Lusi, seorang mahasiswi, terpaksa menjadi jaminan hutang keluarganya kepada Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam. Dia harus bekerja keras untuk melunasi hutang tersebut, menghadapi tekanan moral dan keuangan, serta mencari jalan keluar dari situasi sulit ini. Hubungannya dengan Pak Rangga pun menjadi kompleks, menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran, kekuasaan, dan keberanian.
Lusi berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dan menemukan kebebasan, tetapi tantangan besar menanti di depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Sisi Lain Rangga
Mentari pagi kembali menyinari Kota Bandung, namun sinarnya tak mampu menembus kepenatan yang menyelimuti Lusi. Ia terbangun dengan tubuh yang terasa remuk, akibat kelelahan yang luar biasa.
Semalam, ia baru menyelesaikan les privat untuk tiga anak tetangga Rangga, setelah seharian berjibaku dengan kuliah dan tugas-tugasnya. Kehidupan yang serba terbatas di rumah Rangga memaksanya untuk mencari penghasilan tambahan, namun beban itu terasa semakin berat.
Ia harus menyeimbangkan pekerjaannya sebagai guru les dengan kuliahnya. Waktu terasa selalu kurang, energinya terkuras habis. Ia seringkali begadang untuk menyelesaikan tugas kuliah, lalu bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan materi les. Tubuhnya terasa seperti mesin yang terus dipaksa bekerja tanpa henti.
Selain kelelahan fisik, Lusi juga harus menghadapi perlakuan tidak adil dari Mbok Darmi, pembantu di rumah Rangga. Mbok Darmi, dengan sikapnya yang sok berkuasa dan seringkali meremehkan Lusi, terus menerus mengganggunya.
Ia seringkali memberikan tugas tambahan kepada Lusi, menugaskan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya bukan tanggung jawab Lusi. Ia juga seringkali mengkritik dan menghina Lusi di depan Rangga, menciptakan suasana yang tidak nyaman bagi Lusi.
"Lusi, cepat bersihkan kamar Bapak Rangga! Berantakan sekali!" bentak Mbok Darmi suatu pagi, suaranya lantang dan menusuk.
Lusi hanya bisa menunduk, menahan amarahnya. Ia tahu bahwa melawan Mbok Darmi hanya akan membuat situasinya semakin sulit.
Namun, Lusi tidak pernah menyerah. Ia tetap teguh pada pendiriannya, ia tetap berjuang untuk keluarganya. Ia percaya bahwa ia akan mampu melewati masa sulit ini. Ia terus bekerja keras, terus belajar, terus berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia tidak pernah mengeluh, ia tidak pernah menyerah.
Suatu sore, setelah seharian berjuang, Lusi pingsan di ruang belajar. Kelelahan fisik dan mental telah mencapai puncaknya. Ia terjatuh ke lantai, tubuhnya lemas tak berdaya.
Rangga, yang kebetulan lewat di dekat ruang belajar, melihat Lusi tergeletak di lantai. Ia segera menghampirinya, mengangkat tubuh Lusi yang lemas.
Untuk pertama kalinya, Rangga menunjukkan sedikit rasa iba kepada Lusi. Ia menggendong Lusi ke kamarnya, meletakkan Lusi di tempat tidur. Ia menatap wajah Lusi yang pucat pasi, merasakan sedikit penyesalan atas perlakuannya terhadap Lusi.
Rangga menyadari bahwa Lusi telah bekerja keras untuk keluarganya. Ia menyadari bahwa Lusi telah berjuang sendirian, menanggung beban yang berat. Ia merasa sedikit bersalah atas perlakuannya terhadap Lusi. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk membantu Lusi.
"Maafkan aku, Lusi," gumam Rangga, suaranya lirih. Ia mengusap lembut rambut Lusi, menunjukkan sedikit rasa simpati. Ia merasa sedikit iba melihat kondisi Lusi yang memprihatinkan. Ia tahu bahwa ia harus mengubah perlakuannya terhadap Lusi. Ia harus lebih menghargai Lusi, ia harus lebih peduli kepada Lusi. Ia harus membantu Lusi melewati masa sulit ini.
Namun, perubahan sikap Rangga belum cukup untuk meringankan beban Lusi. Ia masih harus menghadapi kesulitan keuangan dan perlakuan tidak adil dari Mbok Darmi.
Ia masih harus berjuang sendirian, menanggung beban yang berat. Namun, sedikit rasa iba dari Rangga memberikannya sedikit harapan, sedikit kekuatan untuk terus berjuang. Ia percaya bahwa ia akan mampu melewati masa sulit ini, dengan bantuan dari orang-orang yang peduli padanya.
