Riska tak pernah menyangka hidupnya yang sederhana akan terbalik begitu saja setelah pertemuannya dengan Aldo Pratama, CEO muda yang tampan dan penuh ambisi. Sebuah malam yang tak terduga mengubah takdirnya—ia hamil di luar nikah dari pria yang hampir tak dikenalnya. Dalam sekejap, Riska terjebak dalam lingkaran kehidupan Aldo yang penuh kemewahan, ketenaran, dan rahasia gelap.
Namun, Aldo bukanlah pria biasa. Di balik pesonanya, ada dendam yang membara terhadap keluarga dan masa lalu yang membuat hatinya dingin. Baginya, Riska adalah bagian dari rencana besar untuk membalas luka lama. Ia menawarkan pernikahan, tetapi bukan untuk cinta—melainkan untuk balas dendam. Riska terpaksa menerima, demi masa depan anaknya.
Dalam perjalanan mereka, Riska mulai menyadari bahwa hidup bersama Aldo adalah perang tanpa akhir antara cinta dan kebencian. Ia harus menghadapi manipulasi, kesalahpahaman, dan keputusan-keputusan sulit yang menguji kekuatannya sebagai seorang ibu dan wanita. Namun, di bal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Pertaruhan Nyawa dan Cinta
Langit malam itu gelap, tanpa satu pun bintang yang terlihat. Di lorong rumah sakit, Adrian berdiri dengan tangan mengepal, mencoba meredam amarah dan rasa takut yang berkecamuk di dadanya. Setiap detik berlalu seperti duri yang menancap di kulitnya, menyakitkan dan tak tertahankan.
Di ruang operasi, Riska berjuang antara hidup dan mati. Bayangan wajahnya yang lemah dan penuh luka terus menghantui Adrian. Ia tidak pernah menyangka bahwa kebenciannya terhadap Andre akan membawa mereka pada titik ini—sebuah pertaruhan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
---
“Adrian.” Suara Aldo memecah keheningan. Ia berdiri di sisi Adrian, wajahnya penuh rasa bersalah. “Ini semua salahku. Aku tidak bisa melindungi kalian…”
Adrian berbalik, matanya tajam menatap Aldo. “Kau benar. Ini salahmu. Tapi sekarang bukan waktunya membahas itu.”
Aldo menunduk. “Aku akan menebusnya. Apa pun yang terjadi.”
“Pastikan kau melakukannya,” ujar Adrian dingin. “Karena jika sesuatu terjadi pada Riska atau bayi itu, aku tidak akan pernah memaafkanmu.”
Aldo mengangguk perlahan. Namun, di balik ekspresi pasrahnya, ia merencanakan sesuatu. Sebuah langkah terakhir untuk menghentikan Andre sebelum semuanya terlambat.
---
Pintu ruang operasi terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah serius. Adrian segera menghampiri, rasa cemasnya membuncah.
“Tuan Adrian,” kata dokter itu dengan suara berat. “Kami berhasil menstabilkan kondisi nyonya Riska, tetapi kondisi bayinya sangat kritis. Kami perlu melakukan operasi tambahan untuk menyelamatkannya.”
“Lakukan apa pun yang perlu kalian lakukan,” kata Adrian tanpa ragu. “Selamatkan mereka berdua.”
Dokter mengangguk, lalu kembali masuk ke ruang operasi. Adrian merasa tubuhnya melemah, tetapi ia tidak bisa jatuh. Ia harus tetap kuat untuk Riska.
---
Aldo mendekat, mencoba menawarkan dukungan. “Kita akan melewati ini, Adrian. Riska adalah wanita kuat. Dia tidak akan menyerah begitu saja.”
Adrian menatap Aldo dengan mata yang penuh amarah. “Kau tidak tahu apa-apa tentangnya. Kau hanya tahu bagaimana caranya menghancurkan hidup kami.”
“Aku tahu aku salah,” jawab Aldo dengan suara pelan. “Tapi aku di sini untuk membantumu sekarang.”
“Kita lihat saja,” kata Adrian singkat.
Ketegangan di antara mereka terasa seperti benang yang hampir putus. Namun, sebelum pembicaraan mereka berlanjut, suara langkah kaki cepat mendekat.
---
Seorang perawat tergesa-gesa datang menghampiri mereka. Wajahnya tegang. “Tuan Adrian, kami membutuhkan tanda tangan Anda untuk persetujuan tindakan darurat.”
