Dewi Amalina telah menunggu lamaran kekasihnya hampir selama 4 tahun, namun saat keluarga Arman, sang kekasih, datang melamar, calon mertuanya malah memilih adik kandungnya, Dita Amalia, untuk dijadikan menantu.
Dita, ternyata diam-diam telah lama menyukai calon kakak iparnya, sehingga dengan senang hati menerima pinangan tanpa memperdulikan perasaan Dewi, kakak yang telah bekerja keras mengusahakan kehidupan yang layak untuknya.
Seorang pemuda yang telah dianggap saudara oleh kedua kakak beradik itu, merasa prihatin akan nasib Dewi, berniat untuk menikahi Kakak yang telah dikhianati oleh kekasih serta adiknya itu.
Apakah Dewi akan menerima Maulana, atau yang akrab dipanggil Alan menjadi suaminya?
***
Kisah hanyalah khayalan othor semata tidak ada kena mengena dengan kisah nyata. Selamat mengikuti,..like dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐, yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadar T'mora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Jangan salah paham
Alan mengenakan piyama hitam polkadot pink. Dewi dengan gaun tidur lengan panjang berwarna pink. Leher tertutup rapi dengan rok panjang semata kaki. Cukup sopan memang bagi pengantin baru disaat malam pertama, ditambah lagi ada pembatas diantara mereka.
Hampir satu jam berbaring bersama Alan, Dewi tidak bisa memejamkan matanya. Alih-alih teringat Arman yang sering bermesraan dengannya di kamar ini, bayangan di Dragonasse Hotel kemarin malam justru menggangu pikiran Dewi. Udara di dalam kamar yang memiliki mesin pendingin itu, memanas beberapa derajat seolah akan turun hujan lebat yang membuatnya gerah.
Dewi melirik Alan yang berbaring memunggungi dirinya, aih gawat. Dia tidak bisa menepis bayangan pentungan yang membuatnya hampir mati tercekik karena terlalu semangat melahap. Sekarang, keinginan kuat ingin berhubungan badan benar-benar mengganggu ketenangannya.
Tidak ingin tertangkap basah oleh Alan kalau dia sedang horni, Dewi bangun dengan perlahan turun dari kasur. Dengan pelan pula melangkah ke pintu seperti pencuri, "Haaaah!" Sesampai di luar kamar Dewi menarik nafas panjang. Ternyata dia tidak bisa sekamar dengan Alan tanpa diganggu oleh hasrat kebutuhan biologis. Dewi tidak siap berpisah dengan Alan jika ternyata pria itu mementingkan kesucian seorang istri di malam pertama. Seandainya Alan terpaksa menerima dirinya, Dewi juga tidak siap melihat ekspresi kekecewaan di wajahnya. Dia bukan wanita berwajah tebal, masih ada rasa malu dihatinya membuka aib sendiri meskipun si suami tidak mempermasalahkan.
Dewi turun ke lantai satu, mengendap ke dapur agar tidak mengganggu asisten yang sedang beristirahat. "Aku butuh air dingin," gumam dalam hatinya. Dewi ke kulkas mengambil balok-balok kecil es batu sekeranjang, memasukkan beberapa ke dalam mulutnya.
Krauk krauk krauk.
Dia mencari posisi enak untuk duduk dengan mengangkat kaki di sebuah kursi meja makan, Dewi mengunyah balok-balok es seperti mengunyah keripik basreng. Krauk krauk krauk, sebisa mungkin berusaha memelankan suara kunyahannya. Dia telah menghabiskan sekitar 20 balok es, rahangnya hampir mati rasa. Hah, Dewi memasukkan udara ke dalam rongga mulutnya.
"Apa yang kau lakukan disini gelap-gelapan," bisik seseorang menyergapnya dari belakang, mengalung lengan di lehernya.
Dewi terkesiap merasakan aura familiar yang dibencinya, "Lepaskan aku!" dia menekan suara amarahnya.
