Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Davin menghentakkan kaki ke anak tangga hingga berbunyi nyaring. Dia lempar koper kecil yang berisi lap top di tempat tidur ketika tiba di kamar. Jika Davin lempar tas itu ke lantai, sudah dipastikan hancur.
"Baru juga diizinkan keluar rumah, katanya sebentar tapi sampai tengah hari begini belum pulang, kemana lagi jika bukan kelayapan" Davin ambil handphone lalu menekan nomor hape Arumi.
"Tidak diangkat lagi" Davin pun melempar tubuhnya ke kasur tanpa membuka sepatu. Entah ada masalah apa pria itu datang-datang ngamuk.
15 menit kemudian, pintu kamar dibuka dari luar, dia adalah Arumi. Tatapannya tertuju kepada Davin yang tengah tidur tanpa membuka sepatu. "Apa Mas Davin sakit ya" batin Arumi. Dia letakkan tas di sofa lalu mendekati kaki suaminya yang menjuntai ke lantai.
Arumi berjongkok hendak membuka sepatu, tetapi tiba-tiba saja Davin menjauhkan kakinya.
"Mas kenapa? Sakit" Arumi berdiri hendak memegang dahi Davin.
"Dari mana kamu?" Davin membentak, tatapan matanya yang merah itu membuat Arumi ngeri lalu menjauh dari tempat tidur.
"Maaf Mas, tadi tuh..." Arumi berusaha untuk menjelaskan.
"Tidak usah banyak alasan, ternyata begini kamu. Pembohong! Bilangnya pergi sebentar, tetapi sudah jam berapa ini? Kamu ingkar berapa jam?!" Tandas Davin emosional.
"Dengar dulu penjelasan aku Mas" Arumi berusaha mendekati Davin hendak memberi penjelasan, apa penyebabnya hingga dia pulang terlambat. Namun, baru beberapa langkah berhenti lantaran tatapan mata tajam Davin membuat Arumi takut
"Apa yang akan kamu jelaskan? Kejebak macet, motor rusak, bensin habis di tengah perjalanan, itu kan alasan kamu? Buang saja motor kamu itu"
Tidak ada jawaban dari Arumi, menjelaskan pun tidak mungkin Davin dengar. Arumi meneteskan air mata. Inikah sifat asli Davin yang sesungguhnya? Ketika sebelum menikah Davin sering membentak, tetapi hati Rumi tidak sesakit sekarang, karena dulu Arumi merasa hanya bawahan. Tetapi saat ini dia istrinya, seharusnya Davin bisa bertanya baik-baik bukan mencak-mencak seperti ini.
Arumi pun keluar dari kamar itu dengan dada sesak. Sambil berjalan ke kamar Adeline, air matanya semakin deras.
"Hahaha... apa saya bilang. Kamu tidak akan mendapatkan cinta Davin, walaupun kamu bertahan sampai rambutmu memutih Arumi. Hahaha..." Malika tertawa-tawa ketika Arumi melewati depan kamar Malika. "Kamu belum mengenal Davin seperti saya adik sepupunya, Arumi" sambung Malika.
Arumi tidak mau membuang waktu sia-sia untuk meladeni wanita gila itu. Dia mencengkeram handle pintu kamar Adel lalu masuk, kemudian mengunci pintu sambil membersihkan air mata agar jangan diketahui oleh Adeline.
"Mama... Mama kenapa?" Sambar Adel ketika Arumi baik badan. Adel rupanya tahu jika Arumi sedang menangis dilihat dari mata dan hidungnya yang merah.
"Nggak apa-apa sayang... Mama cuma ngantuk. Sekarang bobo siang yuk" Arumi berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya.
"Iya Ma, Adel juga ngantuk" Adel merebahkan tubuhnya, ia tidak mau bertanya apapun lagi. Usia Adel memang masih balita, tetapi cukup peka untuk menilai bahwa sang mama sedang bersedih.
Arumi juga merebahkan tubuhnya tetapi di ranjang terpisah, air matanya masih terus menetes membasahi bantal, dia gigit bibirnya agar tidak bersuara.
