Riska tak pernah menyangka hidupnya yang sederhana akan terbalik begitu saja setelah pertemuannya dengan Aldo Pratama, CEO muda yang tampan dan penuh ambisi. Sebuah malam yang tak terduga mengubah takdirnya—ia hamil di luar nikah dari pria yang hampir tak dikenalnya. Dalam sekejap, Riska terjebak dalam lingkaran kehidupan Aldo yang penuh kemewahan, ketenaran, dan rahasia gelap.
Namun, Aldo bukanlah pria biasa. Di balik pesonanya, ada dendam yang membara terhadap keluarga dan masa lalu yang membuat hatinya dingin. Baginya, Riska adalah bagian dari rencana besar untuk membalas luka lama. Ia menawarkan pernikahan, tetapi bukan untuk cinta—melainkan untuk balas dendam. Riska terpaksa menerima, demi masa depan anaknya.
Dalam perjalanan mereka, Riska mulai menyadari bahwa hidup bersama Aldo adalah perang tanpa akhir antara cinta dan kebencian. Ia harus menghadapi manipulasi, kesalahpahaman, dan keputusan-keputusan sulit yang menguji kekuatannya sebagai seorang ibu dan wanita. Namun, di bal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Perang di Balik Meja
Gedung perusahaan itu tak lagi terasa seperti tempat yang aman. Adrian duduk di ruang rapat dengan ekspresi wajah yang tegang. Berita tentang pengambilalihan mendadak ini membuat seluruh jajaran direksi panik. Andre benar-benar bergerak lebih cepat dari yang ia bayangkan.
Namun, yang paling mengganggu Adrian bukan sekadar langkah Andre, melainkan pesan ancaman terakhir yang ia terima semalam. Pesan itu bukan sekadar gertakan; Andre menunjukkan bahwa ia punya kuasa untuk menghancurkan semua yang Adrian miliki, baik itu perusahaan maupun kehidupan pribadinya.
Pintu ruang rapat terbuka. Semua mata tertuju pada sosok pria dengan jas hitam rapi yang melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Andre.
---
"Maaf mengganggu rapat kalian," kata Andre dengan nada penuh kemenangan, matanya memindai ruangan dan berhenti di Adrian. "Tapi aku rasa ini saat yang tepat untuk memberitahu kalian sesuatu."
Adrian berdiri dari kursinya, menatap Andre dengan tajam. "Kau tidak diundang ke sini."
Andre tersenyum sinis. "Oh, Adrian. Sepertinya kau lupa, aku sekarang memiliki cukup saham untuk hadir di rapat ini. Lagipula, aku hanya ingin menyampaikan kabar baik."
Salah satu direktur, Pak Suryo, menyela dengan suara gemetar. "Apa maksud Anda, Tuan Andre?"
Andre melipat tangannya, berdiri dengan postur penuh kuasa. "Sangat sederhana. Mulai hari ini, aku adalah pemegang saham mayoritas. Dan itu berarti... aku memiliki kendali penuh atas perusahaan ini."
Ruangan langsung dipenuhi bisikan panik. Adrian mengepalkan tangannya, berusaha keras untuk tetap tenang meskipun darahnya mendidih.
---
Adrian tahu, Andre tidak mungkin mendapatkan saham sebanyak itu tanpa bantuan dari pihak luar. Tetapi siapa? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, mencari celah untuk mematahkan langkah Andre.
Namun, sebelum ia bisa mengajukan protes, Andre membuka laptopnya dan memproyeksikan grafik ke layar besar di ruang rapat. Data yang ditampilkan adalah laporan keuangan perusahaan, termasuk kerugian besar yang terjadi dalam dua bulan terakhir.
---
"Kalian semua pasti bertanya-tanya bagaimana kerugian ini bisa terjadi," kata Andre, suaranya terdengar seperti ular yang berbisik. "Tapi jangan khawatir. Aku punya solusi untuk menyelamatkan perusahaan ini. Dan solusinya adalah... memecat Adrian."
Semua orang terdiam. Beberapa direktur terlihat kaget, sementara yang lain menunduk, enggan terlibat dalam konflik ini.
