupan mewahmu sekarang?,” tambah Mira, adik ipar Kirana, yang tak segan mengejeknya.
"Jadi ini ya janda mandiri yang katanya sukses itu? Wah, hebat juga bisa bertahan. Atau… ada lelaki lain yang bantu?,” timpal Lila, yang berdiri di sebelah Mira.
Kirana hanya menghela napas dan menahan emosi yang mulai mendidih di dadanya.
Ia lalu menoleh ke Naya yang masih bersembunyi di belakangnya. “Ibu, ayo kita pulang,” ajak Naya, mengabaikan mereka yang sudah jahat pada dirinya dan ibunya.
Namun Hilda tiba-tiba menatap ke arah Naya. “Naya, kamu sudah besar sekarang,” sapanya dengan senyum yang dibuat-buat.
Naya hanya melirik sekilas lalu memalingkan wajah tanpa berkata apa-apa. Ia menggenggam tangan ibunya lebih erat karena merasa tidak nyaman.
“Ayo, sayang,” ajak Kirana, mencoba mengakhiri situasi yang tidak menyenangkan itu.
Merasa dirinya diabaikan, Hilda pun langsung berubah marah. “Kamu sekarang sudah bisa sombong, ya! Berani mengabaikan ibu mertuamu sendiri. Dulu, kalau bukan karena Arga, kamu itu tidak akan bisa apa-apa! Dasar perempuan tidak tahu terima kasih!,Q” serunya dengan nada tinggi.
Langkah Kirana terhenti. Ia menoleh perlahan, lalu menatap tajam ke arah Hilda. “Aku sudah cukup tahu terima kasih, Bu Hilda. Tapi aku juga tahu kapan harus berhenti memberi tempat untuk orang-orang yang hanya membawa luka," tegas Kirana.
Hilda terkejut dengan keberanian Kirana. “Kamu bicara apa?!."
“Tidak perlu dijelaskan. Tapi tolong, hargai tempat ini. Ini makam Mas Arga, suamiku, yang seharusnya membawa ketenangan, bukan menjadi tempat untuk melampiaskan amarah," tambah Kirana.
Kirana lalu menggandeng Naya, hendak meninggalkan ketiganya yang masih berdiri terpaku dan merasa kesal. Langkahnya tegas, namun matanya berkaca-kaca.
Namun, langkah Kirana dan Naya tiba-tiba terhenti ketika suara berat yang tidak kalah asing memanggil, “Naya!."
Kirana menoleh dan mencari arah suara dengan bingung, begitu pula Naya yang bersembunyi di belakangnya.
Dari arah mobil hitam yang terparkir, muncul sosok lelaki tua dengan tongkat di tangannya. Itu Herman, ayah mertua Kirana, yang dulu sempat menderita stroke.
"Ayah," bisik Kirana yang terkejut.
Herman melangkah pelan mendekati mereka, dibantu oleh seorang sopir. Meski terlihat lebih kurus, wajahnya menunjukkan senyum tulus yang selama ini dirindukan Kirana dan Naya.
“Naya…” panggil Herman lagi dengan suara yang bergetar.
Naya yang awalnya ragu akhirnya melangkah maju. “Kakek?," tanyanya perlahan untuk memastikan.
Herman pun mengangguk dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Begitu mendekat, ia langsung merentangkan tangannya. Naya langsung berlari ke pelukannya tanpa ragu. “Kakek!,” serunya sambil menangis.
Herman memeluk cucunya erat-erat. “Naya… kakek merindukanmu. Maafkan kakek karena tidak bisa melindungimu dan ibumu dulu…” katanya penuh penyesalan.
Sementara, Kirana berdiri mematung dan menahan air mata yang mulai menggenang. Ia masih teringat bagaimana Hilda dan kedua adik ipar Arga memperlakukannya dengan sangat buruk, tetapi Herman adalah satu-satunya yang selalu membelanya.
“Kirana,” suara Herman terdengar lirih. Ia menatap menantunya dengan penuh haru. “Maafkan ayah… Ayah tidak tahu apa yang terjadi. Ketika ayah sadar dari stroke, kalian sudah pergi. Ayah berusaha mencari, tapi tidak pernah berhasil," ujar Herman.
“Aku… Aku tidak pernah menyalahkan Ayah. Tapi saat itu…” ucap Kirana namun suaranya terhenti karena menahan tangis.
Kemudian, Herman mengulurkan tangannya ke arah Kirana. “Kirana, terima kasih sudah bertahan. Aku tahu kamu sudah melalui banyak hal yang tidak adil. Tapi hari ini aku senang sekali bisa melihat kalian lagi.”
