abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Kebenaran yang Terungkap
Isabella berdiri mematung, tatapannya terpaku pada pintu besar kastil yang kembali tertutup rapat. Suara yang memanggil namanya tadi bergema dalam pikirannya, membuat dadanya sesak. Siapa yang memanggilnya? Bukankah semua teman-temannya sudah mati?
Langkahnya terasa berat saat ia melangkah menjauh dari kastil. Tetapi, ia hanya berhasil melangkah beberapa meter sebelum sesuatu menghentikannya—perasaan aneh, seperti magnet yang menariknya kembali.
“Tidak mungkin... aku sudah keluar,” gumamnya pelan.
Namun, ketika ia menoleh, kastil itu tampak berubah. Tidak lagi tua dan suram, melainkan seperti baru dibangun. Temboknya bersih, menara-menara menjulang dengan gagah, dan jendela-jendelanya memancarkan cahaya keemasan yang aneh.
"Ini... tidak mungkin," Isabella bergumam. Ia menggosok matanya, berharap apa yang dilihatnya hanya ilusi.
Kemudian, pintu kastil itu perlahan terbuka dengan suara mendesing. Dari dalam, cahaya merah samar terlihat, seolah-olah memanggilnya untuk kembali.
---
Di Dalam Kastil
Isabella melangkah dengan hati-hati ke dalam kastil, meskipun setiap nalurinya menyuruhnya untuk lari. Kali ini, kastil itu terasa berbeda. Tidak ada dinding berlumuran darah atau bayangan menakutkan yang mengintai. Sebaliknya, ruangan utama dipenuhi cahaya lilin yang hangat.
Namun, di tengah aula besar itu, berdiri seseorang—pria bertopeng yang sudah menjadi mimpi buruknya.
"Aku tahu kau akan kembali," katanya, suaranya terdengar lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
Isabella menghunus belatinya, yang entah bagaimana masih ada di tangannya. "Apa yang kau inginkan? Aku sudah keluar. Kenapa kau memanggilku kembali?"
Pria itu tertawa kecil. "Kau pikir kau benar-benar keluar? Kastil ini bukan sekadar tempat. Ini adalah bagian dari dirimu sekarang."
"Apa maksudmu?" Isabella bertanya dengan napas tertahan.
Pria bertopeng itu menurunkan tudung jubahnya, tetapi ia tidak melepas topengnya. “Kastil ini lahir dari dosa-dosa dan ketakutan manusia. Dan kau, Isabella, membawa sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan ke dalamnya. Kau membawa rahasia.”
Isabella mundur selangkah. "Rahasia apa? Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!"
“Tentu saja kau tahu,” pria itu menjawab sambil melangkah mendekat. "Katakan padaku, Isabella, apa yang kau sembunyikan dari teman-temanmu? Apa yang membuatmu berbeda dari mereka?"
---
Kilasan Masa Lalu
Seolah-olah terseret ke dalam mimpi, Isabella tiba-tiba melihat dirinya di masa lalu—hari-hari sebelum ia dan teman-temannya memutuskan untuk mengunjungi kastil itu. Ia melihat dirinya berbicara dengan seorang wanita tua di sebuah pasar kecil, wanita yang memberinya sebuah benda aneh—liontin kecil dengan simbol aneh yang sama seperti yang ia lihat di dalam kastil.
Wanita itu berkata, "Liontin ini akan melindungimu, tetapi juga akan mengutukmu. Jika kau masuk ke kastil itu, kau akan membawa beban yang lebih berat daripada teman-temanmu."
Isabella ingat saat itu ia tidak terlalu peduli. Ia hanya ingin memiliki sesuatu yang unik untuk dikenakan selama perjalanan. Tetapi sekarang, ia menyadari bahwa liontin itu lebih dari sekadar perhiasan.
Kembali ke kenyataan, Isabella menyentuh liontin di lehernya, yang tiba-tiba terasa berat dan panas.
“Apa hubungannya ini dengan kastil?” tanya Isabella.
Pria bertopeng itu mengangguk ke arah liontin tersebut. "Itu adalah kunci. Kau membawanya ke sini, dan itulah yang membuat kastil ini terbangun kembali. Teman-temanmu adalah korban, tetapi kau adalah sumbernya."
---
Teror Baru Dimulai
Tiba-tiba, ruangan itu berubah lagi. Cahaya lilin padam, dan dinding-dinding kastil kembali menghitam, berlumuran darah. Suara jeritan terdengar dari segala arah, dan Isabella melihat bayangan-bayangan temannya yang telah mati muncul di sekelilingnya.
“Kenapa kau melakukan ini pada kami, Isabella?” suara Alex menggema, penuh kebencian.
Isabella memutar tubuhnya, melihat bayangan Alex yang wajahnya rusak dan tubuhnya dipenuhi luka. "Aku tidak tahu! Aku tidak bermaksud melakukannya!"
Namun, bayangan itu mendekat, bersama dengan bayangan-bayangan lain. Suara mereka bergema seperti kutukan:
“Kau membawa kami ke sini...”
“Kau yang membuat kami mati...”
“Semua ini salahmu!”
Isabella mencoba melawan, tetapi tangan-tangan bayangan itu mencengkeram tubuhnya, menariknya ke lantai.
Pria bertopeng itu hanya berdiri diam, mengamati. “Kau tahu bagaimana cara menghentikan ini, Isabella. Tetapi kau harus memilih.”
“Memilih apa?” teriak Isabella, berjuang melawan cengkeraman bayangan itu.
“Pengorbanan terakhir. Kastil ini akan terus hidup kecuali kau menghentikannya dengan darahmu sendiri... atau darah orang lain.”
---
Pertarungan Melawan Waktu
Isabella menggenggam belatinya erat-erat, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang menariknya. “Aku tidak akan menyerah! Aku tidak akan menjadi pion kalian!”
Dengan kekuatan terakhirnya, ia berhasil membebaskan diri dan berlari ke arah altar. Tetapi kali ini, di altar itu, ada seseorang yang terbaring tak bergerak—sosok teman terakhir yang belum ia temukan: Ella.
Ella, yang sebelumnya menghilang tanpa jejak, kini terbaring dengan wajah pucat dan tubuh lemah. Matanya membuka sedikit, melihat Isabella dengan pandangan penuh permohonan.
“Isabella... tolong aku,” bisiknya.
Pria bertopeng itu muncul di sebelah altar, kapak besar di tangannya. “Satu pengorbanan terakhir, Isabella. Pilihannya sederhana: darahmu, atau darahnya.”
Isabella merasakan dadanya sesak. "Aku tidak bisa..."
“Kau harus memilih!” bentak pria itu, suaranya seperti guntur.
Waktu seakan melambat. Isabella melihat liontin di tangannya, belati di genggamannya, dan mata Ella yang memohon. Ia tahu bahwa apa pun yang ia pilih, tidak ada jalan kembali.
Dengan air mata mengalir di pipinya, ia akhirnya membuat keputusan.
---
Apa pun yang Isabella pilih malam itu, satu hal yang pasti: kastil itu tetap berdiri, menunggu pengunjung berikutnya untuk menjadi bagian dari sejarah kelamnya.