Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Mimpi
Veltika baru saja membuka pintu kamarnya, suara klik kecil terdengar dari gagang pintu yang berputar. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara pintu lain terbuka di ujung lorong.
Denis.
Lelaki itu berdiri di ambang pintu kamarnya, mengenakan kaos polos dan celana kasual, rambutnya sedikit berantakan, seolah baru saja berguling-guling di atas tempat tidur. Tapi yang paling mencuri perhatian Veltika adalah wajahnya yang memerah, bukan karena lelah, tapi karena cemburu yang tidak bisa disembunyikan.
Mata mereka bertemu. Tatapan Denis tajam, tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya—campuran antara kemarahan, rasa tidak suka, dan sesuatu yang lain… sebuah kepemilikan.
Veltika menelan ludah, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang tiba-tiba berdebar lebih kencang. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, Denis melangkah mendekat.
“Aku tidak menyangka,” suara Denis terdengar rendah, hampir berbisik, tapi penuh dengan emosi yang terpendam. “Ternyata… kamu masih bisa tertawa seperti itu di depan lelaki lain.”
Veltika terdiam. Ia bisa merasakan hawa panas yang mengalir dari Denis, bukan hanya karena jarak mereka yang semakin dekat, tapi karena emosi yang terpancar jelas dari setiap kata-kata Denis.
“Denis…,” Veltika mencoba berbicara, tapi suaranya terdengar lemah.
Lelaki itu berdiri tepat di hadapannya sekarang, menatapnya dalam-dalam. “Apa aku cuma selingan, Vel?” tanyanya, nadanya lebih lembut, tapi penuh luka. “Atau… memang aku tidak pernah cukup penting buat kamu?”
Veltika tertegun. Pertanyaan itu menusuk langsung ke hatinya. Ia tahu Denis cemburu. Tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang mulai muncul, Denis takut kehilangan.
Denis melangkah semakin dekat, hingga jarak antara mereka hanya tinggal beberapa inci. Tatapannya intens, penuh amarah yang selama ini ia pendam. Tanpa sadar, ia mendorong tubuh Veltika hingga wanita itu tersandar di pintu kamarnya.
“Apa kamu pikir aku tidak tahu?” suara Denis rendah tapi tajam, menusuk langsung ke telinga Veltika. “Tawa itu, tatapanmu… semuanya. Apa kamu sengaja membuat aku terlihat bodoh?”
Veltika terdiam. Napasnya terasa berat di bawah tekanan Denis. Ia bisa merasakan punggungnya menyentuh permukaan kayu pintu yang dingin, sementara tubuh Denis yang hangat berdiri tegak di depannya.
“Aku pikir… aku satu-satunya orang yang bisa membuatmu tersenyum seperti itu,” lanjut Denis, suaranya lebih lembut, tapi penuh luka yang tertahan. “Tapi tadi… aku melihatnya sendiri. Kamu tertawa, Vel. Di depan lelaki lain. Dan aku? Aku ini apa buatmu?”
Veltika mencoba mencari kata-kata, tapi lidahnya terasa kelu. Denis begitu dekat. Wajahnya yang tampan kini dipenuhi ekspresi campuran antara cemburu, marah, dan… rasa sakit.
“Aku… aku tidak bermaksud…” Veltika berusaha menjawab, tapi Denis memotongnya.
“Tidak bermaksud?” Denis mendengus pelan, menatapnya dengan tatapan tajam. “Setelah semua yang kita lalui… setelah malam itu… kau masih bisa bilang ‘tidak bermaksud’?”
Veltika merasa dadanya sesak. Ia tahu Denis terluka. Tapi ia juga tidak siap dengan perasaan ini perasaan terpojok dan tidak berdaya di bawah tatapan pria yang selama ini ia anggap hanya sebuah kesalahan masa lalu.
“Denis… aku tidak ingin menyakiti siapa pun,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan.
Denis menatap dalam ke matanya. “Tapi kau sudah menyakitiku.”
Denis tanpa berkata apa-apa lagi merangkul pinggang Veltika dengan satu gerakan cepat. Tubuh Veltika yang semula bersandar di pintu kini ditarik masuk ke dalam kamar. Kehangatan tubuh Denis begitu dekat hingga jantung Veltika berdebar kencang, namun sebelum ia sempat protes, bibir Denis sudah mendarat di bibir merahnya.