Adrian melangkah maju, menatap Andre dengan tatapan penuh amarah. "Kau tidak punya hak untuk mengambil keputusan itu. Aku yang membangun perusahaan ini dari awal."
"Tentu saja aku punya hak," jawab Andre dengan santai. "Pemegang saham mayoritas selalu memiliki hak."
---
Adrian merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja. Ia tahu bahwa Andre sengaja memancing emosinya agar ia kehilangan kendali.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap seluruh anggota rapat. "Jika kalian percaya padanya, maka kalian sama saja menyerahkan perusahaan ini ke tangan seorang penghancur."
Andre tertawa kecil. "Penghancur? Adrian, aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan. Jika kau tidak cukup kompeten untuk menjaga perusahaan ini tetap berdiri, maka kau tidak layak memimpinnya."
---
Seorang direktur wanita, Ibu Nira, akhirnya angkat bicara. "Tuan Adrian, Tuan Andre, harap tenang. Kami butuh waktu untuk memeriksa dokumen ini sebelum mengambil keputusan."
Andre mengangkat tangannya, pura-pura menyerah. "Tentu, silakan periksa. Tapi aku yakin kalian akan melihat bahwa aku hanya menyelamatkan perusahaan ini dari kehancuran."
Adrian berbalik, menatap Ibu Nira dengan tatapan penuh harapan. "Kalian tahu siapa yang selalu berjuang untuk perusahaan ini. Jangan biarkan dia mengambil alih tanpa perlawanan."
---
Pertemuan itu berakhir tanpa keputusan yang jelas, tetapi Adrian tahu bahwa Andre memiliki keunggulan besar. Ia harus menemukan cara untuk membalikkan keadaan sebelum semuanya terlambat.
Malam harinya, Adrian kembali ke kantornya, mencoba mencari petunjuk tentang bagaimana Andre bisa mendapatkan saham sebanyak itu. Di mejanya, ia menemukan sebuah amplop cokelat tanpa nama pengirim.
Ia membuka amplop itu dengan hati-hati dan menemukan serangkaian dokumen yang mengungkapkan transaksi rahasia antara Andre dan seorang investor asing. Dokumen itu adalah bukti bahwa Andre telah menggunakan cara curang untuk mendapatkan saham perusahaan.
---
Adrian segera menelepon Aldo, sahabat sekaligus orang kepercayaannya. "Aldo, aku punya bukti tentang Andre. Dia menggunakan investor asing untuk membeli saham perusahaan secara ilegal."
"Bagus. Itu berarti kita punya kesempatan untuk menyerangnya balik," jawab Aldo dengan suara penuh semangat.
"Tapi kita harus berhati-hati. Jika ini bocor sebelum waktunya, Andre bisa memutarbalikkan fakta," kata Adrian dengan nada serius.
"Jadi, apa rencanamu?" tanya Aldo.
"Kita akan membawa ini ke pengadilan perusahaan. Tapi sebelum itu, aku perlu memastikan bahwa semua bukti ini sah dan tidak bisa disangkal."
---
Namun, sebelum Adrian bisa bergerak lebih jauh, ia menerima telepon dari rumah sakit. Suara seorang perawat di ujung telepon membuat tubuhnya langsung menegang.
"Pak Adrian, maaf mengganggu. Tetapi ada seseorang yang mencoba masuk ke ruang perawatan Nona Riska. Kami berhasil menghentikannya, tetapi orang itu meninggalkan pesan untuk Anda."
"Apa pesannya?" tanya Adrian dengan suara gemetar.
Perawat itu menjawab dengan nada ragu, "Pesannya adalah... 'Jangan coba-coba melawan, atau dia akan membayarnya.'"
---
Adrian menutup telepon dengan tangan gemetar. Ia tahu, ini bukan lagi sekadar perang bisnis. Andre telah menyerang langsung ke titik terlemahnya.
Adrian berdiri di jendela kantornya, menatap kota yang gemerlap di bawah. Dalam hatinya, ia bersumpah tidak akan membiarkan Andre menang, bahkan jika itu berarti ia harus mengorbankan segalanya.
Namun, satu pertanyaan terus menghantui pikirannya: Berapa banyak lagi yang harus ia bayar untuk memenangkan perang ini?