Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Di kantor Mentari Grup, suasana mendadak ricuh ketika suara bentakan Tiara terdengar dari ujung koridor. Tiara, yang terjatuh karena terpeleset di lantai yang baru dipel, sedang memarahi petugas kebersihan dengan nada keras dan marah.
"Kenapa tanda 'lantai licin' ini ditaruh di tempat yang tidak terlihat! kamu sengaja ya?!" serunya, wajahnya merah padam karena marah dan malu.
Petugas kebersihan, seorang wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di gedung itu, tampak bingung dan tertekan, hanya bisa meminta maaf meskipun sebenarnya tidak bersalah.
Dina, yang kebetulan melintas, melihat insiden itu dan segera menghampiri. "Tiara, kau tidak perlu marah-marah seperti itu" kata Dina dengan suara tenang, berusaha melerai situasi. "Tanda lantai licin sudah ada di sana sejak tadi. Kamu mungkin tidak melihatnya"
Namun, bukannya mereda, kemarahan Tiara malah semakin menjadi. Dia menatap Dina dengan tatapan sinis. "Oh, jadi kamu mau membela dia sekarang? Sudah dapat pekerjaan ini dengan koneksi, sekarang mau jadi pahlawan?" cibirnya dengan nada sarkastik.
Dina tetap berusaha tenang meskipun hatinya terasa tersulut. "Bukan soal membela siapa-siapa, Tiara. Semua orang bisa melakukan kesalahan, tapi kita juga harus melihat situasi dengan lebih objektif."
Tiara mendengus, menolak mengakui kesalahannya. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah Tiara terlalu sibuk melihat ponselnya, sehingga tidak memperhatikan tanda peringatan yang jelas-jelas sudah dipasang. Namun, ego dan rasa malu membuatnya tak mau mengaku salah.
Situasi ini menarik perhatian beberapa karyawan yang mulai berkerumun, menambah panasnya suasana.
***
Ferdi yang baru saja selesai berbincang dengan koleganya mendengar keributan di ujung koridor. Tanpa berpikir panjang, dia segera menghampiri sumber suara. Di sana, dia melihat Tiara yang sedang berdiri dengan wajah marah, sementara seorang wanita paruh baya dengan seragam petugas kebersihan terlihat tertunduk ketakutan. Dina berdiri di tengah, berusaha melerai situasi yang semakin memanas.
Tatapan Ferdi langsung tertuju pada Dina, wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, tapi matanya menatap tajam ke arah Tiara.
"Ada apa ini?" suara Ferdi terdengar dingin namun tegas, membuat semua orang yang berada di sekitar keributan itu langsung terdiam.
Tiara, yang masih penuh emosi, tampak tergagap sesaat sebelum menjawab, "Petugas kebersihan ini ceroboh! saya hampir terjatuh karena dia tidak menaruh tanda peringatan dengan benar!"
Ferdi melirik ke arah lantai yang licin, lalu ke arah tanda peringatan yang sudah jelas terpampang. Dia kemudian menghela napas dan menatap Tiara dengan pandangan menilai. "Tandanya sudah ada di sana, Tiara," ucapnya tenang. "Sepertinya kau yang tidak melihat tanda peringatan itu dengan benar, seharusnya kau minta maaf dan bukan mencari kesalahan orang lain."
Tiara terdiam, wajahnya berubah dari merah padam menjadi sedikit pucat. Tidak ada yang berani berbicara saat Ferdi melanjutkan, "Lalu kau? Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya dengan nada yang sama dinginnya.
Dina mengangguk, masih berusaha mengatur emosi, "Saya hanya ingin melerai masalah ini agar tidak berlarut-larut."
Ferdi mengangguk kecil, kemudian memandang petugas kebersihan yang masih terlihat takut. "Ibu, Lakukan saja pekerjaan Anda seperti biasa. Kau bisa pergi sekarang" katanya, suaranya terdengar lebih hangat.
Wanita itu mengangguk dengan lega sebelum perlahan meninggalkan tempat itu, sementara Ferdi memandang Tiara dengan tatapan peringatan. "Lain kali perhatikan sekitarmu sebelum menyalahkan orang lain."
Tiara mengangguk kaku, merasa dipermalukan di depan semua orang, lalu bergegas pergi tanpa sepatah kata pun.
Setelah semua orang pergi dan suasana kembali tenang, Ferdi memandang Dina dengan tatapan dingin. Tanpa banyak bicara, dia berkata, "Dina, ikut aku ke ruanganku"
Dina tertegun, namun tanpa membantah dia mengikuti Ferdi menuju ruangannya. Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Ferdi bersandar di meja kerjanya dengan tangan terlipat di dada, ekspresinya tampak lebih kaku dari biasanya.
“Kamu suka sekali jadi pahlawan kesiangan, ya?” sindir Ferdi dengan nada tajam. "Apa kamu datang ke sini untuk membela semua orang, atau kamu datang untuk bekerja?"
Dina menelan ludah, merasa serangan kata-kata itu sedikit tidak adil. Dia tahu Ferdi tidak pernah benar-benar menyukainya, tapi dia tidak menyangka reaksinya akan setajam ini. "Saya tidak bermaksud begitu, pak Ferdi," jawab Dina dengan nada menenangkan. "Saya hanya merasa kasihan dengan ibu Yuni yang dimarahi sampai seperti itu, padahal itu bukan kesalahan beliau"
Ferdi mendengus, matanya tetap menusuk ke arah Dina. "Kau harusnya bisa memilih apa yang bisa dan tidak bisa kamu lakukan Dina. Kamu jadi tidak fokus bekerja. Kamu baru beberapa hari di sini, tapi sudah terlibat dalam masalah yang bukan urusanmu."