Satu jam kemudian Adel tidak bisa tidur siang seperti biasa. Kesedihan Arumi mengganggu pikirannya. Ia mendekati tempat tidur Arumi menatap wajah mamanya itu lekat. "Mama sepeltinya lagi tidul" Batin Adel. Setelah yakin jika Arumi tidur, ia membuka pintu perlahan-lahan lalu keluar.
"Mau kemana kamu Adel, kok tumben tidak tidur siang?" Malika menghentikan langkah Adel.
"Adel nggak bisa bobo siang Ate, telus mau ke kamal Papa saja" papar Adel, anak itu sebenarnya ada alasan untuk apa menemui Davin ke kamar, tetapi tidak mau jujur.
"Pasti kamu mikirin Arumi yang lagi nangis. Bandel sih... Mama baru kamu itu, jadi dimarahi Papa kamu" Malika mencoba mengadu domba ingin mengambil keuntungan dari keributan Arumi dengan Davin melalui Adel.
"Mama Lumi nggak bandel, Ate... Ate Lika tuh yang bandel. Suka malah-malah" Adel melengos nampak lucu.
"Hus! Anak kecil tidak boleh bicara begitu sama orang tua, kwalat tahu tidak" Malika kesal mendengar ucapan Adel.
Adel meninggalkan Lika yang terus nerocos lalu membuka pintu kamar Davin.
"Papa... katanya kalau tidul halus cuci tangan, cuci kaki. Eh, Papa sendili sepatu nya nggak dilepas" Adel bergumam. Namun, masih terdengar di telinga Davin yang hanya setengah tidur. Davin lantas membuka mata menatap Adeline yang tengah memandangi sepatutnya.
"Adel..." Davin segera bangun.
"Papa jolok, tidul sepatutnya tidak dicopot" Adel lalu duduk di tempat tidur memandangi sepatu hitam kelimis itu.
"Oh iya, Papa lupa. Keburu ngantuk soalnya" Davin beralasan, segera ia melepas sepatu tidak Davin sadari telah melanggar aturannya sendiri.
"Papa tadi pasti malahin Mama"
Deg. Davin menoleh cepat ke arah putrinya, tidak mengelak, tetapi juga tidak mengakui.
"Mama bicara apa sama kamu?" Davin pikir, Arumi mengadu kepada Adel.
"Nggak ngomong apa-apa, tapi Adel kan lihat Mama lagi sedih, Pa" tutur Adel dengan wajah sedih juga karena terbawa perasaan.
Davin tidak menjawab, merampungkan melepas kaos kaki kemudian memasukkan ke dalam sepatu.
"Papa kok suka malah-malah sepelti Ate Lika sih" lanjutnya dengan bibir manyun.
"Oh iya, kamu sama Mama tadi pergi kemana saja. Katanya hanya ambil motor sebentar, tapi kok lama?" Davin mengalihkan pertanyaan.
"Tadi di jalan ada Nenek-Nenek yang lagi nyeblang Pa. Telus... ketablak motol. Kasihan deh Pa, masa... Motol yang nablak Nenek itu kabul nggak mau nolongin Nenek yang beldalah-dalah" Adel menceritakan pengalaman di jalan tadi sambil menggerakkan pundak merasa kasihan dengan wanita tua dan ngeri melihat darah.
"Terus..." Davin akhirnya duduk di sebelah Adel.
"Mama juga kasihan sama Nenek Pa, telus Mama antal ke lumah sakit naik taksi" Adel memaparkan ketika warga menggotong nenek masuk ke dalam taksi, kemudian dilarikan ke rumah sakit terdekat.
"Terus..." Davin mulai mengerti kemana arah penuturan Adel.
"Telus... Mama diajak Pak polisi, ditanyain melulu. Makanya lama..."
"Sekarang kita temui Mama yuk" Davin segera berdiri tetapi tangannya ditarik Adel.
"Jangan Papa... Mama lagi tidul. Mama kecapean nangis, pasti gala-gala dimalahin Papa. Iya kan?"
...~Bersambung~...