Ciuman itu dalam dan intens. Denis tidak lagi menahan diri—seolah ingin menghapus segala keraguan dan kebingungan di antara mereka. Tangan kanannya tetap erat di pinggang Veltika, sementara tangan kirinya menyusuri punggungnya, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka hampir menyatu.
Veltika terkejut pada awalnya, namun perlahan ia mulai tenggelam dalam kehangatan ciuman itu. Perasaan yang bercampur aduk antara marah, cemburu, dan kerinduan, semuanya terungkap dalam setiap sentuhan bibir Denis.
“Kamu tahu, aku tidak bisa kehilangan kamu, Vel,” bisik Denis di sela ciuman, suaranya serak, penuh dengan emosi yang mendalam. “Biarpun aku harus bertarung dengan dunia ini… aku tetap akan mempertahankanmu.”
Veltika hanya diam. Ia merasa hangat, terlindungi, namun di sisi lain, perasaannya masih dipenuhi kebimbangan. Denis menguasai pikirannya, dan kini, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa sulit untuk menolaknya.
Di tengah kehangatan ciuman Denis, pikiran Veltika perlahan terbawa kembali ke masa lalu—momen sederhana yang selalu teringat jelas di benaknya.
Malam itu, mereka duduk berdua di balkon rumah, menikmati angin malam sambil menyesap segelas wine. Denis, dengan senyum isengnya, tiba-tiba mengambil tisu dari meja dan melipatnya dengan cermat. Cincin tisu sederhana itu ia buat hanya dalam hitungan detik, lalu dengan penuh percaya diri disematkan di jari manis Veltika.
"Vel, aku tahu ini konyol, tapi… maukah kamu jadi milikku?" ucap Denis sambil tertawa kecil, matanya penuh binar.
Veltika tertawa, menganggapnya hanya gurauan, meskipun ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar mendengar kalimat itu. "Cincin tisu? Kamu bercanda, kan?" balasnya sambil mengangkat tangan, memperlihatkan cincin itu.
"Tidak. Aku serius, Vel. Kalau bukan sekarang, maka suatu saat nanti," lanjut Denis dengan nada yang lebih dalam. Mata mereka bertemu, dan sejenak, keheningan di antara mereka terasa begitu berbeda—bukan sekadar canda.
Lamunan itu berakhir ketika Denis kini menatapnya dengan tatapan yang sama, penuh keyakinan. Cincin tisu itu mungkin telah hilang, tapi kata-kata Denis malam itu tetap tertanam dalam hatinya. Kini, ia berdiri di hadapan pria yang sama, yang dengan segala keseriusan berusaha menyatukan hati mereka.
"Kamu masih ingat malam itu, Vel?" tanya Denis dengan suara lembut, seolah membaca pikirannya. "Aku tidak pernah bercanda. Aku selalu serius."
Veltika hanya terdiam, matanya terpaku pada sosok Denis yang kini berdiri begitu dekat. Wajahnya terlihat berbeda—begitu tampan dalam balutan emosi yang sulit dijelaskan. Baru kali ini, Veltika menyadari betapa berondong yang dulu ia kenal hanya untuk kencan satu malam kini mampu membuat hatinya bergetar hebat.
Tatapan Denis tajam namun lembut, seolah berusaha menembus dinding yang selama ini Veltika bangun untuk melindungi dirinya dari luka cinta. Dekatnya jarak di antara mereka membuat Veltika merasakan detak jantung Denis yang berirama dengan miliknya.
"Aku bukan lagi sekadar bocah yang kamu kenal dulu, Vel," ucap Denis pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Veltika. "Aku ingin lebih dari itu... Aku ingin ada di sisimu, bukan untuk satu malam, tapi selamanya."
Kata-kata itu menyentuh hati Veltika, membuatnya gugup. Ia berusaha menyangkal perasaan yang mulai tumbuh, tapi tatapan Denis terlalu kuat untuk diabaikan. "Denis..." ucap Veltika nyaris berbisik, suaranya bergetar, "Kita… kita tidak bisa…"
Denis tersenyum kecil, penuh keyakinan. "Kenapa tidak?" bisiknya sambil mengusap pipi Veltika, ibu jarinya menyentuh lembut kulitnya yang terasa hangat. "Kita punya segalanya di depan kita. Izinkan aku membuktikan… bahwa aku lebih dari sekadar masa lalu. Aku bisa menjadi masa depanmu."