Dina mencoba menenangkan perasaannya. "Saya hanya ingin membantu. Saya tidak ingin masalah kecil jadi membesar, apalagi petugas kebersihan itu jelas tidak bersalah."
Ferdi mengangkat satu alis. "Mungkin dia tidak bersalah, tapi kamu juga tidak perlu terlibat. Fokus saja pada pekerjaanmu. Jika ingin membuktikan sesuatu, tunjukkan melalui hasil kerja, bukan dengan campur tangan dalam drama kantor."
Dina menunduk, merasa terpojok. “Baik, saya mengerti. Saya akan lebih berhati-hati.”
Ferdi mengangguk singkat, matanya masih dingin. "Pastikan itu. Kamu tidak akan mengulanginya lagi." Tanpa menunggu balasan, dia kembali duduk di kursinya dan mulai membuka dokumen di mejanya, memberi isyarat bahwa pembicaraan sudah selesai.
Dina keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk—antara kesal dan kecewa. Meski dia hanya ingin berbuat baik, jelas bagi Ferdi, tindakan itu dianggap sebagai kesalahan besar.
...****************...
Ketika Dina kembali ke ruangannya, langkahnya baru saja memasuki pintu ketika Tiara langsung menghampirinya. Wajah Tiara merah padam, dan tanpa basa-basi, dia mulai memarahi Dina.
“Kamu benar-benar keterlaluan, Dina!” seru Tiara dengan nada tinggi. “Bukannya membelaku, malah mempermalukan aku di depan semua orang! Kamu tahu siapa aku di sini, kan?”
Dina, yang masih merasa kesal setelah pembicaraannya dengan Ferdi, berusaha menahan diri. Namun, ucapan Tiara yang menyindir dan memojokkan membuat amarahnya perlahan naik. "Aku tidak mempermalukan siapa pun, Tiara. Aku hanya ingin menghentikanmu menyalahkan seseorang yang jelas - jelas tidak bersalah."
Tiara mendengus, matanya menyipit. "Kamu baru di sini, Dina. Jangan sok pahlawan. Kamu tidak tahu bagaimana bekerja di lingkungan ini. Jika kamu mau bertahan, sebaiknya jangan ikut campur urusan orang lain."
Dina tidak bisa lagi menahan emosinya. “Tiara, cukup. Kamu tidak bisa semena-mena hanya karena merasa lebih berkuasa. Aku mungkin baru di sini, tapi aku tahu mana yang benar dan mana yang salah. Jangan kira aku akan diam saja melihatmu memperlakukan orang dengan tidak adil.”
Ucapan Dina membuat suasana menjadi sangat tegang. Tiara melotot, sementara beberapa rekan kerja mereka mulai memperhatikan. Ruangan yang tadinya tenang mendadak penuh dengan ketegangan yang bisa dirasakan oleh semua orang.
“Jadi sekarang kamu merasa lebih baik dariku? Apa karena kamu masuk ke sini pakai koneksi, kamu merasa bisa mengajariku soal etika?” Tiara membalas dengan nada mengejek.
Dina menatap Tiara tajam, kali ini tidak mundur. "Ini bukan soal koneksi atau siapa yang lebih baik, Tiara. Ini soal bagaimana kita memperlakukan orang lain. Kalau kamu tidak bisa memahami itu, mungkin kamu yang harus belajar lebih banyak soal etika."
Sebelum suasana semakin panas, Surya, ketua tim mereka, masuk ke ruangan. Dia tampak terkejut melihat situasi itu. “Apa yang sedang terjadi di sini?”
Keduanya langsung terdiam, saling melempar pandangan tajam namun memilih untuk mengakhiri pertengkaran mereka. Surya melirik keduanya dengan alis terangkat, namun tidak berkata banyak. Hanya dengan kedatangannya, situasi yang sebelumnya tegang tidak serta merta langsung mereda, hal itu terlihat jelas dari situasi canggung di antara mereka.
Dina kembali duduk di mejanya, menghela napas panjang. Sementara Tiara mendengus sekali lagi sebelum berlalu, suasana di ruangan terasa lebih dingin dari sebelumnya.
...****************...
Nita, yang duduk di sebelah Dina, memberikan senyuman lebar dan diam-diam mengacungkan jempol ke arah Dina. “Hebat, kamu berani juga melawan Tiara,” bisiknya dengan nada penuh kekaguman.
Dina hanya tersenyum tipis, sedikit lelah setelah debat panas dengan Tiara. “Aku hanya tidak bisa diam saja melihat dia memperlakukan orang seperti itu.”
Nita mengangguk, matanya berbinar. “Kebanyakan orang di sini memilih diam dan menghindari masalah. Tapi kamu... berani, Dina. Jarang ada yang bisa membalas ucapan Tiara seperti itu.”
Dina menghela napas. “Aku cuma berharap ini tidak membuat suasana kerja jadi lebih sulit.”
“Jangan khawatir,” balas Nita dengan semangat. “Kamu punya aku di sini. Lagipula, semua orang tahu bagaimana Tiara. Kamu hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan.”
Dina merasa sedikit lega dengan dukungan Nita, meskipun ia tahu ke depannya situasinya mungkin akan semakin rumit. Tapi setidaknya, ia tidak sendirian.
...----------------...
aku kl masalh bayi di adopsi hnya untuk kepentingan sungguh gk tega. aku gk setuju kl yg bgini. tari bukan tulus ma si bayi tp modus. dah di kasih penyakit ma karma bkn insyaf mlh makin menjadi.