Letnan Hiroshi Takeda, seorang prajurit terampil dari Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, tewas dalam sebuah pertempuran sengit. Dalam kegelapan yang mendalam, dia merasakan akhir dari semua perjuangannya. Namun, ketika dia membuka matanya, Hiroshi tidak lagi berada di medan perang yang penuh darah. Dia terbangun di dalam sebuah gua yang megah di dunia baru yang penuh dengan keajaiban.
Gua tersebut adalah pintu masuk menuju Arcanis, sebuah dunia fantasi yang dipenuhi dengan sihir, makhluk fantastis, dan kerajaan yang bersaing. Hiroshi segera menyadari bahwa keterampilan tempur dan kepemimpinannya masih sangat dibutuhkan di dunia ini. Namun, dia harus berhadapan dengan tantangan yang belum pernah dia alami sebelumnya: sihir yang misterius dan makhluk-makhluk legendaris yang mengisi dunia Arcanis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sapoi arts, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepedihan Di Medan Perang
Udara malam terasa dingin, tapi itu tak menghentikan derap langkah ratusan prajurit yang dipimpin Hiroshi. Langit gelap menyembunyikan pergerakan mereka, dan suara malam hutan di pinggiran lembah menjadi satu-satunya pengiring pergerakan mereka.
Hiroshi berdiri di depan, mengawasi semua pasukan yang perlahan menyebar ke posisi masing-masing. Serangan kilat sudah direncanakan matang, dan sekarang waktunya untuk eksekusi. Dia memutar kenop jam tangannya—pertanda waktu semakin dekat.
“Ini saatnya,” Hiroshi berkata pada dirinya sendiri, menggenggam pistol di pinggangnya. Dia menatap langit yang disinari bulan, pikirannya sibuk menyusun langkah-langkah berikutnya.
Kapten Yamato mendekat, tatapan matanya serius. “Pasukan utama siap, Letnan. Kami akan mulai bergerak begitu Anda berikan sinyal.”
Hiroshi mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke arah lembah tempat garis depan musuh berada.
“Berikan sinyal pada pasukan elit di sisi timur. Mereka harus menunggu hingga Divisi Infanteri menyerang lebih dulu.”
Yamato memberi hormat cepat, lalu bergegas ke arah pos komando kecil di belakang mereka.
Kini, semua beban pertempuran ini berada di pundak Hiroshi. Tangan kanannya sedikit bergetar, bukan karena gugup, tapi karena adrenalin yang mulai memuncak.
Semua rencana, semua strategi yang dia susun selama ini, akan diuji malam ini. Dia menatap pemandangan lembah gelap di bawah, di mana musuh menunggu tanpa tahu apa yang akan segera menghantam mereka.
“Sekarang atau tidak sama sekali,” gumamnya pelan.
Hiroshi menarik napas dalam-dalam dan mengangkat tangan, memberi isyarat kepada pasukan utama. Serangan dimulai. Suara perintah bersahut-sahutan, dan ratusan prajurit mulai bergerak maju.
Cahaya kilat api tiba-tiba muncul dari kejauhan, meledakkan salah satu pos penjagaan musuh di tepi lembah. Ledakan itu mengguncang tanah, menghancurkan pos tersebut dalam satu pukulan. Pasukan Hiroshi dengan cepat merangsek masuk, mengikuti jalur yang sudah mereka rencanakan.
Teriakan-teriakan musuh mulai terdengar di kejauhan, tanda bahwa mereka terkejut dengan serangan mendadak ini. Hiroshi, dengan tenang, menyusup bersama tim kecilnya melalui jalur samping.
Mereka mengendap-endap, senapan terkokang, siap untuk menghancurkan garis suplai musuh yang terletak di dalam lembah.
“Terus bergerak,” Hiroshi berbisik pada timnya, “jangan buat suara berlebihan. Kita harus sampai di markas mereka tanpa terdeteksi.”
Tim elitnya, yang sudah terbiasa dengan operasi senyap, mengikuti tanpa suara. Mereka menyelinap di antara pepohonan dan bebatuan, menggunakan kegelapan malam sebagai penyamaran. Di depan mereka, garis pertahanan musuh mulai tampak—dan mereka tidak tahu apa yang akan segera menghantam.
Hiroshi melambaikan tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. Mereka sudah mendekati titik strategis:
gudang senjata musuh yang tersembunyi di balik bukit kecil. Jika mereka bisa menghancurkan tempat itu, pasukan musuh akan kehilangan persenjataan utama mereka.
“Aku akan masuk dulu,” bisik Hiroshi. “Tunggu sinyalku sebelum menyerang.”