Mentari pagi kembali menyinari rumah megah Rangga. Lusi terbangun dari tidurnya, perlahan bangkit dari tempat tidur. Meskipun masih berada dalam situasi yang sulit, ia merasa ada secercah harapan yang mulai tumbuh dalam hatinya. Ia telah memutuskan untuk mempelajari bisnis Rangga lebih dalam, berharap bisa menemukan celah atau kelemahan yang bisa ia manfaatkan untuk membantu keluarganya.
Ia menghabiskan beberapa hari dengan membaca dokumen-dokumen yang berhasil ia akses. Dokumen-dokumen tersebut berisi informasi detail tentang proyek-proyek properti Rangga, kontrak-kontrak bisnisnya, dan laporan keuangannya.
Awalnya, ia merasa kebingungan dengan istilah-istilah dan angka-angka yang rumit. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai memahami alur bisnis Rangga, melihat pola-pola yang tersembunyi, dan menemukan beberapa kejanggalan.
Ia menyadari bahwa Rangga bukanlah seorang pengusaha yang sepenuhnya licik dan kejam seperti yang ia bayangkan. Ia menemukan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Rangga juga memiliki sisi kemanusiaan, bahkan sisi yang lembut.
Ia menemukan beberapa catatan amal yang dilakukan Rangga secara diam-diam, beberapa donasi untuk yayasan-yayasan sosial, dan beberapa surat yang menunjukkan kepedulian Rangga terhadap karyawannya.
Suatu sore, Lusi sedang asyik membaca dokumen di ruang belajar Rangga. Rangga masuk ke ruangan, menemukan Lusi sedang fokus membaca. Ia terlihat sedikit terkejut, namun ia tidak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya.
"Kau sedang apa?" tanya Rangga, suaranya datar.
"Saya sedang membaca dokumen-dokumen Bapak," jawab Lusi, suaranya tenang.
Rangga terdiam sejenak, lalu duduk di kursi di hadapan Lusi. Ia menatap Lusi dengan tatapan yang dalam, seolah-olah ingin membaca pikirannya.
"Kau mulai mengerti bisnismu?" tanya Rangga, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya.
"Sedikit," jawab Lusi, tersenyum tipis. "Saya mulai memahami alur bisnis Bapak, dan saya juga mulai melihat beberapa kejanggalan."
Rangga mengangguk, tersenyum tipis. "Kejanggalan? Apa yang kau maksud?"
Lusi menjelaskan beberapa kejanggalan yang ia temukan dalam dokumen-dokumen tersebut. Ia menjelaskan tentang beberapa proyek yang memiliki potensi kerugian besar, beberapa kontrak yang kurang menguntungkan, dan beberapa laporan keuangan yang tidak sesuai.
Rangga mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk. Ia tidak menyela, tidak membantah, hanya mendengarkan. Setelah Lusi selesai menjelaskan, Rangga terdiam sejenak, lalu berkata, "Kau cukup jeli."
"Terima kasih," jawab Lusi, tersenyum.
"Bisnis tidak selalu hitam dan putih, Lusi," kata Rangga, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, banyak risiko yang harus dihadapi. Kadang, kita harus mengambil keputusan yang sulit, keputusan yang mungkin tidak disukai oleh semua orang."
Lusi mengangguk, memahami apa yang dimaksud Rangga. Ia menyadari bahwa Rangga juga memiliki beban dan tanggung jawab yang besar. Ia juga menyadari bahwa Rangga bukanlah orang yang sepenuhnya jahat. Ia memiliki sisi lain yang lebih lembut, sisi yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.
Mereka berbincang-bincang lebih lanjut tentang bisnis Rangga, tentang tantangan dan kesulitan yang dihadapi, tentang keputusan-keputusan yang harus diambil.
Lusi semakin memahami bisnis Rangga, dan ia juga semakin memahami Rangga sebagai seorang manusia. Ia melihat bahwa Rangga bukanlah monster seperti yang ia bayangkan. Ia memiliki sisi kemanusiaan, ia memiliki hati nurani.
Percakapan mereka berlangsung hingga larut malam. Lusi merasa semakin dekat dengan Rangga, merasakan adanya ikatan yang terjalin di antara mereka. Ia menyadari bahwa Rangga bukanlah musuh, melainkan seorang individu yang kompleks dengan berbagai sisi kepribadian. Ia berharap bahwa ia bisa memanfaatkan pemahamannya tentang Rangga untuk membantu keluarganya mengatasi masalah keuangan mereka.