Adrian segera mengambil kertas yang diberikan. Namun, saat ia membaca detail prosedur yang dijelaskan, tangannya bergetar. Operasi ini memiliki risiko besar, baik untuk Riska maupun bayinya.
“Adrian…” Aldo mencoba mendekat. “Kau yakin ini keputusan yang tepat?”
“Apa kau pikir aku punya pilihan lain?” Adrian membalas dengan tajam.
Aldo terdiam. Dalam hati, ia tahu bahwa Adrian sedang menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya.
---
Adrian menyerahkan dokumen itu kepada perawat. “Lakukan. Pastikan mereka selamat.”
Perawat itu mengangguk, lalu kembali ke ruang operasi. Setelah itu, Adrian menjatuhkan dirinya ke kursi terdekat. Napasnya berat, dan pikirannya penuh dengan skenario terburuk.
Aldo duduk di sampingnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Adrian… aku tahu ini tidak cukup, tetapi aku bersumpah akan membawa Andre ke pengadilan. Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja.”
“Pengadilan?” Adrian tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Andre tidak akan pernah takut pada pengadilan. Dia bermain dengan cara yang lebih kotor daripada itu.”
“Kita harus mencoba,” desak Aldo.
“Tidak,” jawab Adrian tegas. “Aku akan menghadapinya sendiri. Aku tidak butuh keadilan hukum. Aku butuh dia merasakan apa yang aku rasakan sekarang.”
---
Sementara itu, di ruang operasi, Riska berada dalam kondisi kritis. Napasnya tersengal-sengal, dan di benaknya, kenangan masa lalu berkelebat. Ia ingat saat pertama kali bertemu Adrian, bagaimana cintanya yang tulus berubah menjadi kebencian, dan bagaimana semuanya mengarah pada momen ini.
Namun, ada satu hal yang tetap jelas di hatinya—ia tidak ingin anaknya menderita. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, Riska berdoa dalam hati agar bayi itu bisa lahir dengan selamat, meski itu berarti ia harus mengorbankan dirinya.
---
Di luar ruang operasi, Adrian merasakan teleponnya bergetar. Nama Andre muncul di layar. Amarah Adrian memuncak saat ia menjawab panggilan itu.
“Andre!” Adrian berteriak, suaranya penuh kebencian.
“Apa kabar, Adrian?” suara Andre terdengar santai, seolah tidak terjadi apa-apa. “Kudengar istrimu sedang berjuang untuk hidupnya. Menyedihkan, bukan?”
“Aku bersumpah, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!” Adrian menggeram.
Andre tertawa kecil. “Tenanglah, Adrian. Semua ini hanya bagian dari permainan. Kau tahu, kau selalu menjadi bidak yang mudah dipermainkan.”
“Kau pikir ini permainan?” Adrian membalas, suaranya gemetar. “Kita lihat siapa yang akan tertawa terakhir.”
---
Panggilan itu terputus, meninggalkan Adrian dengan amarah yang membara. Aldo memandangnya dengan khawatir.
“Dia menelepon, bukan?” tanya Aldo.
Adrian mengangguk. “Dia ingin memancingku. Tapi aku tidak akan membiarkannya menang.”
“Kita harus memikirkan strategi,” ujar Aldo. “Andre tidak bisa dikalahkan dengan emosi semata.”
“Aku tahu,” jawab Adrian pelan. “Tapi sekarang, aku hanya peduli pada Riska dan anakku.”
---
Pintu ruang operasi kembali terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah serius.
“Tuan Adrian,” kata dokter itu dengan suara tegas. “Kami berhasil menyelamatkan bayi Anda, tetapi…”
Adrian merasakan jantungnya berhenti sesaat. “Tetapi apa?”
Dokter menghela napas panjang. “Kami masih berjuang untuk menyelamatkan nyonya Riska. Kondisinya sangat kritis.”
Adrian merasakan dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Tatapannya kosong, tetapi hatinya penuh dengan ketakutan yang tak terungkapkan.
“Kau harus kuat,” bisik Aldo, meskipun suaranya sendiri terdengar goyah.
Namun, dalam hati Adrian, hanya ada satu pikiran yang terus berputar—apa yang harus ia lakukan jika kehilangan wanita yang ia cintai?