Dia juga gerah di dalam kamar, makanya keluar ingin melapangkan dadanya yang tertekan. Saat melihat ada orang di dapur, Arman bersembunyi sebentar. Jangan sampai bertemu dengan orang yang tidak dia inginkan. Eh ternyata setelah dilihat lebih jelas justru wanita yang dirindukannya sedang bertingkah aneh di kegelapan, bagaimana mungkin dia sudi melepaskan kesempatan. "Ada pria dewasa di kamarmu tapi kamu malah disini menyendiri dengan es batu, heh! Jangan buat aku salah paham sayang," serak Arman di telinga Dewi.
"Bukan urusanmu! Cepat lepaskan aku, brengsek! Aku istri orang sekarang!" Dewi bersuara dari sela-sela giginya.
"Aku juga suami orang, memang kenapa? Kita menikahi orang lain juga karena keadaan memaksa. Dewi! Kita masih bisa bersenang-senang seperti dulu, sayang." Bisikan Arman seperti suara setan dari neraka.
Dewi berpikir keras bagaimana lepas dari kungkungan pria brengsek ini tanpa keributan. Tapi tidak ada yang terpikirkan olehnya selain memohon dengan baik-baik. "Kamu yang mengkhianati aku! Membunuh kamu seribu kali pun belum tentu bisa memuaskan kecewa di hatiku jadi tolong jaga sikapmu. Sebagai kakak ipar aku memohon!" Dewi dengan suara pelan dan tegas.
Desahan panjang keluar dari rongga mulut Arman, Dewi menahan perasaannya untuk menepis bau yang pernah membuatnya mabuk asmara.
"Aku tidak mau jadi adik iparmu....akh!" Suara serak Arman berganti menjadi jerit kesakitan.
Dewi terkejut mendengar bunyi gedebuk di lantai, "Apa yang terjadi padanya?"
Dret dret dret, Arman bergetar seolah terkena listrik tekanan tinggi.
Dewi menghidupkan satu lampu fokus ke tempat Arman tumbang, agar bisa melihat dengan jelas. "Oh tidak!" Dia panik melihat mantan sialannya terkapar di kakinya seolah tak bernyawa. Kaos oblong putih dengan bawahan piyama biru yang pernah Dewi hadiahkan untuknya, menutup tubuh Arman.
"Ada apa dengannya?" Dewi tidak berani minta tolong sebelum jelas duduk persoalannya. Apa kata orang-orang kalau Arman beneran mati, bukankah dia akan jadi tersangka pembunuhan?
Dengan tangannya yang gemetar Dewi merasakan nafas di hidung Arman, "Ah, syukurlah! Bikin khawatir saja," ucapnya lega. Dengan cepat Dewi memadamkan lampu kembali lalu kabur naik ke lantainya. Hah! Dia terduduk di balkon untuk meredakan ketakutannya sebelum masuk ke kamarnya.
Sementara itu di lantai bawah Jade tersenyum miring. Dia juga sedang haus dan ingin makan sesuatu karena persediaannya habis. Si bos tidak menghubungi dirinya apakah sudah bisa pergi atau belum dari atap Mansion. Saat melihat Dewi sedang diintimidasi oleh seseorang yang bukan bosnya, begitulah akhirnya dia menyetrum Arman dengan alat kejut listrik yang selalu dibawanya, lalu kembali bersembunyi. Dia tidak ingin ketahuan, kan?
.
Alan menunggu Dewi tidur barulah dia akan memeluknya dari belakang, tapi ternyata Dewi malah keluar dari kamar. Alan ingin mengikutinya diam-diam, tapi sendal seseorang dari lantai atas terdengar sedang menuruni tangga. Diapun kembali masuk ke kamar, duduk di kasur menunggu.