Dia bergerak dengan tenang, mengambil jalan memutar untuk mencapai gudang tanpa terlihat. Telinganya tajam mendengarkan setiap suara, langkahnya hati-hati menapaki setiap batu dan ranting. Sesaat kemudian, dia berhasil mencapai sisi belakang gudang.
Dengan cekatan, dia memasang bahan peledak kecil di pintu belakang gudang. Ketika dia selesai, dia kembali ke posisinya semula, lalu mengangkat tangannya untuk memberi isyarat pada timnya.
“Sekarang!” Hiroshi berteriak. Sebuah ledakan kuat mengguncang udara malam, menghancurkan pintu gudang dan melemparkan pecahan-pecahan kayu ke segala arah.
Gudang itu meledak, disusul suara jeritan pasukan musuh yang terkejut. Asap tebal membumbung tinggi, dan pasukan elit Hiroshi mulai menyerbu dari segala arah, menembaki musuh yang masih kebingungan.
“Jangan beri mereka kesempatan bertahan!” teriak Hiroshi, suaranya tajam di tengah keributan. Dia mengokang pistolnya dan menembak musuh yang berlari ke arahnya. Setiap gerakan cepat dan terukur, memastikan bahwa tidak ada kesalahan.
Di sisi lain, Divisi Infanteri sudah berhasil memaksa pasukan musuh keluar dari markas mereka. Pertempuran semakin brutal, tetapi rencana Hiroshi berjalan sesuai rencana. Pasukan musuh kewalahan, tidak siap menghadapi serangan yang begitu terstruktur.
Kapten Yamato muncul di samping Hiroshi, napasnya berat. “Letnan! Kami sudah berhasil menghancurkan garis suplai musuh. Mereka kehilangan banyak persenjataan.”
Hiroshi mengangguk, masih fokus pada pertempuran di sekitarnya. “Bagus. Terus tekan mereka. Kita hampir memenangkan ini.”
Suara ledakan dan tembakan memenuhi udara, tapi Hiroshi tetap tenang, memimpin dengan kepastian yang membuat pasukannya percaya. Mereka terus maju, menekan musuh hingga akhirnya mereka runtuh.
Pertempuran berlangsung beberapa jam, tetapi pada akhirnya, pasukan Hiroshi berhasil. Musuh tak lagi mampu bertahan. Kemenangan di pihak mereka.
Namun, saat Hiroshi menatap reruntuhan markas musuh yang kini dikuasai pasukannya, ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa... hampa. Ini bukan kemenangan yang dia harapkan. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum dia ketahui.
“Ini baru permulaan,” bisik Hiroshi pada dirinya sendiri, merasakan ketidakpastian di dadanya. Tapi, apa pun yang akan datang, dia siap. Sebagai letnan termuda dan paling berbakat, Hiroshi tahu bahwa tak ada yang bisa menghentikannya.
Kemenangan yang sempat terasa di tangan Hiroshi perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih kelam. Di tengah hiruk-pikuk pertempuran yang mulai mereda, suara menderu tajam terdengar dari atas. Seperti petir yang menyambar bumi, jet-jet tempur musuh muncul dari balik awan malam.
Satu demi satu, tembakan roket diluncurkan ke arah pasukan Hiroshi. Ledakan besar menghancurkan garis depan, membakar kendaraan dan menghancurkan barisan infanteri mereka.
Hiroshi segera menyadari situasinya—ini bukan sekadar pertarungan biasa. Mereka telah dijebak.
“Letnan, apa yang terjadi?!” Kapten Yamato berteriak di tengah kehancuran. “Dari mana mereka datang?!”
Hiroshi terdiam sesaat, melihat kehancuran di sekitarnya, merasakan perihnya pengkhianatan meresap dalam pikirannya.
“Ini... jebakan,” katanya, suaranya rendah dan penuh penyesalan. “Kita telah dikhianati.”
Jet-jet musuh terus menembakkan pelurunya tanpa ampun. Beberapa prajurit Hiroshi tertembak, roboh satu per satu ke tanah dengan darah mengalir.
Jeritan-jeritan memekakkan telinga memenuhi udara, sementara asap tebal mulai membumbung tinggi. Dia tahu, tak ada waktu lagi untuk menyelamatkan semuanya. Pasukannya terpojok.
“Kita harus mundur!” teriak salah satu prajurit dari belakang, panik.
“Mundur ke mana?! Tak ada tempat aman lagi!” Yamato balas berteriak. Wajahnya penuh ketegangan, darah menetes dari lengannya yang terluka akibat serpihan ledakan.
