Dinda harus menulikan telinga ketika ia selalu disebut sebagai perawan tua karena di usia yang sudah menginjak 36 tahun tak kunjung menikah bahkan tidak ada tanda-tanda dia punya pacar hingga membuat spekulasi liar bahwa dia adalah seorang penyuka sesama jenis! Dinda geram dengan ocehan orang-orang tak tahu menahu soal hidupnya hingga akhirnya semesta memertemukan dia dengan Alexander Dunn, seorang brondong berusia 25 tahun dari Skotlandia yang kebetulan saat itu menginap di hotel yang sama dengannya. Apa yang akan terjadi pada hidup Dinda selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Acara (yang seharusnya) Bahagia Justru Tidak Kesampaian
Acara syukuran yang seharusnya berjalan khidmat dan penuh rasa syukur serta kebahagiaan malah berubah seketika akibat kedatangan Widuri yang sukses membuat acara mereka berantakan. Kedatangan wanita dengan mulut nyinyir itu memang selalu saja membuat siapa pun menjadi kesal dibuatnya. Kini Widuri sudah pulang dan tersisa Dinda, Melvin, Alex dan juga Herlin. Herlin meminta maaf atas acara mereka yang justru berlangsung tidak sesuai dengan harapan.
"Bunda minta maaf."
"Kenapa harus Bunda yang meminta maaf? Bukannya nenek lampir itu yang harusnya minta maaf karena sudah menghancurkan acara kita?" sungut Melvin tak bisa menahan emosinya.
"Sudahlah Vin. Toh dia juga sudah pergi," ujar Dinda.
Alex sendiri malah sibuk menikmati kue dan beberapa cemilan yang ada di atas meja dan pria itu sama sekali tidak mau terlibat dalam drama keluarga Dinda saat ini akibat kedatangan Widuri yang tiba-tiba.
"Ngomong-ngomong Dinda soal apa yang kamu katakan barusan, apakah itu benar?" tanya Herlin.
"Soal aku yang akan menikah dengan Alex? Tentu saja benar," jawab Dinda tegas.
"Tapi Bunda nggak mau kamu menjadi tak bahagia karena pernikahan ini," ujar Herlin.
"Siapa yang bilang, Bun? Aku bahagia kok."
Dinda terpaksa mengatakan itu untuk membuat hati Herlin tenang, ia sendiri juga tak yakin dengan keputusannya yang mau menikah secepatnya dengan Alex yang tidak ia ketahui cukup lama latar belakangnya dan bagaimana perangai aslinya namun Dinda tidak bisa menarik kembali ucapannya, bagi Dinda harga dirinya adalah segala-galanya.
"Nak Alex."
"Iya Tante?"
"Apakah Nak Alex memang serius dengan anak saya?"
"Saya serius Tante, kalau saya tak serius mana mungkin saya mau menikahi Dinda?"
"Kalau begitu, kapan orang tua Nak Alex bisa datang ke sini untuk proses lamaran?"
Seketika wajah Alex berubah ketika mendengar pertanyaan dari Herlin dan Dinda cukup bosa melihat perubahan ekspresi itu, Dinda kemudoan mencoba untuk mengalihkan pembicaraan ke arah yang lain terlebih dahulu hingga Herlin pun lupa akan apa yang baru saja ia tanyakan pada Alex.
****
Dinda dan Alex sudah pamit pada Herlin dan kini mereka ada dalam perjalanan pulang ke apartemen, sepanjang perjalanan tak ada percakapan antara Dinda dan Alex. Dinda sendiri bukannya tak mau membuka percakapan dengan Alex namun Dinda sedang menunggu waktu yang tepat supaya bisa bertanya pada Alex.
"Kamu pasti mau bertanya sesuatu kan?" tanya Alex yang tanpa memandang wajah Dinda namun ia bisa tahu kalau sejak tadi wanita itu curi pandang ke arahnya.
"Iya, saya memang mau bertanya namun sepertinya saat ini suasana hati kamu sedang tidak baik jadi mungkin akan jauh lebih baik kalau saya tunda dulu pertanyaannya."
Alex nampak tertawa samar mendengar jawaban Dinda barusan yang mana tawa tersebut membuat Dinda menjadi heran. Dinda bertanya pada Alex mengapa pria itu malah menertawakan dirinya padahal di sini sama sekali tidak sda hal yang lucu.
"Sejak kapan kamu memerhatikan perasaan orang lain? Bukannya kamu selalu blak-blakan dalam mengungkapkan sesuatu?"
"Saya memang orang yang gak bisa basa-basi namun bukan berarti saya ini enggak punya empati. Saya paham kok kondisi di mana saya harus menempatkan diri dan bagaimana saya harus bicara."