Setelah beberapa saat tidak terdengar suara lagi dia pun keluar dari kamar lagi, ingin mengetahui keberadaan Dewi. Mereka adalah orang-orang yang terlatih di kesatuan, dengan penglihatan serta ingatan yang tajam, tidak sulit mengenali bayangan seseorang di kegelapan. Dia tidak mungkin salah menduga pada dua orang yang sedang bermesraan di meja makan dapur. Arman yang sedang memeluk leher Dewi, membuat Alan tidak bisa bereaksi sejenak sampai melihat bayangan Jade menekan sesuatu di leher Arman.
Alan tersadar kemudian dengan cepat kembali ke kamar saat melihat Dewi dengan panik memeriksa Arman yang tergeletak di lantai, lalu menghubungi Jade. Dari Jade dia tahu ternyata Dewi sedang diintimidasi. Bukan sedang bermesraan seperti dugaannya, barulah Alan sedikit lega. Kalau bukan karena Dita yang telah berjasa padanya, apakah Alan masih akan bertoleransi pada pria yang menyentuh istrinya secara intim?
Alan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mendesah. Kemungkinan Dewi belum siap berhubungan suami istri dengannya apakah karena masih mencintai Arman, Alan bertanya-tanya. Karena dia juga sama seperti itu, tidak ada rasa ingin berhubungan badan jika tidak dengan orang yang dicintainya.
Ceklek.
Terdengar suara pintu dibuka, Alan menoleh bertemu pandang dengan ekspresi terkejut di wajah Dewi. Kenapa dia bangun? "Apakah kamu barusan keluar?" tanya Dewi takut Alan melihatnya dengan Arman atau jangan-jangan dia yang membuat Arman pingsan. Dewi menahan debaran di dadanya menunggu jawaban Alan.
"Tidak! Memangnya ada apa di luar?" tanya Alan pura-pura tidak tau.
Hah, membuat takut saja. Dewi lega tapi tidak ada niat menjawab pertanyaan Alan. Agar tidak membuat pria ini tambah curiga, dia mengalihkan pembicaraan. "Alan," panggilnya.
"Ha!" jawab Alan cepat namun nadanya dibuat agak acuh, tapi jantungnya telah berdebar sangat kencang. Apakah Dewi akan jujur tentang perasaannya?
"Seperti katamu bahwa aku telah pantas menjadi seorang ibu,......"
"Kenapa gak bilang dari awal," dengan cepat Alan memotong dengan cepat pula dia menarik tangan Dewi mendekat ke arahnya.
"Kamu salah paham." Saat ingin memeluknya dengan cepat pula Dewi menahan tubuh Alan. Kepalanya menggeleng dengan ekspresi penuh penyesalan di wajahnya.
"......." Alan tak bisa berkata-kata. Aku suamimu loh sekarang ini, dalam hati Alan tidak mengerti akan sikap keberatan Dewi. Apa begitu kuat cintanya ke Arman sehingga sulit menerima kehadiran dirinya?
"Seperti janjimu kemarin yang bersedia memberikan benih. Saat di Shanghai nanti kamu mau kan melakukan tes pembuahan embrio sebelum ditransfer ke rahimku?" Dewi memohon.
Hah, inseminasi! Bukankan itu progam untuk sapi agar cepat berkembang biak? Alan tercengang. Benar-benar penghinaan baginya yang seorang pimpinan tertinggi Dragonasse Two D diperlakukan seperti hewan ternak.
"Kalau aku tidak mau," serak Alan sinis.
Dewi memandang Alan cemberut, disudut matanya menggantung sebulir bening air mata. "Alan, pria sejati tidak boleh ingkar janji!" ujarnya marah.
Alan menangkap tangan kecil Dewi yang hendak meninju dadanya. "Cium aku dulu." Pria itu membawa Dewi ke pelukannya, menangkap bibir penuh Dewi dengan bibirnya. Sehingga kata-kata yang hendak keluar dari mulut wanita itu tertelan kembali dilumatnya dengan kasar.
.
.