Sebelum Hiroshi sempat memberi perintah lain, suara keras bergemuruh di udara. Dari langit, pesawat jet musuh menurunkan pasukan elit mereka.
Para prajurit musuh turun dengan parasut, mendarat di sekitaran pasukan Hiroshi yang sudah mulai tercerai-berai. Mereka bergerak cepat, membantai tanpa ampun.
“Ini bukan pertempuran... ini penyembelihan,” Hiroshi berbisik, tak percaya.
Pasukannya, yang tadinya penuh semangat dan keberanian, kini mulai kehilangan harapan. Satu per satu, mereka jatuh ke tanah. Darah mengalir di setiap sudut. Teriakan rasa sakit dan putus asa terdengar di mana-mana.
Seorang prajurit muda berlari mendekati Hiroshi, wajahnya penuh kengerian. “Letnan! Kita harus kabur! Kita akan mati di sini!”
Namun, sebelum Hiroshi sempat menjawab, peluru musuh menghantam kepala prajurit itu, menjatuhkannya tepat di depan kaki Hiroshi. Darah menyembur, mengotori sepatu boot Hiroshi, membuatnya tersentak.
“Tidak... ini tak mungkin terjadi...” pikir Hiroshi. “Siapa yang... berani menjebak kita?”
Dia mencoba memproses semuanya. Rencana serangan mereka, strategi yang dia pikir sempurna—semua hancur dalam sekejap. Seseorang telah mengkhianati mereka. Dan sekarang, pasukan yang dia pimpin menghadapi kehancuran total.
Mata Hiroshi berkilat. Ini bukan saatnya untuk ragu. Meski situasi kacau, ada satu hal yang selalu diajarkan padanya: jika tak bisa menang, setidaknya mati dengan kehormatan.
“Kapten Yamato!” teriak Hiroshi, suaranya tegas di tengah kekacauan.
“Siap, Letnan!” Yamato yang terluka berlari mendekat, wajahnya penuh darah dan keringat.
“Kumpulkan sisa pasukan kita. Siapkan bom. Kita tidak akan mundur.”
Mata Yamato melebar, menyadari niat Hiroshi.
“Tapi, Letnan... ini...”
“Kita tidak punya pilihan lain,” potong Hiroshi tegas. “Jika ini memang akhir kita, maka kita akan membawa sebanyak mungkin musuh bersama kita.”
Yamato mengangguk pelan, matanya dipenuhi rasa hormat dan ketegangan. “Dimengerti, Letnan.”
Dia berbalik dan mulai memerintahkan pasukan yang tersisa. Dengan cepat, para prajurit yang masih hidup mulai menyiapkan bom bunuh diri di tubuh mereka.
Setiap langkah terasa berat, namun tak ada jalan lain. Mereka memilih mati dengan kehormatan, seperti yang selalu diajarkan pada mereka.
Hiroshi menarik napas dalam-dalam. Tangan kirinya sudah terluka, dan tubuhnya penuh dengan debu serta darah. Namun, tatapannya tetap tajam.
“BANZAI!!!”
teriak salah satu prajuritnya sambil mengangkat pedang di udara, siap menyerbu musuh dengan bom terpasang di tubuhnya.
“BANZAI!!!!!” suara lainnya bergemuruh, meski penuh kepedihan.
Suara-suara itu menggema di udara, berbaur dengan ledakan-ledakan dan jeritan pertempuran. Prajurit demi prajurit berlari ke arah musuh, memicu bom bunuh diri mereka, menghancurkan apa pun di sekitarnya. Teriakan ‘Banzai’ terus menggema di seluruh medan pertempuran, menggetarkan hati Hiroshi.
Namun, dalam kekacauan itu, Hiroshi tahu—ini akhir bagi mereka. Pasukan mereka habis, hancur oleh jebakan yang begitu kejam.
Tiba-tiba, sebuah suara menghentak di belakangnya. Hiroshi berbalik dan melihat Jenderal mereka—sang pemimpin yang dia hormati, kini tergeletak di tanah dengan darah yang mengalir deras dari dadanya. Dia telah ditembak oleh musuh, dan tubuhnya tergeletak tak bergerak.
“Jenderal...” Hiroshi berbisik, dadanya terasa sesak.
Saat itu, entah dari mana, kilatan cahaya terang melintas di mata Hiroshi. Tanah di bawahnya seolah bergetar, dan suara-suara di sekitarnya mulai memudar. Tubuhnya mulai terasa ringan, seolah gravitasi tak lagi menahannya.
“Ini... apa...?”
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, Hiroshi merasakan tubuhnya tertarik oleh kekuatan misterius. Cahaya yang menyilaukan memenuhi pandangannya, dan segalanya menjadi gelap.