Alex tak menanggapi apa yang Dinda barusan katakan namun setelah hening beberapa saat akhirnya pria itu mengatakan sesuatu.
****
Alex mengatakan pada Dinda bahwa dirinya hanya tinggal sendirian di sini, ia tak punya kerabat atau keluarga karena mereka semua ada di luar negeri. Dinda menganggukan kepalanya dan kemudian ia bertanya lebih lanjut soal keluarga Alex dan raut wajah Alex kembali muram ketika disinggung lebih dalam soal keluarganya.
"Bagaimanapun pernikahan ini harus dihadiri oleh keluargamu juga supaya gak terjadi kesalah pahaman di kemudian hari."
"Kamu orang pertama yang menyinggung masalah keluargaku."
Dinda mengerutkan keningnya heran dengan ucapan Alex barusan, tak lama kemudian Alex mengatakan pada Dinda bahwa ia memiliki seorang ayah yang kondisi kesehatannya sedang tidak baik-baik saja sementara ibunya sudah meninggal dunia. Dinda terkejut dengan cerita Alex barusan dan ia meminta maaf karena sudah menyinggung soal orang tua Alex.
"Kamu kan gak tahu soal keluargaku jadi gak masalah."
Alex kemudian menambahkan bahwa ia datang ke Indonesia sebagai seorang model untuk membantu perkenomian keluarganya dan jawaban Alex itu membuat Dinda tak banyak bertanya lagi soal pria itu. Namun ketika sampai di depan pintu unit apartemen masing-masing, Dinda baru ingat sesuatu dan ini sangat penting.
"Alex tunggu!"
"Ada apa lagi?"
"Maaf tapi saya harus menanyakan ini karena ini penting, apakah kamu punya agama?"
"Kenapa memangnya?"
"Kalau kamu mau menikah dengan saya maka kamu harus jadi mualaf dulu untuk bisa menikah dengan saya."
****
Herlin masih duduk seorang diri di sofa ruang tengah, ia tak menyangka acara hari ini yang harusnya diwarnai dengan kebahagiaan dan suka cita malah berakhir bencana. Kedatangan Widuri sungguh membuat segalanya hancur dan itu membuat dirinya merasa bersalah pada Dinda. Melvin yang baru saja turun dari lantai dua mendapati sang bunda tengah duduk seorang diri dan Melvin langsung berjalan menghampiri bundanya.
"Bunda kenapa?"
"Bunda hanya sedang memikirkan apa yang hari ini terjadi. Walau kakakmu mengatakan kalau ia baik-baik saja karena acara masih bisa dilakukan namun tentu saja ini tidaklah seperti apa yang ia bayangkan."
Melvin menggenggam tangan sang bunda, Melvin mencoba menenangkan bundanya dan mengatakan bahwa Dinda sama sekali tidak kecewa soal acara hari ini.
"Kamu tahu dari mana?"
"Kakak menelponku barusan, Bunda jangan sedih lagi dong."
Herlin menghela napasnya lega setelah mendengar apa yang Melvin katakan barusan. Kini pikiran Herlin jadi tertuju pada apa yang dikatakan oleh Dinda bahwa ia akan segera menikah dengan Alex.
"Melvin."
"Ada apa, Bunda?"
"Apakah kamu sudah lama mengenal nak Alex?"
"Belum terlalu lama sih Bund, tapi Melvin yakin kalau Alex pria yang baik dan cocok sama kakak."
****
Dinda sudah siap untuk bekerja pagi ini, ia sudah mengenakan pakaian kantornya dan bersiap untuk berjalan menuju lift ketika Alex keluar dari unit apartemennya.
"Bagaimana, kamu setuju dengan apa yang saya ucapkan kemarin?"
"Kalau aku tidak jadi mualaf memangnya kenapa? Apakah kita tidak bisa menikah?"
"Tentu saja tidak! Kalau kamu gak mau mending kita batalkan saja pernikahan kita, toh niat awal kita menikah kan gak serius melainkan pernikahan yang ada kesepakatan di dalamnya."
"Siapa yang bilang kalau kita bisa membatalkan itu? Kalau dibatalkan apa yang akan tante kamu bilang nanti? Yang ada nanti dia semakin menjadi-jadi dalam menghina kamu dan keluargamu."
"Urusan itu kamu gak perlu memikirkannya, aku bisa kok menghadapinya."
Alex berjalan menghampiri Dinda kemudian mengurung wanita itu dengan kedua tangannya di dinding.
"Kita akan tetap menikah apa pun yang terjadi."