Dari kejauhan, suara Hilda yang masih kesal memecah keheningan pemakaman. “Mas, kenapa harus repot-repot memeluk mereka? Mereka sudah bukan bagian dari keluarga ini lagi!,” teriaknya.
Herman lalu menoleh tajam ke arah istrinya. “Hilda! Mulutmu itu, jaga baik-baik!,” bentaknya. “Kirana dan Naya tetap keluargaku, tidak peduli apa yang kamu pikirkan!.”
Sementara, Mira dan Lila hanya terdiam dan tidak berani menanggapi.
Kirana yang merasa tidak nyaman dengan suasana yang mulai memanas pun segera pamit undur diri. “Ayah, terima kasih. Tapi sebaiknya kami pergi dulu. Aku tidak ingin ada masalah di sini,” ujarnya pelan.
"Sekarang ayah ada disini, tidak ada yang bisa menyakiti kalian lagi," tegas Herman. "Juga, kakek sangat merindukan cucu kakek ini yang sekarang sudah besar," lanjutnya sambil mengelus rambut Naya. "Ayah hanya ingin menghabiskan waktu sebentar dengan kalian.”
Kirana menatap Herman dengan ragu, tapi melihat keteguhan dan kerinduan di matanya, ia akhirnya mengangguk. “Baik Ayah."
Kemudian, Herman mengajak Kirana juga Naya pergi ke restoran terdekat dengan menggunakan mobil masing-masing.
Sepanjang perjalanan, Hilda dan kedua putrinya terus menggerutu. Mereka kesal karena Herman masih bersikap baik pada Kirana juga Naya.
**
Setelah beberapa saat, akhirnya mereka tiba di sebuah restoran terdekat. Herman memilih tempat di sudut yang tenang dan jauh dari keramaian. Sopir Herman membantunya duduk, sementara Kirana menggandeng tangan Naya yang tampak senang.
Di sisi lain, Hilda dan kedua putrinya, Mira dan Lila, masih berdiri di luar restoran sambil menatap Kirana dengan tatapan sinis.
“Dia punya mobil sendiri sekarang?,” bisik Mira.
“Mobilnya mahal lagi,” timpal Lila sambil melipat tangan di dada.
"Heh!." Hilda mendengus. “Pasti uang dari lelaki-lelaki yang dia tipu. Dasar janda murahan,” katanya dengan nada rendah, tapi penuh emosi.
“Kenapa Ayah masih peduli pada mereka? Kak Kirana itu kan cuma masa lalu!," ujar Mira seraya menoleh ke arah ibunya.
“Sudahlah, jangan buang waktu kalian untuk memikirkan perempuan itu. Kita tunggu saja Ayah di mobil,” ujar Hilda sambil melangkah pergi dengan penuh kekesalan.
Sementara itu, di dalam restoran, suasana hangat begitu terasa. Herman dan Naya berbincang dengan asyik untuk meluapkan kerinduan mereka.
“Naya, kamu suka apa? Pilih saja,” ujar Herman sambil tersenyum.
Naya membuka buku menu dengan antusias lalu menjawab, “Aku mau spageti, Kakek.”
"A ha ha ha... Baik, spageti untuk cucu kesayangan Kakek. Kirana, bagaimana denganmu?."
Kirana menggeleng pelan. “Aku tidak apa-apa, Ayah. Tadi sudah makan di rumah."
“Tidak ada alasan untuk tidak makan bersama keluarga,” tegas Herman sambil menatap Kirana dengan penuh kasih. “Anggap ini sebagai tanda permintaan maaf ayah, meski mungkin tidak cukup untuk menebus apa yang sudah terjadi.”
Kirana pun tersenyum kecil, dan akhirnya memesan sup ayam.
Saat makanan tiba, Herman memandangi Naya yang makan dengan lahap. “Naya, kamu tahu tidak? Ayahmu dulu juga suka spageti seperti kamu. Kalau makan, dia sampai lupa segalanya,” katanya dengan nada bercanda.
“Aku ingat Ayah suka spageti. Ibu sering cerita," balas Naya, tersenyum kecil.
Herman lalu menatap Kirana dan terharu, “Terima kasih karena sudah menjaga kenangan Arga tetap hidup di hati Naya.”
Kirana pun mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. “Mas Arga selalu ada di hati kami, Ayah.”
Perbincangan pun berlangsung cukup lama hingga akhirnya Hilda menghampiri mereka dengan wajah yang kesal.
"Apa belum cukup waktunya?," tanyanya ketus.
Bersambung...